Andy
menggeliat saat dia merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Sayup-sayup dia
mendengar suara lembut Ibunya yang membangunkannya. Ketika Andy melihat jam
meja yang dia letakkan diatas meja dekat tempat tidurnya, dia mengubah posisi
tidurnya jadi telungkup sambil menggumam, “Ten minute, Mom.”
“Ten
minute? Sekarang sudah hampir pukul sebelas tiga puluh, mau sampai kapan kamu
tidur, Andy?” Ibu Khaula menarik selimut yang menyelubungi tubuh putranya.
Ditariknya tangan Andy agar segera bangun. Tapi karena tubuh putranya terlalu
besar dan kuat, Ibu Khaula sampai tidak sanggup untuk menariknya.
“Oh, Mom. Please, don’t bother me… I’m tired!”
“Pulang
jam berapa kamu semalam? Mommy menunggu kamu sampai pukul satu tapi kamu belum
pulang juga, habis pesta lagi?”
Tidak
ada jawaban, hanya terdengar geraman kesal yang keluar dari tenggorokan Andy.
Saat putranya akan kembali tidur, Ibu Khaula kembali menarik tangan putranya.
Dengan
terpaksa Andy pun duduk diatas tempat tidurnya sambil mengerjapkan matanya.
Rambutnya yang berantakan dengan mata layu sama sekali tidak menghilangkan
ketampanan wajahnya. Tubuhnya yang kekar mengingatkan Ibu Khaula pada suaminya.
Andy memang pahatan asli Ayahnya.
“Since when do you care what time I come
home?”
“I’m your mother, I will always care
about you, of course.”
“Bullshit!” Andy menukas
marah.
“Andy.”
Suara Ibu Lala kali ini terdengar sedih.
Dia
tahu selama ini telah berbuat salah pada putra semata wayangnya. Sudah
bertahun-tahun dia dan suaminya meninggalkan Andy, membiarkan Andy kecil hidup
sendiri di Indonesia dan membiarkannya tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang.
“Maafkan
Mommy, Mommy tahu ini semua salah Mommy dan Daddy, karena itu sekarang Mommy
disini untuk memperbaiki semuanya.”
Memperbaiki?
Andy menyeringai.
Sudah
terlambat! Waktu tidak akan pernah kembali, dia sudah dewasa sekarang, takkan
mungkin kembali menjadi kanak-kanak. Jika Ayah dan Ibunya sanggup mengembalikan
masa kanak-kanaknya yang telah hilang, Andy mungkin bersedia untuk menerima
kehadiran mereka kembali.
“Daddy
tanya bagaimana dengan kuliahmu? Sudah hampir enam tahun kamu kuliah, kenapa
masih belum lulus, memang untuk mendapatkan gelar sarjana saja harus selama
itu?”
“Kalau
di Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana perlu waktu sepuluh tahun.” Andy
menjawab asal-asalan.
Tentu
saja dia berbohong, memangnya kuliah kedokteran sampai membutuhkan waktu yang
lama? karena dia sebenarnya malas meneruskan kuliahnya. Kalau bukan karena
tuntutan Ayahnya yang selalu meminta Andy untuk kuliah, mungkin dia tidak ingin
kuliah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk pesta bersama perempuan
tentu saja. Karena itu sampai sekarang dia masih di tingkat akhir terus. Enggan
dia mengakhiri masa kuliahnya. Teman-teman seangkatannya entah sudah pergi
kemana.
“Sekarang
kamu nggak kuliah?”
“Dosennya
lagi cuti hamil.”
“Cuti
hamil? Memangnya tidak ada asisten dosen?”
“Asdosnya
juga sedang cuti hamil.”
“Astaga,
masa dosen dan asdos sama-sama cuti hamil?” Andy sudah akan kembali tidur, tapi
lagi-lagi Ibunya mencegah. “Bangunlah, sebentar lagi makan siang siap, apa
perutmu tidak lapar.”
Digoda
dengan makanan tentu saja Andy tergiur. Perutnya seketika langsung berbunyi.
Untuk memenuhi tuntutan si lambung yang sudah mulai demonstrasi, mau tak mau
Andy pun beranjak dari tempat tidurnya.
***
Ketika
Andy turun untuk makan siang, tampak Ayahnya telah duduk disinggasananya.
Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan saat melihat anaknya
muncul, padahal sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Tidakkah dia merasa
rindu pada anak tunggalnya? Ataukah dia memang sama sekali tak pernah rindu,
karena itu dia tenang-tenang saja meninggalkan putranya seorang diri sementara
ia bersenang-senang di negera orang.
Andy
belum pernah menemukan orang tua yang meninggalkan anaknya yang masih berusia
sepuluh tahun seorang diri di rumah, tapi orang tuanya tega meninggalkan
anaknya seorang diri di sebuah Negara sementara mereka berada di Negara
berbeda. Bukan hanya sekedar berada di Negara yang berbeda tetapi berada di
Benua yang berbeda!
“Sudah
jam berapa ini? matahari sudah sampai diatas kepala, kamu baru bangun?” Andy
sama sekali tidak memerdulikan komentar Ayahnya. Dia menghempaskan bokongnya
diatas kursi makan lalu dia membalikkan piring yang telungkup diatas meja.
Dengan penuh perhatian Ibunya mengisi piring Andy dengan nasi.
Tumis
kangkung. Tempe goreng. Sambal goreng ati dengan potongan petai. Dan telur mata
sapi. Benar-benar tradisional sekali, makanan khas sunda yang sangat digemari
oleh Ayahnya. Tampaknya sang Ayah tercinta telah sangat merindukan masakan made
in Indonesia. Atau karena sudah terlalu banyak menumpuk kolesterol ditubuhnya,
makanya ia kembali ke masakan Indonesia yang rendah kolesterol?
“Apa
seperti ini hidupmu sehari-hari, pulang pagi, bangun siang, malam kamu jadikan
siang, siang kamu jadikan malam, memangnya kamu mau belajar jadi kelelawar?”
Kata-kata
Ayahnya seakan menjadi angin lalu bagi Andy, dia sama sekali tidak
menghiraukannya. Dia sibuk menikmati makan siangnya. Sudah lama juga dia tidak
pernah menikmati masakan rumah, apalagi menikmati masakan Ibunya, ingat makan
pun para asisten rumah tangga di rumahnya pasti akan merasa sangat gembira.
Tidak
disangka, masakan Ibunya sangat lezat, persis seperti buatan Neneknya, ia
pandai juga mengolah masakan Indonesia, dalam hidupnya mungkin ini pertama kali
Andy menikmati masakan Ibunya. Tapi Andy merasa skeptis, mungkin saja ini akan
menjadi yang pertama sekaligus terakhir untuknya menikmati masakan lezat ini.
“Bagaimana
dengan kuliahmu? Bukankah seharusnya tahun ini sudah selesai?”
“Belum.”
Andy menyahut datar.
“Memangnya
berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menempuh gelar sarjana?”
“Selama
yang aku mau.” Lagi-lagi Andy menjawab asal-asalan.
“Andy!
Daddy serius bertanya padamu, kenapa dari tadi kamu seperti tidak mau mengobrol
dengan Daddy? Daddy hanya ingin tahu kehidupan kamu sekarang seperti apa, kalau
seperti ini caramu menjalani kehidupanmu, sebaiknya kamu ikut Daddy ke Amerika,
kita hidup bersama-sama sebagai keluarga disana.” Pak Jacob menggenggam tangan
putranya berharap putranya meluluhkan hati dan sudi mengikuti kata-katanya. “Kamu
lanjutkan study-mu hingga S3, lalu kita buka bisnis baru disana, kita bisa
bekerja sama sebagai Ayah dan anak, dan kamu juga bisa mendapatkan banyak
perempuan cantik-cantik disana, bule-bule disana sangat menarik, kamu mau punya
pacar tiga, lima, atau berapapun yang kamu mau, terserah.”
Andy
geram sekali mendengar kata-kata Ayahnya, tiba-tiba saja selera makannya jadi
hilang. Dia merasa perutnya terpilin-pilin, sama sekali tidak bisa mencerna
makanan yang telah masuk. Dengan berang Andy lalu mengangkat piringnya dan
membantingnya ke lantai. Suara pecahan piringnya sampai membuat kedua orang
tuanya terperanjat.
“Jangan
suka mengganggu selera makan orang!” tukasnya bengis. “Lagipula, apa maksudmu
ingin mengatur hidupku? Ingin kita kembali menjadi keluarga kau bilang? aku tak
pernah punya keluarga! Selama lima belas tahun ini aku sudah tidak pernah lagi
punya orang tua! Sudah terlalu terlambat untuk aku, kau dan dia…” Dengan tanpa
perasaan dia mengarahkan telunjuknya, menuding pada Ibunya. “kembali seperti
dulu lagi, hatiku sudah mati rasa! Yang harus kau lakukan sekarang, jangan
pernah mendikte hidupku! Aku mau melakukan apapun, terserah aku! Dan sebaiknya
kalian berdua enyah dari hadapanku!”
Dengan
perasaan marah, Andy lalu pergi dari meja makan. Dia melangkah ke arah lemari
es karena ingin memenuhi perutnya yang masih terasa lapar dengan bir yang telah
dia simpan sebagai persediaan. Tapi dia terkejut saat melihat isi lemari es
telah berganti dengan bahan makanan dan berkaleng-kaleng birnya telah hilang.
“Bi
Ginah! Bi Ginah! Kamu kemanakan birku!” teriak Andy murka.
“Birmu
sudah Mommy buang, memangnya setiap hari kamu meminum itu? Bagaimana dengan
kesehatanmu?”
Hatinya
yang sudah terlanjur marah semakin bertambah berang saat mengetahui Ibunya
sudah membuang habis bir persediaannya. Dibantingnya pintu lemari es sekuat
tenaga untuk melampiaskan kemarahannya. Andy lalu merampas kunci motor yang
tergeletak diatas lemari es dan segera pergi dari rumahnya.
Pak
Jacob hanya terdiam melihat kemarahan putranya. Luka hatinya memang terlalu
sulit untuk diobati. Rentang waktu selama lima belas tahun terlalu panjang
untuk dihabiskan oleh putra tunggalnya bersama luka yang terus melebar setiap
hari. Tapi Pak Jacob sama sekali tidak menyalahkan Andy, karena memang dialah
yang salah, bukan putranya.
“Dad,
bagaimana ini? Andy tampaknya tidak menerima kehadiran kita,” keluh istrinya
sedih. Tangannya bergetar saat ia merapikan pecahan piring dilantai, setetes
air mata jatuh ke atas pecahan piring.
Bagaimana
mereka bisa memperbaiki kesalahan yang telah lalu jika putranya sendiri pun
terlihat enggan untuk memperbaikinya.
“Suka
atau tidak suka, kita tetap akan disini, sudah cukup kita telah membuat hatinya
terluka selama ini, kehadiran kita mungkin akan memperparah lukanya tapi kita
harus mengambil hati Andy kembali.”
“Tentu
saja, Andy anak kita satu-satunya, tak mungkin kita terus mengabaikannya
seperti dulu, walaupun Andy akan terus-terusan menolak tapi Mommy tetap akan
berusaha mendekatinya.”
***
Bobby
keheranan saat melihat tengah bolong begini Andy muncul di rumahnya. Tidak
seperti biasanya siang hari dia keliaran diluar rumah, jadwal rutinnya jam
segini dia paling sedang menghabiskan waktunya main game dirumahnya sambil
ditemani bir dan sepiring kacang kulit atau sekedar meladeni telepon
pacar-pacarnya yang seabreg banyaknya sambil menonton televisi. Lalu saat sore
menjelang dia akan bersiap-siap untuk kencan dengan kekasihnya.
“Ada
apa, Sob?” Siang-siang begini tumben sudah bangun. Ingin sekali dia mengatakan
kalimat itu pada Andy, tapi melihat mendungnya wajah pria itu, dia urung
mencandainya.
“Si
tua bangka itu ada dirumah,” jawab Andy sambil membanting tubuhnya diatas
tempat tidur kawannya.
Bobby
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar sebutan pedas pada Ayahnya sendiri.
Tetapi dia juga tidak bisa menegur Andy, salahkah Andy bila dia kemudian
menjadi sangat benci pada kedua orang tuanya setelah bertahun-tahun kedukaan
yang mereka berikan pada sang putra semata wayang?
Bobby
membiarkan Andy rebahan di tempat tidurnya dan kembali menekuni majalahnya
tanpa berminat menanyakan kelanjutan cerita apapun tentang orang tua Andy. Dia
tahu Andy takkan senang jika ditanya ini-itu soal keluarganya yang berantakan.
Sejak
Andy berusia sepuluh tahun, keluarganya memang sudah berantakan. Kedua orang
tuanya sempat bercerai setelah diketahui Ayahnya sempat memiliki istri lain.
Ibunya yang tak tahan dengan kelakuan Ayahnya lalu memuntut cerai. Mereka pun
berpisah setelah berbulan-bulan melalui hari-hari dengan berbagai pertengkaran
dan menyisakan luka dihati Andy.
Setelah
perceraian itu Ibunya menikah lagi dengan laki-laki yang usianya sepuluh tahun
lebih muda. Entah apa yang diharapkan Ibunya dari pemuda yang baru berusia dua
puluh tahun itu, sampai kemudian dia ketahuan hanya ingin menghabiskan harta
Ibunya saja. Dia menguras habis harta Ibunya. Perlakuannya pada Andy pun tidak
pernah baik, dia sering memukuli Andy. Hingga kemudian mereka pun akhirnya
bercerai begitu saja.
Karena
masih saling mencintai setelah dua tahun berpisah, kedua orang tua Andy memilih
untuk kembali lagi. Dengan sebuah janji tertulis dan bersegel Ayahnya tidak
akan selingkuh lagi. Lalu mereka sama-sama tinggal di Amerika dan meninggalkan
Andy di Indonesia bersama dengan Pamannya. Andy sudah tidak merespon kembalinya
mereka karena hatinya terlanjur mati rasa pada Ayah dan Ibunya.
Sebelum
perceraian itu, Andy memang tak pernah merasa punya cinta pada Ayahnya. Baginya
Ayahnya yang workaholic dan jarang
berada dirumah hanya ada dan tiada. Dia malah lebih dekat dengan Paman dan
Kakeknya. Tapi sejak Kakeknya meninggal dan Pamannya disibukkan dengan
perusahaan warisan sang Kakek yang ditinggalkan Ayahnya, Andy jadi sendirian.
Dia pun mencari kesenangan diluar dengan caranya sendiri.
Pada
Ibunya, Andy pun tidak terlalu respect, walau dia pernah hidup bersama dengan
Ibunya tapi sejak Ibunya lebih memerdulikan suami mudanya itu, Andy jadi
semakin membenci Ibunya. Ibunya bahkan tidak perduli meski Andy ditampar oleh
Ayah tirinya didepan matanya hanya dengan dalih untuk mengajarkan Andy. Apa
yang diajarkan oleh orang tua pada anaknya dari sebuah tamparan.
Bobby
mengetahui itu semua karena dia merupakan teman Andy ketika kecil dan kebetulan
mereka seusia, walaupun mereka memulai kuliah diusia berbeda, sebelumnya Bobby
merupakan tetangga Andy dan Bobby tahu persis seperti apa berantakannya
keluarga Andy. Dia sering mendengar Andy dipukuli Ayah tirinya dan melihat Andy
melompat pagar untuk kabur dari rumah dan entah pergi kemana.
Namun
meski mereka sudah mengenal sejak kecil, mereka baru menjadi sahabat dekat
sejak Andy tak kunjung mau kuliah hingga membuatnya menjadi teman sekelas.
Keluarganya yang berantakan membuat Andy tak pernah bersahabat dengan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar