Waktu
menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi ketika Annisa tiba di kampus, tiga
puluh menit lagi ujian masuk perguruan tinggi akan segera di mulai. Annisa lalu
mencari gedung D, gedung fakultas teknologi informatika yang terletak disebelah
selatan universitas.
Papan
pengumuman yang didekat tangga gedung D telah dipenuhi oleh calon-calon
mahasiswa baru yang melihat denah ruang ujian. Annisa pun ikut menyeruak
diantara kerumunan orang-orang itu, untuk mencari ruang lima.
“Di
lantai satu,” gumamnya. Dan melihat nomor ujiannya tertera disana.
“Kamu
juga di ruang lima?” Seseorang menyapa Annisa. Annisa hanya mengangguk. “Bareng
yuk,” ajaknya.
“Boleh.”
Mereka lalu sama-sama menaiki anak tangga menuju lantai satu.
“Kenalkan
namaku Shaffiyah Jamila Yusuf.”
“Shaffiyah,
seperti nama istri Rasulullah saja. Namaku Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, tapi
panggil saja aku Annisa.”
“Khumaira,
namamu juga sama kan bukannya itu julukan untuk istri ketiga Rasulullah, Aisyah?”
“Kebetulan
sekali yah.”
“Saudaraku
namanya Mariyyah Jamila Yusuf, nama istri Rasulullah juga. Tapi dia tesnya di
ruang tiga, dilantai dasar, jadi kita pisah deh.”
“Teman
aku Saskia juga di lantai dasar tapi dia di ruang dua kalau Sarah di ruang
enam.” Tapi kemana mereka sampai sekarang masih belum terlihat juga.
“Rasanya
aku pernah melihat wajahmu deh, tapi dimana ya, aku lupa.”
“Jangan
bilang kalau kamu pernah lihat mukaku di poster-poster yang ditempel dijalan
dengan tulisan anak hilang,” gurau Annisa.
“Bukanlah,
kamu ada-ada saja. Oh iya, kamu mirip sama mantan ketua BEM angkatan berapa ya,
photonya di pajang di markas BEM, aku pernah mampir ke markas BEM, ganteng
banget aku sampai terpesona.”
“Itu
Kak Ahmad, dia Kakak sulung aku.”
“Oh,
pantas. Aku kira pacar, kan kata orang kalau mirip mukanya itu jodoh.”
“Trus
aku jodoh sama Kak Ahmad gitu, yang benar saja?”
“Ya
miripnya sama orang lainlah, bukan sama saudara sendiri, masa berjodoh sama
saudara sendiri sih. Eh, kalau kamu adiknya Kak Ahmad berarti aku boleh dong
main ke rumahmu?”
“Pengen
pendekatan sama Kak Ahmad? Boleh saja. Tapi sainganmu banyak loh.”
“Ah,
masa sih? Berarti Kak Ahmad populer dong.”
“Kakakku
Salma saja sering bawa teman-temannya ke rumah sekedar untuk ketemu sama Kak
Ahmad, ada yang sengaja datang, sekedar kirim salam, titip surat bahkan sampai
kasih kado segala waktu dia ulang tahun, pokoknya dia udah mirip selebritis aja
deh padahal kebanyakan dari mereka cuma tahu dari photonya aja trus karena tahu
Kak Salma itu adiknya, mereka jadi bersemangat pengen ketemu.”
“Wajar
sih, Annisa. Habis Kakak kamu ganteng, waktu aku pertama kali melihat photonya
aja, aku langsung kesengsem. Pandangannya teduh, wajahnya kelihatan bercahaya,
senyumnya meski samar tapi tampak sejuk.”
Annisa
tersenyum-senyum sendiri mendengar pendapat Shaffiyah tentang Kakaknya yang
hanya dia lihat photonya saja. Kalau Shaffiyah tahu seperti apa Kakaknya, entah
bagaimana pendapatnya nanti? Karena seingatnya Ahmad tak ubahnya seperti es
balok. Dingin dan beku. Walau sebenarnya dia baik sebagai seorang Kakak.
Ketika
mereka tiba di lantai satu, keduanya segera masuk ke ruang lima dan mencari
tempat duduk untuk bersiap menghadapi ujian mereka. Sementara calon mahasiswa
lain mengobrol, Annisa memilih membuka kembali buku kumpulan soal ujian masuk
perguruan tinggi. Mencoba memahami soal-soal yang terdapat pada buku dengan
harapan dia bisa lulus ujian dengan mulus.
Pukul
tujuh lima puluh lima dosen datang untuk membagikan soal ujian dan memberikan
instruksi pada calon mahasiswa cara mengisi soal. Annisa segera memasukkan
bukunya ke dalam tas dan bersiap dengan pengisian soal ujian.
***
“Annisa,
gimana hasilnya?” Shaffiyah yang baru saja keluar dari ruang ujian segera
menemui Annisa yang menunggunya didepan.
“Entahlah,
kita hanya bisa berdoa saja, tapi prediksi aku 80-20.”
“Hem…
kalau aku 50-50 tadi banyak soal yang susah aku jawab, kalau Mariyyah pasti
bisa soalnya dia lebih pintar dariku.”
“Yah,
kita sama-sama berdoa saja. Pie, antar aku ke toilet yuk.” Diajaknya Shaffiyah
menuruni tangga menuju toilet yang berada dilantai dasar.
Annisa
merasa sangat senang telah melewati tes ujian masuknya, justru yang paling
menakutkan adalah menunggu hasilnya. Kecemasannya jauh lebih besar lagi
dibandingkan saat harus menghadapi ujian masuk.
“Ah,
leganya… dari tadi aku tahan loh, Pie, habis kamu minta aku tunggu sih,”
ujarnya sambil menghampiri Shaffiyah yang sedang berdiri didekat sebuah pot
besar. “Jadi kan kita ke markas Ipema?”
“Maaf,
kamu salah orang, aku bukan Shaffiyah.” Annisa melongo mendengar Shaffiyah
berkata seperti itu.
“Annisa,
aku disini.” Shaffiyah yang ternyata berdiri didekat tangga dan baru saja
selesai mengobrol dengan seseorang lalu menghampirinya sambil melambaikan
tangan. Sejenak Annisa tertegun lalu saat dia memerhatikan lagi perempuan yang
berdiri disebelahnya, dia baru tersenyum. “Kenalkan ini Marie, Mariyyah yang
tadi kuceritakan, dia saudara kembarku.”
“Kamu
tadi nggak bilang kalau kalian saudara kembar, Pie.”
“Oh
ya? Masa aku nggak bilang sih, apa aku lupa ya?” Dengan bersikap pura-pura
bodoh Shaffiyah menggaruk-garuk kepala dibalik jilbabnya.
“Ya
ampun… kalian ini seperti pinang dibelah dua ya, benar-benar sangat mirip, aku
tadi sampai nggak sadar kalau Sophie pakai kerudung biru dan Marie berkerudung
merah, habis waktu lihat punggungnya sama jadi kupanggil saja.”
“Ayah
dan Pamanku juga kembar loh, Annisa. Tapi anak Pamanku tunggal, katanya karena
Auntie Lala sering sakit-sakitan setelah melahirkan anaknya, jadi Uncle Jacob
nggak mau lagi punya anak.”
“Jadi
kan kita ke markas Ipema?”
“Jadi
dong, teman-temanmu mana, Annisa? Apa mereka mau gabung Ipema juga?”
“Nggak
katanya, Saskia mau ikut klub Tennis dan Sarah gabung sains dan teknologi, kita
seperti kembali ke masa SMA aja ya, banyak sekali kegiatan ekstra kurikuller
disini.”
“Iya,
karena itu aku mau masuk ke kampus ini.”
Mereka
bertiga lalu sama-sama menuju markas ikatan pemuda masjid yang berada didekat
masjid ash-shahabiyah. Karena lokasi masjid ash-shahabiyah yang berada didekat
gerbang utama, mereka lalu memotong jalan melewati gedung karate yang berada di
belakang ruang perpustakaan. Tidak terdengar suara apapun dari ruangan itu,
karena tidak ada kegiatan apa-apa disana.
Saat
Annisa mengatakan ingin mampir sebentar melihat-lihat gedung karate, Shaffiyah
dan Mariyyah menjawab dengan kompak kalau mereka tidak tidak mau mampir kesana.
Meski heran mengapa mereka menolaknya, tapi Annisa tidak menuntut keduanya
untuk memberikan penjelasan.
***
Setelah
menunggu selama hampir seminggu akhirnya surat pemberitahuan hasil ujian masuk
datang juga ke rumah Annisa melalui jasa Pos Indonesia. Berdebar-debar hati Annisa
saat mendapatkan surat itu. Rasa debarannya pun mungkin jauh lebih dahsyat
dibandingkan dengan remaja yang mendapat surat cinta yang pertama.
Dengan
perlahan dan rasa penasaran yang besar Annisa lalu membuka surat yang
menyatakan dirinya telah lulus ujian dengan nilai yang cukup memuaskan. Sontak Annisa
bersorak gembira, dia melompat-lompat seperti kancil kesenangan. Ditemuinya
Ibunya yang sedang berada di halaman belakang lalu diberinya beliau pelukan dan
kecupan kebahagiaan darinya.
Setelah
mendapat kabar menggembirakan itu Annisa segera mengambil telepon dan
menghubungi teman-temannya yang kemarin ikut ujian bersamanya. Dia menanyakan
hasil ujian yang sudah pasti telah mereka terima. Dan kabar menyenangkannya
ternyata keempat teman Annisa yang lain pun sama-sama lulus.
Kemudian
selama tiga hari Annisa, Saskia, Sarah, Mariyyah dan Shafiyah melalui masa
pengenalan. Berbagai kegiatan mereka lalui dengan gembira, meski harus datang
ke kampus pagi-pagi sekali dan pulang nyaris malam tapi kelima gadis ini tetap
tertawa riang.
Sayangnya
di kampus Annisa masih jarang sekali yang mengenakan kerudung. Hanya mereka
yang tergabung dalam kegiatan ekstra kurikuler ikatan pemuda masjid yang pergi
ke kampus mengenakan jilbab, kecuali Sarah dan Saskia, mahasiswa yang
mengenakan jilbab tapi tidak bergabung dikegiatan Ipema.
Annisa
ingin sekali mempopulerkan jilbab di kampus barunya ini, tapi bagaimana dia
bisa memulainya? Dia lalu memerhatikan Shaffiyah dan Mariyyah. Dengan menjadi
terkenal tentu dia bisa menjadi trendsetter. Bukan terkenal sebagai bintang
film atau sinetron tentunya, cukup dia terkenal di kampus ini saja. Kakak
sulungnya saja bisa mendirikan ekstra kurikuler Ipema dan karena dia terkenal,
banyak teman-temannya yang mau bergabung.
“Kita
nyanyi yuk,” bisik Annisa pada Mariyyah yang tengah memerhatikan api unggun.
Didekat api unggun tampak Kakak kelasnya sedang bermain akustik.
“Nyanyi?
Nyanyi apa?”
“Shalawat
Badriyah saja.”
“Malu
aku, Annisa. Kamu saja.”
“Loh,
kita kan anggota Ipema masa nggak bisa shalawat badriyah?” Annisa lalu menarik
Mariyyah dan Shaffiyah setelah pemain akustik menyelesaikan musiknya. Sebelum
pemain akustik itu pergi, Annisa segera mencegahnya lalu dia membisikkan
sesuatu pada pemain akustik itu dan dia lalu mengambil microphone dan
memperkenalkan dirinya.
***
Faisal
serius memerhatikan tiga dara cantik yang tengah mendendangkan shalawat.
Bukankah gadis yang berdiri ditengah itu adiknya Salma? Namanya Annisa tadi dia
bilang, dari fakultas teknologi informatika. Suaranya enak sekali didengar. Dia
juga sama sekali tidak menampakkan rasa grogi seakan dia sudah biasa tampil
didepan umum, berbeda dengan kedua temannya yang masih malu-malu.
“Kamu
tertarik sama Annisa.” Aisyah yang melihat Faisal begitu serius memerhatikan Annisa
lalu berbisik. “Kenalan sana,” dukungnya.
“Dia
adiknya Ahmad loh.”
“Memangnya
kenapa? Kak Ahmad kan bukan Harimau.”
Ahmad
memang bukan Harimau tapi Faisal yang sangat mengagumi seniornya itu merasa
segan untuk mendekati adiknya. Apakah Ahmad akan memberikan restu padanya untuk
mendekati adiknya? Bagaimana jika Ahmad menolak? Tapi dengan dukungan dari
Aisyah, Faisal pun menghampiri ketiga dara itu usai mereka mendendangkan
shalawat.
Dengan
perasaan agak canggung dia mengulurkan tangannya ingin berkenalan dengan Annisa,
tapi gadis itu malah sedang mengobrol dengan gembira bersama teman-temannya
yang lain, Faisal dia biarkan saja terbengong-bengong seperti orang bodoh.
Kenapa dia merasa grogi? Yang dihadapinya kan hanya mahasiswa baru, dia sudah
tingkat akhir sudah terbiasa menghadapi mahasiswa baru seperti ini tapi kali
ini dia tidak bisa mengalahkan rasa groginya.
“Annisa.”
Sarah memberi kode agar Annisa berbalik ke belakang. Sejenak Annisa hanya
tertegun setelah memberikan senyuman pada laki-laki itu, dia pun kembali
mengobrol dengan teman-temannya.
“Annisa
ya, adiknya Salma kan? Kenalkan aku Faisal, teman sekelas Salma.” Faisal
mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Annisa tapi gadis itu sama sekali
tidak mengulurkan tangan, dia hanya menangkup kedua tangan didekat dadanya
seraya menyebutkan namanya,
“Annisa.”
“Suara
kamu bagus, cocok sekali kalau jadi penyanyi, di Ipema kita juga punya grup vokal,
mungkin kamu juga bisa bergabung atau membuat grup vokal sendiri bersama
teman-temanmu.” Senyum manis Annisa tersembul dibibir mungilnya yang berwarna
merah alami.
“Terima
kasih atas tawarannya, Kak, tapi maaf Annisa tidak berminat menjadi penyanyi
ataupun membentuk grup vokal yang tadi itu hanya iseng saja.”
“Tapi
kamu berminat masuk Ipema?”
“Ya,
Insya Allah.”
Sarah
tersenyum melihat Annisa kali ini tidak bersikap dingin lagi terhadap
laki-laki. Biasanya dia akan menjawab pertanyaan laki-laki hanya dengan satu
atau dua kata dan bahkan tanpa senyuman. Mungkinkah karena dia sudah berubah?
***
“Di, nggak datang ke penutupan ospek.” Bobby melemparkan sekaleng minuman pada Andy. Lalu dia duduk di kursi sebelah sahabatnya. Dibelakang Bobby muncul Teddy yang datang membawa sekantung minuman yang sama.
“Buat
apa? Ngecengin adik kelas? Gue kan udah bilang, gue nggak level sama anak yang
kemarin masih pakai seragam SMA.”
“Dia
kan udah punya Alika, Bob. Buat apa ngecengin anak ingusan?” ujar Teddy.
“Alika?
Bukannya elu sama Windy? Sejak kapan putus sama Windy?”
“Dua
jam yang lalu,” jawab Andy asal.
“Berarti
Retno mau dibuang ke laut juga, trus Diana sama Susan mau dijadiin koleksi?”
canda Bobby walau dia tahu sekarang Andy sedang dekat dengan Tiara setelah
putus lama dari Alika.
Andy
hanya menyeringai. Seenaknya saja Bobby mengabsen mahasiswa-mahasiswa yang
telah lulus seolah Andy seorang playboy yang pernah memacari mereka saja. Tapi
memang ketiga perempuan itu pernah mengejar-ngejar Andy saat mereka masih
seangkatan dulu, sekarang ketiganya telah sama-sama lulus sementara Andy masih
asik-asik saja dengan statusnya sebagai mahasiswa yang sebentar lagi mungkin
akan segera berganti statusnya menjadi mahasiswa abadi.
“Gue
bilangin ya, Elu bakalan nyesel deh kalau nggak ngecengin anak-anak baru
sekarang, soalnya cewek-ceweknya pada cakep-cakep, tanya deh sama Teddy.” Bobby
memberi kabar berita.
“Gue
setuju, Di. Ngga rugi deh, elu ngecengin salah satunya.” Tanpa dia
memberitahukan pada Andy bahwa di kampus mereka ada seorang gadis cantik yang
sangat menarik tapi karena gadis itu berhijab, Teddy yakin Andy pasti tidak
akan berminat. “Ada Ajeng, siswa teladan yang dapat nilai tertinggi di SMA
seindonesia, trus ada lagi namanya Asri, juara olimpiade matematika yang waktu
itu pernah masuk TV, kalau elu nggak suka cewek pinter, elu bisa kecengin Rossy,
yang kemaren ini jadi cover girl majalah remaja, bodinya, Di, yahud! Macam
gitar spanyol, trus ada Vivi, kemarin dia baru main sinetron Ganteng nggak,
Serigala iya, tinggal pilih deh sama elu.”
Sekali
lagi Andy hanya menyeringai. Semenarik apapun mahasiswa baru, bagi Andy tetap
saja dia hanya bocah ingusan. Andy paling malas berurusan dengan anak kemarin
sore yang biasanya manja. Apapun yang diinginkannya harus selalu dituruti dan
ujung-ujungnya dia hanya akan dijadikan tukang antar jemput saja jika memacari
mahasiswa baru.
“Oya,
ada satu lagi, Di, anak informatika, bodinya emang nggak yahud kaya Vivi, bukan
cewek berotak cemerlang kaya Ajeng, tapi dia menarik, Di, namanya Annisa.
Anaknya cantik, pure, lucu, periang, ibaratnya nggak ada dia nggak rame tapi
yang lebih lucu lagi kalau dideketin cowok dia mengerut kaya daun putri malu.”
“Oh.”
Andy menjawab acuh tak acuh.
“Tapi
dia berhijab.”
“Jangan
gila deh! Elu mau ngenalin gue sama Ustadzah, mau nyuruh gue tobat yah?”