Welcome

Welcome

Selasa, 18 Agustus 2015

Lembar 3 Birunya Langit Cinta : Bertemu Teman Baru

Waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi ketika Annisa tiba di kampus, tiga puluh menit lagi ujian masuk perguruan tinggi akan segera di mulai. Annisa lalu mencari gedung D, gedung fakultas teknologi informatika yang terletak disebelah selatan universitas.
Papan pengumuman yang didekat tangga gedung D telah dipenuhi oleh calon-calon mahasiswa baru yang melihat denah ruang ujian. Annisa pun ikut menyeruak diantara kerumunan orang-orang itu, untuk mencari ruang lima.
“Di lantai satu,” gumamnya. Dan melihat nomor ujiannya tertera disana.
“Kamu juga di ruang lima?” Seseorang menyapa Annisa. Annisa hanya mengangguk. “Bareng yuk,” ajaknya.
“Boleh.” Mereka lalu sama-sama menaiki anak tangga menuju lantai satu.
“Kenalkan namaku Shaffiyah Jamila Yusuf.”
“Shaffiyah, seperti nama istri Rasulullah saja. Namaku Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, tapi panggil saja aku Annisa.”
“Khumaira, namamu juga sama kan bukannya itu julukan untuk istri ketiga Rasulullah, Aisyah?”
“Kebetulan sekali yah.”
“Saudaraku namanya Mariyyah Jamila Yusuf, nama istri Rasulullah juga. Tapi dia tesnya di ruang tiga, dilantai dasar, jadi kita pisah deh.”
“Teman aku Saskia juga di lantai dasar tapi dia di ruang dua kalau Sarah di ruang enam.” Tapi kemana mereka sampai sekarang masih belum terlihat juga.
“Rasanya aku pernah melihat wajahmu deh, tapi dimana ya, aku lupa.”
“Jangan bilang kalau kamu pernah lihat mukaku di poster-poster yang ditempel dijalan dengan tulisan anak hilang,” gurau Annisa.
“Bukanlah, kamu ada-ada saja. Oh iya, kamu mirip sama mantan ketua BEM angkatan berapa ya, photonya di pajang di markas BEM, aku pernah mampir ke markas BEM, ganteng banget aku sampai terpesona.”
“Itu Kak Ahmad, dia Kakak sulung aku.”
“Oh, pantas. Aku kira pacar, kan kata orang kalau mirip mukanya itu jodoh.”
“Trus aku jodoh sama Kak Ahmad gitu, yang benar saja?”
“Ya miripnya sama orang lainlah, bukan sama saudara sendiri, masa berjodoh sama saudara sendiri sih. Eh, kalau kamu adiknya Kak Ahmad berarti aku boleh dong main ke rumahmu?”
“Pengen pendekatan sama Kak Ahmad? Boleh saja. Tapi sainganmu banyak loh.”
“Ah, masa sih? Berarti Kak Ahmad populer dong.”
“Kakakku Salma saja sering bawa teman-temannya ke rumah sekedar untuk ketemu sama Kak Ahmad, ada yang sengaja datang, sekedar kirim salam, titip surat bahkan sampai kasih kado segala waktu dia ulang tahun, pokoknya dia udah mirip selebritis aja deh padahal kebanyakan dari mereka cuma tahu dari photonya aja trus karena tahu Kak Salma itu adiknya, mereka jadi bersemangat pengen ketemu.”
“Wajar sih, Annisa. Habis Kakak kamu ganteng, waktu aku pertama kali melihat photonya aja, aku langsung kesengsem. Pandangannya teduh, wajahnya kelihatan bercahaya, senyumnya meski samar tapi tampak sejuk.”
Annisa tersenyum-senyum sendiri mendengar pendapat Shaffiyah tentang Kakaknya yang hanya dia lihat photonya saja. Kalau Shaffiyah tahu seperti apa Kakaknya, entah bagaimana pendapatnya nanti? Karena seingatnya Ahmad tak ubahnya seperti es balok. Dingin dan beku. Walau sebenarnya dia baik sebagai seorang Kakak.
Ketika mereka tiba di lantai satu, keduanya segera masuk ke ruang lima dan mencari tempat duduk untuk bersiap menghadapi ujian mereka. Sementara calon mahasiswa lain mengobrol, Annisa memilih membuka kembali buku kumpulan soal ujian masuk perguruan tinggi. Mencoba memahami soal-soal yang terdapat pada buku dengan harapan dia bisa lulus ujian dengan mulus.
Pukul tujuh lima puluh lima dosen datang untuk membagikan soal ujian dan memberikan instruksi pada calon mahasiswa cara mengisi soal. Annisa segera memasukkan bukunya ke dalam tas dan bersiap dengan pengisian soal ujian.
                                                                        ***
“Annisa, gimana hasilnya?” Shaffiyah yang baru saja keluar dari ruang ujian segera menemui Annisa yang menunggunya didepan.
“Entahlah, kita hanya bisa berdoa saja, tapi prediksi aku 80-20.”
“Hem… kalau aku 50-50 tadi banyak soal yang susah aku jawab, kalau Mariyyah pasti bisa soalnya dia lebih pintar dariku.”
“Yah, kita sama-sama berdoa saja. Pie, antar aku ke toilet yuk.” Diajaknya Shaffiyah menuruni tangga menuju toilet yang berada dilantai dasar.
Annisa merasa sangat senang telah melewati tes ujian masuknya, justru yang paling menakutkan adalah menunggu hasilnya. Kecemasannya jauh lebih besar lagi dibandingkan saat harus menghadapi ujian masuk.
“Ah, leganya… dari tadi aku tahan loh, Pie, habis kamu minta aku tunggu sih,” ujarnya sambil menghampiri Shaffiyah yang sedang berdiri didekat sebuah pot besar. “Jadi kan kita ke markas Ipema?”
“Maaf, kamu salah orang, aku bukan Shaffiyah.” Annisa melongo mendengar Shaffiyah berkata seperti itu.
“Annisa, aku disini.” Shaffiyah yang ternyata berdiri didekat tangga dan baru saja selesai mengobrol dengan seseorang lalu menghampirinya sambil melambaikan tangan. Sejenak Annisa tertegun lalu saat dia memerhatikan lagi perempuan yang berdiri disebelahnya, dia baru tersenyum. “Kenalkan ini Marie, Mariyyah yang tadi kuceritakan, dia saudara kembarku.”
“Kamu tadi nggak bilang kalau kalian saudara kembar, Pie.”
“Oh ya? Masa aku nggak bilang sih, apa aku lupa ya?” Dengan bersikap pura-pura bodoh Shaffiyah menggaruk-garuk kepala dibalik jilbabnya.
“Ya ampun… kalian ini seperti pinang dibelah dua ya, benar-benar sangat mirip, aku tadi sampai nggak sadar kalau Sophie pakai kerudung biru dan Marie berkerudung merah, habis waktu lihat punggungnya sama jadi kupanggil saja.”
“Ayah dan Pamanku juga kembar loh, Annisa. Tapi anak Pamanku tunggal, katanya karena Auntie Lala sering sakit-sakitan setelah melahirkan anaknya, jadi Uncle Jacob nggak mau lagi punya anak.”
“Jadi kan kita ke markas Ipema?”
“Jadi dong, teman-temanmu mana, Annisa? Apa mereka mau gabung Ipema juga?”
“Nggak katanya, Saskia mau ikut klub Tennis dan Sarah gabung sains dan teknologi, kita seperti kembali ke masa SMA aja ya, banyak sekali kegiatan ekstra kurikuller disini.”
“Iya, karena itu aku mau masuk ke kampus ini.”
Mereka bertiga lalu sama-sama menuju markas ikatan pemuda masjid yang berada didekat masjid ash-shahabiyah. Karena lokasi masjid ash-shahabiyah yang berada didekat gerbang utama, mereka lalu memotong jalan melewati gedung karate yang berada di belakang ruang perpustakaan. Tidak terdengar suara apapun dari ruangan itu, karena tidak ada kegiatan apa-apa disana.
Saat Annisa mengatakan ingin mampir sebentar melihat-lihat gedung karate, Shaffiyah dan Mariyyah menjawab dengan kompak kalau mereka tidak tidak mau mampir kesana. Meski heran mengapa mereka menolaknya, tapi Annisa tidak menuntut keduanya untuk memberikan penjelasan.
                                                                        ***
Setelah menunggu selama hampir seminggu akhirnya surat pemberitahuan hasil ujian masuk datang juga ke rumah Annisa melalui jasa Pos Indonesia. Berdebar-debar hati Annisa saat mendapatkan surat itu. Rasa debarannya pun mungkin jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan remaja yang mendapat surat cinta yang pertama.
Dengan perlahan dan rasa penasaran yang besar Annisa lalu membuka surat yang menyatakan dirinya telah lulus ujian dengan nilai yang cukup memuaskan. Sontak Annisa bersorak gembira, dia melompat-lompat seperti kancil kesenangan. Ditemuinya Ibunya yang sedang berada di halaman belakang lalu diberinya beliau pelukan dan kecupan kebahagiaan darinya.
Setelah mendapat kabar menggembirakan itu Annisa segera mengambil telepon dan menghubungi teman-temannya yang kemarin ikut ujian bersamanya. Dia menanyakan hasil ujian yang sudah pasti telah mereka terima. Dan kabar menyenangkannya ternyata keempat teman Annisa yang lain pun sama-sama lulus.
Kemudian selama tiga hari Annisa, Saskia, Sarah, Mariyyah dan Shafiyah melalui masa pengenalan. Berbagai kegiatan mereka lalui dengan gembira, meski harus datang ke kampus pagi-pagi sekali dan pulang nyaris malam tapi kelima gadis ini tetap tertawa riang.
Sayangnya di kampus Annisa masih jarang sekali yang mengenakan kerudung. Hanya mereka yang tergabung dalam kegiatan ekstra kurikuler ikatan pemuda masjid yang pergi ke kampus mengenakan jilbab, kecuali Sarah dan Saskia, mahasiswa yang mengenakan jilbab tapi tidak bergabung dikegiatan Ipema.
Annisa ingin sekali mempopulerkan jilbab di kampus barunya ini, tapi bagaimana dia bisa memulainya? Dia lalu memerhatikan Shaffiyah dan Mariyyah. Dengan menjadi terkenal tentu dia bisa menjadi trendsetter. Bukan terkenal sebagai bintang film atau sinetron tentunya, cukup dia terkenal di kampus ini saja. Kakak sulungnya saja bisa mendirikan ekstra kurikuler Ipema dan karena dia terkenal, banyak teman-temannya yang mau bergabung.
“Kita nyanyi yuk,” bisik Annisa pada Mariyyah yang tengah memerhatikan api unggun. Didekat api unggun tampak Kakak kelasnya sedang bermain akustik.
“Nyanyi? Nyanyi apa?”
“Shalawat Badriyah saja.”
“Malu aku, Annisa. Kamu saja.”
“Loh, kita kan anggota Ipema masa nggak bisa shalawat badriyah?” Annisa lalu menarik Mariyyah dan Shaffiyah setelah pemain akustik menyelesaikan musiknya. Sebelum pemain akustik itu pergi, Annisa segera mencegahnya lalu dia membisikkan sesuatu pada pemain akustik itu dan dia lalu mengambil microphone dan memperkenalkan dirinya.
                                                                        ***
Faisal serius memerhatikan tiga dara cantik yang tengah mendendangkan shalawat. Bukankah gadis yang berdiri ditengah itu adiknya Salma? Namanya Annisa tadi dia bilang, dari fakultas teknologi informatika. Suaranya enak sekali didengar. Dia juga sama sekali tidak menampakkan rasa grogi seakan dia sudah biasa tampil didepan umum, berbeda dengan kedua temannya yang masih malu-malu.
“Kamu tertarik sama Annisa.” Aisyah yang melihat Faisal begitu serius memerhatikan Annisa lalu berbisik. “Kenalan sana,” dukungnya.
“Dia adiknya Ahmad loh.”
“Memangnya kenapa? Kak Ahmad kan bukan Harimau.”
Ahmad memang bukan Harimau tapi Faisal yang sangat mengagumi seniornya itu merasa segan untuk mendekati adiknya. Apakah Ahmad akan memberikan restu padanya untuk mendekati adiknya? Bagaimana jika Ahmad menolak? Tapi dengan dukungan dari Aisyah, Faisal pun menghampiri ketiga dara itu usai mereka mendendangkan shalawat.
Dengan perasaan agak canggung dia mengulurkan tangannya ingin berkenalan dengan Annisa, tapi gadis itu malah sedang mengobrol dengan gembira bersama teman-temannya yang lain, Faisal dia biarkan saja terbengong-bengong seperti orang bodoh. Kenapa dia merasa grogi? Yang dihadapinya kan hanya mahasiswa baru, dia sudah tingkat akhir sudah terbiasa menghadapi mahasiswa baru seperti ini tapi kali ini dia tidak bisa mengalahkan rasa groginya.
“Annisa.” Sarah memberi kode agar Annisa berbalik ke belakang. Sejenak Annisa hanya tertegun setelah memberikan senyuman pada laki-laki itu, dia pun kembali mengobrol dengan teman-temannya.
“Annisa ya, adiknya Salma kan? Kenalkan aku Faisal, teman sekelas Salma.” Faisal mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Annisa tapi gadis itu sama sekali tidak mengulurkan tangan, dia hanya menangkup kedua tangan didekat dadanya seraya menyebutkan namanya,
“Annisa.”
“Suara kamu bagus, cocok sekali kalau jadi penyanyi, di Ipema kita juga punya grup vokal, mungkin kamu juga bisa bergabung atau membuat grup vokal sendiri bersama teman-temanmu.” Senyum manis Annisa tersembul dibibir mungilnya yang berwarna merah alami.
“Terima kasih atas tawarannya, Kak, tapi maaf Annisa tidak berminat menjadi penyanyi ataupun membentuk grup vokal yang tadi itu hanya iseng saja.”
“Tapi kamu berminat masuk Ipema?”
“Ya, Insya Allah.”
Sarah tersenyum melihat Annisa kali ini tidak bersikap dingin lagi terhadap laki-laki. Biasanya dia akan menjawab pertanyaan laki-laki hanya dengan satu atau dua kata dan bahkan tanpa senyuman. Mungkinkah karena dia sudah berubah?
                                                                        ***

“Di, nggak datang ke penutupan ospek.” Bobby melemparkan sekaleng minuman pada Andy. Lalu dia duduk di kursi sebelah sahabatnya. Dibelakang Bobby muncul Teddy yang datang membawa sekantung minuman yang sama.
“Buat apa? Ngecengin adik kelas? Gue kan udah bilang, gue nggak level sama anak yang kemarin masih pakai seragam SMA.”
“Dia kan udah punya Alika, Bob. Buat apa ngecengin anak ingusan?” ujar Teddy.
“Alika? Bukannya elu sama Windy? Sejak kapan putus sama Windy?”
“Dua jam yang lalu,” jawab Andy asal.
“Berarti Retno mau dibuang ke laut juga, trus Diana sama Susan mau dijadiin koleksi?” canda Bobby walau dia tahu sekarang Andy sedang dekat dengan Tiara setelah putus lama dari Alika.
Andy hanya menyeringai. Seenaknya saja Bobby mengabsen mahasiswa-mahasiswa yang telah lulus seolah Andy seorang playboy yang pernah memacari mereka saja. Tapi memang ketiga perempuan itu pernah mengejar-ngejar Andy saat mereka masih seangkatan dulu, sekarang ketiganya telah sama-sama lulus sementara Andy masih asik-asik saja dengan statusnya sebagai mahasiswa yang sebentar lagi mungkin akan segera berganti statusnya menjadi mahasiswa abadi.
“Gue bilangin ya, Elu bakalan nyesel deh kalau nggak ngecengin anak-anak baru sekarang, soalnya cewek-ceweknya pada cakep-cakep, tanya deh sama Teddy.” Bobby memberi kabar berita.
“Gue setuju, Di. Ngga rugi deh, elu ngecengin salah satunya.” Tanpa dia memberitahukan pada Andy bahwa di kampus mereka ada seorang gadis cantik yang sangat menarik tapi karena gadis itu berhijab, Teddy yakin Andy pasti tidak akan berminat. “Ada Ajeng, siswa teladan yang dapat nilai tertinggi di SMA seindonesia, trus ada lagi namanya Asri, juara olimpiade matematika yang waktu itu pernah masuk TV, kalau elu nggak suka cewek pinter, elu bisa kecengin Rossy, yang kemaren ini jadi cover girl majalah remaja, bodinya, Di, yahud! Macam gitar spanyol, trus ada Vivi, kemarin dia baru main sinetron Ganteng nggak, Serigala iya, tinggal pilih deh sama elu.”
Sekali lagi Andy hanya menyeringai. Semenarik apapun mahasiswa baru, bagi Andy tetap saja dia hanya bocah ingusan. Andy paling malas berurusan dengan anak kemarin sore yang biasanya manja. Apapun yang diinginkannya harus selalu dituruti dan ujung-ujungnya dia hanya akan dijadikan tukang antar jemput saja jika memacari mahasiswa baru.
“Oya, ada satu lagi, Di, anak informatika, bodinya emang nggak yahud kaya Vivi, bukan cewek berotak cemerlang kaya Ajeng, tapi dia menarik, Di, namanya Annisa. Anaknya cantik, pure, lucu, periang, ibaratnya nggak ada dia nggak rame tapi yang lebih lucu lagi kalau dideketin cowok dia mengerut kaya daun putri malu.”
“Oh.” Andy menjawab acuh tak acuh.
“Tapi dia berhijab.”
“Jangan gila deh! Elu mau ngenalin gue sama Ustadzah, mau nyuruh gue tobat yah?”


Jumat, 07 Agustus 2015

Lembar kedua Birunya langit Cinta : Ketika awan kelam semakin menghitam

Andy menggeliat saat dia merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Sayup-sayup dia mendengar suara lembut Ibunya yang membangunkannya. Ketika Andy melihat jam meja yang dia letakkan diatas meja dekat tempat tidurnya, dia mengubah posisi tidurnya jadi telungkup sambil menggumam, “Ten minute, Mom.”
“Ten minute? Sekarang sudah hampir pukul sebelas tiga puluh, mau sampai kapan kamu tidur, Andy?” Ibu Khaula menarik selimut yang menyelubungi tubuh putranya. Ditariknya tangan Andy agar segera bangun. Tapi karena tubuh putranya terlalu besar dan kuat, Ibu Khaula sampai tidak sanggup untuk menariknya.
Oh, Mom. Please, don’t bother meI’m tired!”
“Pulang jam berapa kamu semalam? Mommy menunggu kamu sampai pukul satu tapi kamu belum pulang juga, habis pesta lagi?”
Tidak ada jawaban, hanya terdengar geraman kesal yang keluar dari tenggorokan Andy. Saat putranya akan kembali tidur, Ibu Khaula kembali menarik tangan putranya.
Dengan terpaksa Andy pun duduk diatas tempat tidurnya sambil mengerjapkan matanya. Rambutnya yang berantakan dengan mata layu sama sekali tidak menghilangkan ketampanan wajahnya. Tubuhnya yang kekar mengingatkan Ibu Khaula pada suaminya. Andy memang pahatan asli Ayahnya.
“Since when do you care what time I come home?”
“I’m your mother, I will always care about you, of course.”
“Bullshit!” Andy menukas marah.
“Andy.” Suara Ibu Lala kali ini terdengar sedih.
Dia tahu selama ini telah berbuat salah pada putra semata wayangnya. Sudah bertahun-tahun dia dan suaminya meninggalkan Andy, membiarkan Andy kecil hidup sendiri di Indonesia dan membiarkannya tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang.
“Maafkan Mommy, Mommy tahu ini semua salah Mommy dan Daddy, karena itu sekarang Mommy disini untuk memperbaiki semuanya.”
Memperbaiki? Andy menyeringai.
Sudah terlambat! Waktu tidak akan pernah kembali, dia sudah dewasa sekarang, takkan mungkin kembali menjadi kanak-kanak. Jika Ayah dan Ibunya sanggup mengembalikan masa kanak-kanaknya yang telah hilang, Andy mungkin bersedia untuk menerima kehadiran mereka kembali.
“Daddy tanya bagaimana dengan kuliahmu? Sudah hampir enam tahun kamu kuliah, kenapa masih belum lulus, memang untuk mendapatkan gelar sarjana saja harus selama itu?”
“Kalau di Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana perlu waktu sepuluh tahun.” Andy menjawab asal-asalan.
Tentu saja dia berbohong, memangnya kuliah kedokteran sampai membutuhkan waktu yang lama? karena dia sebenarnya malas meneruskan kuliahnya. Kalau bukan karena tuntutan Ayahnya yang selalu meminta Andy untuk kuliah, mungkin dia tidak ingin kuliah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk pesta bersama perempuan tentu saja. Karena itu sampai sekarang dia masih di tingkat akhir terus. Enggan dia mengakhiri masa kuliahnya. Teman-teman seangkatannya entah sudah pergi kemana.
“Sekarang kamu nggak kuliah?”
“Dosennya lagi cuti hamil.”
“Cuti hamil? Memangnya tidak ada asisten dosen?”
“Asdosnya juga sedang cuti hamil.”
“Astaga, masa dosen dan asdos sama-sama cuti hamil?” Andy sudah akan kembali tidur, tapi lagi-lagi Ibunya mencegah. “Bangunlah, sebentar lagi makan siang siap, apa perutmu tidak lapar.”
Digoda dengan makanan tentu saja Andy tergiur. Perutnya seketika langsung berbunyi. Untuk memenuhi tuntutan si lambung yang sudah mulai demonstrasi, mau tak mau Andy pun beranjak dari tempat tidurnya.
                                                                        ***
Ketika Andy turun untuk makan siang, tampak Ayahnya telah duduk disinggasananya. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan saat melihat anaknya muncul, padahal sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Tidakkah dia merasa rindu pada anak tunggalnya? Ataukah dia memang sama sekali tak pernah rindu, karena itu dia tenang-tenang saja meninggalkan putranya seorang diri sementara ia bersenang-senang di negera orang.
Andy belum pernah menemukan orang tua yang meninggalkan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun seorang diri di rumah, tapi orang tuanya tega meninggalkan anaknya seorang diri di sebuah Negara sementara mereka berada di Negara berbeda. Bukan hanya sekedar berada di Negara yang berbeda tetapi berada di Benua yang berbeda!
“Sudah jam berapa ini? matahari sudah sampai diatas kepala, kamu baru bangun?” Andy sama sekali tidak memerdulikan komentar Ayahnya. Dia menghempaskan bokongnya diatas kursi makan lalu dia membalikkan piring yang telungkup diatas meja. Dengan penuh perhatian Ibunya mengisi piring Andy dengan nasi.
Tumis kangkung. Tempe goreng. Sambal goreng ati dengan potongan petai. Dan telur mata sapi. Benar-benar tradisional sekali, makanan khas sunda yang sangat digemari oleh Ayahnya. Tampaknya sang Ayah tercinta telah sangat merindukan masakan made in Indonesia. Atau karena sudah terlalu banyak menumpuk kolesterol ditubuhnya, makanya ia kembali ke masakan Indonesia yang rendah kolesterol?
“Apa seperti ini hidupmu sehari-hari, pulang pagi, bangun siang, malam kamu jadikan siang, siang kamu jadikan malam, memangnya kamu mau belajar jadi kelelawar?”
Kata-kata Ayahnya seakan menjadi angin lalu bagi Andy, dia sama sekali tidak menghiraukannya. Dia sibuk menikmati makan siangnya. Sudah lama juga dia tidak pernah menikmati masakan rumah, apalagi menikmati masakan Ibunya, ingat makan pun para asisten rumah tangga di rumahnya pasti akan merasa sangat gembira.
Tidak disangka, masakan Ibunya sangat lezat, persis seperti buatan Neneknya, ia pandai juga mengolah masakan Indonesia, dalam hidupnya mungkin ini pertama kali Andy menikmati masakan Ibunya. Tapi Andy merasa skeptis, mungkin saja ini akan menjadi yang pertama sekaligus terakhir untuknya menikmati masakan lezat ini.
“Bagaimana dengan kuliahmu? Bukankah seharusnya tahun ini sudah selesai?”
“Belum.” Andy menyahut datar.
“Memangnya berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menempuh gelar sarjana?”
“Selama yang aku mau.” Lagi-lagi Andy menjawab asal-asalan.
“Andy! Daddy serius bertanya padamu, kenapa dari tadi kamu seperti tidak mau mengobrol dengan Daddy? Daddy hanya ingin tahu kehidupan kamu sekarang seperti apa, kalau seperti ini caramu menjalani kehidupanmu, sebaiknya kamu ikut Daddy ke Amerika, kita hidup bersama-sama sebagai keluarga disana.” Pak Jacob menggenggam tangan putranya berharap putranya meluluhkan hati dan sudi mengikuti kata-katanya. “Kamu lanjutkan study-mu hingga S3, lalu kita buka bisnis baru disana, kita bisa bekerja sama sebagai Ayah dan anak, dan kamu juga bisa mendapatkan banyak perempuan cantik-cantik disana, bule-bule disana sangat menarik, kamu mau punya pacar tiga, lima, atau berapapun yang kamu mau, terserah.”
Andy geram sekali mendengar kata-kata Ayahnya, tiba-tiba saja selera makannya jadi hilang. Dia merasa perutnya terpilin-pilin, sama sekali tidak bisa mencerna makanan yang telah masuk. Dengan berang Andy lalu mengangkat piringnya dan membantingnya ke lantai. Suara pecahan piringnya sampai membuat kedua orang tuanya terperanjat.
“Jangan suka mengganggu selera makan orang!” tukasnya bengis. “Lagipula, apa maksudmu ingin mengatur hidupku? Ingin kita kembali menjadi keluarga kau bilang? aku tak pernah punya keluarga! Selama lima belas tahun ini aku sudah tidak pernah lagi punya orang tua! Sudah terlalu terlambat untuk aku, kau dan dia…” Dengan tanpa perasaan dia mengarahkan telunjuknya, menuding pada Ibunya. “kembali seperti dulu lagi, hatiku sudah mati rasa! Yang harus kau lakukan sekarang, jangan pernah mendikte hidupku! Aku mau melakukan apapun, terserah aku! Dan sebaiknya kalian berdua enyah dari hadapanku!”
Dengan perasaan marah, Andy lalu pergi dari meja makan. Dia melangkah ke arah lemari es karena ingin memenuhi perutnya yang masih terasa lapar dengan bir yang telah dia simpan sebagai persediaan. Tapi dia terkejut saat melihat isi lemari es telah berganti dengan bahan makanan dan berkaleng-kaleng birnya telah hilang.
“Bi Ginah! Bi Ginah! Kamu kemanakan birku!” teriak Andy murka.
“Birmu sudah Mommy buang, memangnya setiap hari kamu meminum itu? Bagaimana dengan kesehatanmu?”
Hatinya yang sudah terlanjur marah semakin bertambah berang saat mengetahui Ibunya sudah membuang habis bir persediaannya. Dibantingnya pintu lemari es sekuat tenaga untuk melampiaskan kemarahannya. Andy lalu merampas kunci motor yang tergeletak diatas lemari es dan segera pergi dari rumahnya.
Pak Jacob hanya terdiam melihat kemarahan putranya. Luka hatinya memang terlalu sulit untuk diobati. Rentang waktu selama lima belas tahun terlalu panjang untuk dihabiskan oleh putra tunggalnya bersama luka yang terus melebar setiap hari. Tapi Pak Jacob sama sekali tidak menyalahkan Andy, karena memang dialah yang salah, bukan putranya.
“Dad, bagaimana ini? Andy tampaknya tidak menerima kehadiran kita,” keluh istrinya sedih. Tangannya bergetar saat ia merapikan pecahan piring dilantai, setetes air mata jatuh ke atas pecahan piring.
Bagaimana mereka bisa memperbaiki kesalahan yang telah lalu jika putranya sendiri pun terlihat enggan untuk memperbaikinya.
“Suka atau tidak suka, kita tetap akan disini, sudah cukup kita telah membuat hatinya terluka selama ini, kehadiran kita mungkin akan memperparah lukanya tapi kita harus mengambil hati Andy kembali.”
“Tentu saja, Andy anak kita satu-satunya, tak mungkin kita terus mengabaikannya seperti dulu, walaupun Andy akan terus-terusan menolak tapi Mommy tetap akan berusaha mendekatinya.”
                                                                        ***
Bobby keheranan saat melihat tengah bolong begini Andy muncul di rumahnya. Tidak seperti biasanya siang hari dia keliaran diluar rumah, jadwal rutinnya jam segini dia paling sedang menghabiskan waktunya main game dirumahnya sambil ditemani bir dan sepiring kacang kulit atau sekedar meladeni telepon pacar-pacarnya yang seabreg banyaknya sambil menonton televisi. Lalu saat sore menjelang dia akan bersiap-siap untuk kencan dengan kekasihnya.
“Ada apa, Sob?” Siang-siang begini tumben sudah bangun. Ingin sekali dia mengatakan kalimat itu pada Andy, tapi melihat mendungnya wajah pria itu, dia urung mencandainya.
“Si tua bangka itu ada dirumah,” jawab Andy sambil membanting tubuhnya diatas tempat tidur kawannya.
Bobby hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar sebutan pedas pada Ayahnya sendiri. Tetapi dia juga tidak bisa menegur Andy, salahkah Andy bila dia kemudian menjadi sangat benci pada kedua orang tuanya setelah bertahun-tahun kedukaan yang mereka berikan pada sang putra semata wayang?
Bobby membiarkan Andy rebahan di tempat tidurnya dan kembali menekuni majalahnya tanpa berminat menanyakan kelanjutan cerita apapun tentang orang tua Andy. Dia tahu Andy takkan senang jika ditanya ini-itu soal keluarganya yang berantakan.
Sejak Andy berusia sepuluh tahun, keluarganya memang sudah berantakan. Kedua orang tuanya sempat bercerai setelah diketahui Ayahnya sempat memiliki istri lain. Ibunya yang tak tahan dengan kelakuan Ayahnya lalu memuntut cerai. Mereka pun berpisah setelah berbulan-bulan melalui hari-hari dengan berbagai pertengkaran dan menyisakan luka dihati Andy.
Setelah perceraian itu Ibunya menikah lagi dengan laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih muda. Entah apa yang diharapkan Ibunya dari pemuda yang baru berusia dua puluh tahun itu, sampai kemudian dia ketahuan hanya ingin menghabiskan harta Ibunya saja. Dia menguras habis harta Ibunya. Perlakuannya pada Andy pun tidak pernah baik, dia sering memukuli Andy. Hingga kemudian mereka pun akhirnya bercerai begitu saja.
Karena masih saling mencintai setelah dua tahun berpisah, kedua orang tua Andy memilih untuk kembali lagi. Dengan sebuah janji tertulis dan bersegel Ayahnya tidak akan selingkuh lagi. Lalu mereka sama-sama tinggal di Amerika dan meninggalkan Andy di Indonesia bersama dengan Pamannya. Andy sudah tidak merespon kembalinya mereka karena hatinya terlanjur mati rasa pada Ayah dan Ibunya.
Sebelum perceraian itu, Andy memang tak pernah merasa punya cinta pada Ayahnya. Baginya Ayahnya yang workaholic dan jarang berada dirumah hanya ada dan tiada. Dia malah lebih dekat dengan Paman dan Kakeknya. Tapi sejak Kakeknya meninggal dan Pamannya disibukkan dengan perusahaan warisan sang Kakek yang ditinggalkan Ayahnya, Andy jadi sendirian. Dia pun mencari kesenangan diluar dengan caranya sendiri.
Pada Ibunya, Andy pun tidak terlalu respect, walau dia pernah hidup bersama dengan Ibunya tapi sejak Ibunya lebih memerdulikan suami mudanya itu, Andy jadi semakin membenci Ibunya. Ibunya bahkan tidak perduli meski Andy ditampar oleh Ayah tirinya didepan matanya hanya dengan dalih untuk mengajarkan Andy. Apa yang diajarkan oleh orang tua pada anaknya dari sebuah tamparan.
Bobby mengetahui itu semua karena dia merupakan teman Andy ketika kecil dan kebetulan mereka seusia, walaupun mereka memulai kuliah diusia berbeda, sebelumnya Bobby merupakan tetangga Andy dan Bobby tahu persis seperti apa berantakannya keluarga Andy. Dia sering mendengar Andy dipukuli Ayah tirinya dan melihat Andy melompat pagar untuk kabur dari rumah dan entah pergi kemana.

Namun meski mereka sudah mengenal sejak kecil, mereka baru menjadi sahabat dekat sejak Andy tak kunjung mau kuliah hingga membuatnya menjadi teman sekelas. Keluarganya yang berantakan membuat Andy tak pernah bersahabat dengan dunia.