Welcome

Welcome

Senin, 26 Oktober 2015

Kursus bahasa asing! why not?

Udah lama juga yah, gue nggak entri tulisan di blog ini
karena itu sekarang gue mo bikin entri tulisan tentang pengalaman gue kursus bahasa asing, yaitu bahasa korea alias hangugo

Terus terang gue tuh nggak nggak terlalu suka sama produk-produk korea, mau artisnya, apalagi sama kpopnya, tapi dramanya lumayan lah gue pernah nonton kayak dong yi, jewel in the palace, personal taste, 49 days, city hunter, sama boys over flower

Kalo ada penggila kpop yang baca blog gue, mungkin nih blog bakal ada yg banned, lol

Karena gue pecinta Jepang abis!
Mau animenya, beritanya dan apa aja yang ada hubungannya sama Jepang pasti gue suka, apalagi sejak dirumah pasang tv kabel dan ada channel waku-waku Japan, wuih... betah gue nonton channel itu terus, abis ngorek tentang Jepang abis sih
dan gue sering ngapalin kosakata bahasa Jepang

tapi gue sering dikasih tahu gini sama nyokap gue, kalau benci sama seseorang itu jangan benci-benci banget karena bisa jadi kamu bakal suka sama seseorang itu atau kalau cinta sama seseorang itu jangan cinta-cinta banget nanti kamu bakal benci sama orang itu (nyokap gue nasihatin begitu sama gue waktu gue lagi jatuh cinta sama cowok)

Dan gue ambil kesimpulan kalo nasihat nyokap gue itu bukan cuma berhubungan sama seseorang aja tapi bisa jadi sama sesuatu juga contohnya ya rasa nggak suka gue sama produk-produk korea

Gue kursus bahasa korea karena niat gue yang pengen banget ikut program G to G ke korea selatan, dengan alasan yah.... gue nggak bisa bilang, mungkin orang bilang gue nekat kali yah pengen jadi TKW segala, apalagi masih banyak orang yang underistimate sama yang namanya jadi TKW, orang bilang TKW itu cuma pembantu dan pasti cuma bakal dapat siksaan dari majikan, gaji nggak dibayar DSB

tapi gue malah pengen jadi TKW

Trus gue nyari tau soal program G to G ke BP3TKI yang berlokasi di Serang, karena nggak jauh dari tempat tinggal gue, setelah gue tanya-tanya ternyata gue harus kursus bahasa korea dulu,

dan jadilah sekarang gue kursus bahasa korea, tempatnya di Three G yang berlokasi di Ciracas Serang, semangat dong gue, apalagi tutornya gue rasa cukup gaul juga,

Miss Sri, Annyeonghaseo!

Dan, miss Sri bilang, klo gue pengen lancar bahasa Korea, gue harus rajin-rajin dengerin lagu kpop, nonton dramanya, ikutin variety show-nya, tapi yang pasti bukan cuma sekedar nikmati lagunya atau dramanya aja, tapi sekalian belajar baca dan tulis hangeulnya, apalin kosa-katanya

Sekarang sih pelan-pelan gue bisa baca dan tulis hangeul dan sedikit apal kosa-katanya

Yah, yang namanya mood gue itu kadang naek kadang turun, awal-awalnya sih gue semangat tapi udah seminggu ini gue nggak belajar baca tulis hangeul tapi cuma dengerin lagu sama nonton dramanya aja dan gue nggak tau bakal nerusin niat kerja di korea ato ga

Meski sekarang gue nggak tahu, apa gue masih bakal terusin tuh niat buat kerja di Korea ato nggak, tapi gue tetep pengen belajar terus bahasa korea sampe bisa.....!

Matcha Indonesia yang Jepang banget

Ini pertama kalinya gue bikin catatan yang bukan berupa cerpen ato novel, dan gue juga bukannya mau iklan disini, tapi gue cuma pengen share cerita gue ini aja buat yang baca

Hem,
Yang mau gue share disini tentang Esprecielo Matcha Latte buatan Indonesia yang Jepang banget, gue juga nggak tahu sih ini asli buatan Indonesia ato bukan, gue cari-cari di google tapi belum banyak bahasan soal teh satu ini

Pertama kali gue nyoba teh yang disebut Matcha Latte di festival Jepang yang diselenggarain di blok M sekitar tahun 2012, waktu itu gue ngerasa ini teh enak banget, (gue juga ga tau sih apa tuh matcha latte yang dijual di festival jepang itu bener-bener asli dari jepang atau bukan) bener-bener lembut di mulut, gue langsung deh mutusin klo tuh Matcha latte teh kesukaan gua.

Gue kira, gue nggak bakalan lagi ngerasain tuh matcha latte,
ternyata eh ternyata....
Jeng! Jeng!

Gue nemu lagi yang namanya matcha latte dengan merek esprecielo allure
Rasanya sama lagi sama yang dijual di festival Jepang (gue rasa), gue pikir itu produk luar negeri tapi pas lihat pabrikannya dari Bandung ternyata, dan gue langsung ambil kesimpulan kalau esprecielo allure matcha buatan Indonesia yang Jepang banget (biar gue belum pernah ngerasain matcha asli di Jepang,lol)

Tapi waktu itu gue cuma bisa beli tuh Matcha di Alfa Midi, malesnya tuh toko lumayan jauh dari rumah gue, gue jarang belinya, tapi beberapa hari lalu, gue nemuin tuh Matcha di Giant yang lokasinya tinggal nyebrang dari gang rumah gue
Gila kan! seneng banget tuh gue! beli lah gue lima bungkus, (perbungkus isi dua matcha) dicampur air dingin rasanya luar biasa! Apalagi diminum buat nemenin gue nulis yang tulisannya nggak pernah dipublikasiin, wkwkwkwkwk...... trus gue nemuin juga di Indomaret, buset deh seneng gue tuh produk ada dimana-mana sekarang

Minuman itu sekarang jadi minuman favorite gue yang wajib ada, minimal sekali dalam sehari gue harus minum Matcha latte allure

Waktu gue buka-buka di internet ternyata masih ada produk lain dari espresielo dan gue pernah sih nyoba produk lain, cuma gue lupa apa namanya, yang gue inget itu berupa coffe latte, dan ternyata sama enaknya juga, gue harap produk esprecielo lain beredar juga di Giant atau Indomaret

Selasa, 18 Agustus 2015

Lembar 3 Birunya Langit Cinta : Bertemu Teman Baru

Waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi ketika Annisa tiba di kampus, tiga puluh menit lagi ujian masuk perguruan tinggi akan segera di mulai. Annisa lalu mencari gedung D, gedung fakultas teknologi informatika yang terletak disebelah selatan universitas.
Papan pengumuman yang didekat tangga gedung D telah dipenuhi oleh calon-calon mahasiswa baru yang melihat denah ruang ujian. Annisa pun ikut menyeruak diantara kerumunan orang-orang itu, untuk mencari ruang lima.
“Di lantai satu,” gumamnya. Dan melihat nomor ujiannya tertera disana.
“Kamu juga di ruang lima?” Seseorang menyapa Annisa. Annisa hanya mengangguk. “Bareng yuk,” ajaknya.
“Boleh.” Mereka lalu sama-sama menaiki anak tangga menuju lantai satu.
“Kenalkan namaku Shaffiyah Jamila Yusuf.”
“Shaffiyah, seperti nama istri Rasulullah saja. Namaku Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, tapi panggil saja aku Annisa.”
“Khumaira, namamu juga sama kan bukannya itu julukan untuk istri ketiga Rasulullah, Aisyah?”
“Kebetulan sekali yah.”
“Saudaraku namanya Mariyyah Jamila Yusuf, nama istri Rasulullah juga. Tapi dia tesnya di ruang tiga, dilantai dasar, jadi kita pisah deh.”
“Teman aku Saskia juga di lantai dasar tapi dia di ruang dua kalau Sarah di ruang enam.” Tapi kemana mereka sampai sekarang masih belum terlihat juga.
“Rasanya aku pernah melihat wajahmu deh, tapi dimana ya, aku lupa.”
“Jangan bilang kalau kamu pernah lihat mukaku di poster-poster yang ditempel dijalan dengan tulisan anak hilang,” gurau Annisa.
“Bukanlah, kamu ada-ada saja. Oh iya, kamu mirip sama mantan ketua BEM angkatan berapa ya, photonya di pajang di markas BEM, aku pernah mampir ke markas BEM, ganteng banget aku sampai terpesona.”
“Itu Kak Ahmad, dia Kakak sulung aku.”
“Oh, pantas. Aku kira pacar, kan kata orang kalau mirip mukanya itu jodoh.”
“Trus aku jodoh sama Kak Ahmad gitu, yang benar saja?”
“Ya miripnya sama orang lainlah, bukan sama saudara sendiri, masa berjodoh sama saudara sendiri sih. Eh, kalau kamu adiknya Kak Ahmad berarti aku boleh dong main ke rumahmu?”
“Pengen pendekatan sama Kak Ahmad? Boleh saja. Tapi sainganmu banyak loh.”
“Ah, masa sih? Berarti Kak Ahmad populer dong.”
“Kakakku Salma saja sering bawa teman-temannya ke rumah sekedar untuk ketemu sama Kak Ahmad, ada yang sengaja datang, sekedar kirim salam, titip surat bahkan sampai kasih kado segala waktu dia ulang tahun, pokoknya dia udah mirip selebritis aja deh padahal kebanyakan dari mereka cuma tahu dari photonya aja trus karena tahu Kak Salma itu adiknya, mereka jadi bersemangat pengen ketemu.”
“Wajar sih, Annisa. Habis Kakak kamu ganteng, waktu aku pertama kali melihat photonya aja, aku langsung kesengsem. Pandangannya teduh, wajahnya kelihatan bercahaya, senyumnya meski samar tapi tampak sejuk.”
Annisa tersenyum-senyum sendiri mendengar pendapat Shaffiyah tentang Kakaknya yang hanya dia lihat photonya saja. Kalau Shaffiyah tahu seperti apa Kakaknya, entah bagaimana pendapatnya nanti? Karena seingatnya Ahmad tak ubahnya seperti es balok. Dingin dan beku. Walau sebenarnya dia baik sebagai seorang Kakak.
Ketika mereka tiba di lantai satu, keduanya segera masuk ke ruang lima dan mencari tempat duduk untuk bersiap menghadapi ujian mereka. Sementara calon mahasiswa lain mengobrol, Annisa memilih membuka kembali buku kumpulan soal ujian masuk perguruan tinggi. Mencoba memahami soal-soal yang terdapat pada buku dengan harapan dia bisa lulus ujian dengan mulus.
Pukul tujuh lima puluh lima dosen datang untuk membagikan soal ujian dan memberikan instruksi pada calon mahasiswa cara mengisi soal. Annisa segera memasukkan bukunya ke dalam tas dan bersiap dengan pengisian soal ujian.
                                                                        ***
“Annisa, gimana hasilnya?” Shaffiyah yang baru saja keluar dari ruang ujian segera menemui Annisa yang menunggunya didepan.
“Entahlah, kita hanya bisa berdoa saja, tapi prediksi aku 80-20.”
“Hem… kalau aku 50-50 tadi banyak soal yang susah aku jawab, kalau Mariyyah pasti bisa soalnya dia lebih pintar dariku.”
“Yah, kita sama-sama berdoa saja. Pie, antar aku ke toilet yuk.” Diajaknya Shaffiyah menuruni tangga menuju toilet yang berada dilantai dasar.
Annisa merasa sangat senang telah melewati tes ujian masuknya, justru yang paling menakutkan adalah menunggu hasilnya. Kecemasannya jauh lebih besar lagi dibandingkan saat harus menghadapi ujian masuk.
“Ah, leganya… dari tadi aku tahan loh, Pie, habis kamu minta aku tunggu sih,” ujarnya sambil menghampiri Shaffiyah yang sedang berdiri didekat sebuah pot besar. “Jadi kan kita ke markas Ipema?”
“Maaf, kamu salah orang, aku bukan Shaffiyah.” Annisa melongo mendengar Shaffiyah berkata seperti itu.
“Annisa, aku disini.” Shaffiyah yang ternyata berdiri didekat tangga dan baru saja selesai mengobrol dengan seseorang lalu menghampirinya sambil melambaikan tangan. Sejenak Annisa tertegun lalu saat dia memerhatikan lagi perempuan yang berdiri disebelahnya, dia baru tersenyum. “Kenalkan ini Marie, Mariyyah yang tadi kuceritakan, dia saudara kembarku.”
“Kamu tadi nggak bilang kalau kalian saudara kembar, Pie.”
“Oh ya? Masa aku nggak bilang sih, apa aku lupa ya?” Dengan bersikap pura-pura bodoh Shaffiyah menggaruk-garuk kepala dibalik jilbabnya.
“Ya ampun… kalian ini seperti pinang dibelah dua ya, benar-benar sangat mirip, aku tadi sampai nggak sadar kalau Sophie pakai kerudung biru dan Marie berkerudung merah, habis waktu lihat punggungnya sama jadi kupanggil saja.”
“Ayah dan Pamanku juga kembar loh, Annisa. Tapi anak Pamanku tunggal, katanya karena Auntie Lala sering sakit-sakitan setelah melahirkan anaknya, jadi Uncle Jacob nggak mau lagi punya anak.”
“Jadi kan kita ke markas Ipema?”
“Jadi dong, teman-temanmu mana, Annisa? Apa mereka mau gabung Ipema juga?”
“Nggak katanya, Saskia mau ikut klub Tennis dan Sarah gabung sains dan teknologi, kita seperti kembali ke masa SMA aja ya, banyak sekali kegiatan ekstra kurikuller disini.”
“Iya, karena itu aku mau masuk ke kampus ini.”
Mereka bertiga lalu sama-sama menuju markas ikatan pemuda masjid yang berada didekat masjid ash-shahabiyah. Karena lokasi masjid ash-shahabiyah yang berada didekat gerbang utama, mereka lalu memotong jalan melewati gedung karate yang berada di belakang ruang perpustakaan. Tidak terdengar suara apapun dari ruangan itu, karena tidak ada kegiatan apa-apa disana.
Saat Annisa mengatakan ingin mampir sebentar melihat-lihat gedung karate, Shaffiyah dan Mariyyah menjawab dengan kompak kalau mereka tidak tidak mau mampir kesana. Meski heran mengapa mereka menolaknya, tapi Annisa tidak menuntut keduanya untuk memberikan penjelasan.
                                                                        ***
Setelah menunggu selama hampir seminggu akhirnya surat pemberitahuan hasil ujian masuk datang juga ke rumah Annisa melalui jasa Pos Indonesia. Berdebar-debar hati Annisa saat mendapatkan surat itu. Rasa debarannya pun mungkin jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan remaja yang mendapat surat cinta yang pertama.
Dengan perlahan dan rasa penasaran yang besar Annisa lalu membuka surat yang menyatakan dirinya telah lulus ujian dengan nilai yang cukup memuaskan. Sontak Annisa bersorak gembira, dia melompat-lompat seperti kancil kesenangan. Ditemuinya Ibunya yang sedang berada di halaman belakang lalu diberinya beliau pelukan dan kecupan kebahagiaan darinya.
Setelah mendapat kabar menggembirakan itu Annisa segera mengambil telepon dan menghubungi teman-temannya yang kemarin ikut ujian bersamanya. Dia menanyakan hasil ujian yang sudah pasti telah mereka terima. Dan kabar menyenangkannya ternyata keempat teman Annisa yang lain pun sama-sama lulus.
Kemudian selama tiga hari Annisa, Saskia, Sarah, Mariyyah dan Shafiyah melalui masa pengenalan. Berbagai kegiatan mereka lalui dengan gembira, meski harus datang ke kampus pagi-pagi sekali dan pulang nyaris malam tapi kelima gadis ini tetap tertawa riang.
Sayangnya di kampus Annisa masih jarang sekali yang mengenakan kerudung. Hanya mereka yang tergabung dalam kegiatan ekstra kurikuler ikatan pemuda masjid yang pergi ke kampus mengenakan jilbab, kecuali Sarah dan Saskia, mahasiswa yang mengenakan jilbab tapi tidak bergabung dikegiatan Ipema.
Annisa ingin sekali mempopulerkan jilbab di kampus barunya ini, tapi bagaimana dia bisa memulainya? Dia lalu memerhatikan Shaffiyah dan Mariyyah. Dengan menjadi terkenal tentu dia bisa menjadi trendsetter. Bukan terkenal sebagai bintang film atau sinetron tentunya, cukup dia terkenal di kampus ini saja. Kakak sulungnya saja bisa mendirikan ekstra kurikuler Ipema dan karena dia terkenal, banyak teman-temannya yang mau bergabung.
“Kita nyanyi yuk,” bisik Annisa pada Mariyyah yang tengah memerhatikan api unggun. Didekat api unggun tampak Kakak kelasnya sedang bermain akustik.
“Nyanyi? Nyanyi apa?”
“Shalawat Badriyah saja.”
“Malu aku, Annisa. Kamu saja.”
“Loh, kita kan anggota Ipema masa nggak bisa shalawat badriyah?” Annisa lalu menarik Mariyyah dan Shaffiyah setelah pemain akustik menyelesaikan musiknya. Sebelum pemain akustik itu pergi, Annisa segera mencegahnya lalu dia membisikkan sesuatu pada pemain akustik itu dan dia lalu mengambil microphone dan memperkenalkan dirinya.
                                                                        ***
Faisal serius memerhatikan tiga dara cantik yang tengah mendendangkan shalawat. Bukankah gadis yang berdiri ditengah itu adiknya Salma? Namanya Annisa tadi dia bilang, dari fakultas teknologi informatika. Suaranya enak sekali didengar. Dia juga sama sekali tidak menampakkan rasa grogi seakan dia sudah biasa tampil didepan umum, berbeda dengan kedua temannya yang masih malu-malu.
“Kamu tertarik sama Annisa.” Aisyah yang melihat Faisal begitu serius memerhatikan Annisa lalu berbisik. “Kenalan sana,” dukungnya.
“Dia adiknya Ahmad loh.”
“Memangnya kenapa? Kak Ahmad kan bukan Harimau.”
Ahmad memang bukan Harimau tapi Faisal yang sangat mengagumi seniornya itu merasa segan untuk mendekati adiknya. Apakah Ahmad akan memberikan restu padanya untuk mendekati adiknya? Bagaimana jika Ahmad menolak? Tapi dengan dukungan dari Aisyah, Faisal pun menghampiri ketiga dara itu usai mereka mendendangkan shalawat.
Dengan perasaan agak canggung dia mengulurkan tangannya ingin berkenalan dengan Annisa, tapi gadis itu malah sedang mengobrol dengan gembira bersama teman-temannya yang lain, Faisal dia biarkan saja terbengong-bengong seperti orang bodoh. Kenapa dia merasa grogi? Yang dihadapinya kan hanya mahasiswa baru, dia sudah tingkat akhir sudah terbiasa menghadapi mahasiswa baru seperti ini tapi kali ini dia tidak bisa mengalahkan rasa groginya.
“Annisa.” Sarah memberi kode agar Annisa berbalik ke belakang. Sejenak Annisa hanya tertegun setelah memberikan senyuman pada laki-laki itu, dia pun kembali mengobrol dengan teman-temannya.
“Annisa ya, adiknya Salma kan? Kenalkan aku Faisal, teman sekelas Salma.” Faisal mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Annisa tapi gadis itu sama sekali tidak mengulurkan tangan, dia hanya menangkup kedua tangan didekat dadanya seraya menyebutkan namanya,
“Annisa.”
“Suara kamu bagus, cocok sekali kalau jadi penyanyi, di Ipema kita juga punya grup vokal, mungkin kamu juga bisa bergabung atau membuat grup vokal sendiri bersama teman-temanmu.” Senyum manis Annisa tersembul dibibir mungilnya yang berwarna merah alami.
“Terima kasih atas tawarannya, Kak, tapi maaf Annisa tidak berminat menjadi penyanyi ataupun membentuk grup vokal yang tadi itu hanya iseng saja.”
“Tapi kamu berminat masuk Ipema?”
“Ya, Insya Allah.”
Sarah tersenyum melihat Annisa kali ini tidak bersikap dingin lagi terhadap laki-laki. Biasanya dia akan menjawab pertanyaan laki-laki hanya dengan satu atau dua kata dan bahkan tanpa senyuman. Mungkinkah karena dia sudah berubah?
                                                                        ***

“Di, nggak datang ke penutupan ospek.” Bobby melemparkan sekaleng minuman pada Andy. Lalu dia duduk di kursi sebelah sahabatnya. Dibelakang Bobby muncul Teddy yang datang membawa sekantung minuman yang sama.
“Buat apa? Ngecengin adik kelas? Gue kan udah bilang, gue nggak level sama anak yang kemarin masih pakai seragam SMA.”
“Dia kan udah punya Alika, Bob. Buat apa ngecengin anak ingusan?” ujar Teddy.
“Alika? Bukannya elu sama Windy? Sejak kapan putus sama Windy?”
“Dua jam yang lalu,” jawab Andy asal.
“Berarti Retno mau dibuang ke laut juga, trus Diana sama Susan mau dijadiin koleksi?” canda Bobby walau dia tahu sekarang Andy sedang dekat dengan Tiara setelah putus lama dari Alika.
Andy hanya menyeringai. Seenaknya saja Bobby mengabsen mahasiswa-mahasiswa yang telah lulus seolah Andy seorang playboy yang pernah memacari mereka saja. Tapi memang ketiga perempuan itu pernah mengejar-ngejar Andy saat mereka masih seangkatan dulu, sekarang ketiganya telah sama-sama lulus sementara Andy masih asik-asik saja dengan statusnya sebagai mahasiswa yang sebentar lagi mungkin akan segera berganti statusnya menjadi mahasiswa abadi.
“Gue bilangin ya, Elu bakalan nyesel deh kalau nggak ngecengin anak-anak baru sekarang, soalnya cewek-ceweknya pada cakep-cakep, tanya deh sama Teddy.” Bobby memberi kabar berita.
“Gue setuju, Di. Ngga rugi deh, elu ngecengin salah satunya.” Tanpa dia memberitahukan pada Andy bahwa di kampus mereka ada seorang gadis cantik yang sangat menarik tapi karena gadis itu berhijab, Teddy yakin Andy pasti tidak akan berminat. “Ada Ajeng, siswa teladan yang dapat nilai tertinggi di SMA seindonesia, trus ada lagi namanya Asri, juara olimpiade matematika yang waktu itu pernah masuk TV, kalau elu nggak suka cewek pinter, elu bisa kecengin Rossy, yang kemaren ini jadi cover girl majalah remaja, bodinya, Di, yahud! Macam gitar spanyol, trus ada Vivi, kemarin dia baru main sinetron Ganteng nggak, Serigala iya, tinggal pilih deh sama elu.”
Sekali lagi Andy hanya menyeringai. Semenarik apapun mahasiswa baru, bagi Andy tetap saja dia hanya bocah ingusan. Andy paling malas berurusan dengan anak kemarin sore yang biasanya manja. Apapun yang diinginkannya harus selalu dituruti dan ujung-ujungnya dia hanya akan dijadikan tukang antar jemput saja jika memacari mahasiswa baru.
“Oya, ada satu lagi, Di, anak informatika, bodinya emang nggak yahud kaya Vivi, bukan cewek berotak cemerlang kaya Ajeng, tapi dia menarik, Di, namanya Annisa. Anaknya cantik, pure, lucu, periang, ibaratnya nggak ada dia nggak rame tapi yang lebih lucu lagi kalau dideketin cowok dia mengerut kaya daun putri malu.”
“Oh.” Andy menjawab acuh tak acuh.
“Tapi dia berhijab.”
“Jangan gila deh! Elu mau ngenalin gue sama Ustadzah, mau nyuruh gue tobat yah?”


Jumat, 07 Agustus 2015

Lembar kedua Birunya langit Cinta : Ketika awan kelam semakin menghitam

Andy menggeliat saat dia merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Sayup-sayup dia mendengar suara lembut Ibunya yang membangunkannya. Ketika Andy melihat jam meja yang dia letakkan diatas meja dekat tempat tidurnya, dia mengubah posisi tidurnya jadi telungkup sambil menggumam, “Ten minute, Mom.”
“Ten minute? Sekarang sudah hampir pukul sebelas tiga puluh, mau sampai kapan kamu tidur, Andy?” Ibu Khaula menarik selimut yang menyelubungi tubuh putranya. Ditariknya tangan Andy agar segera bangun. Tapi karena tubuh putranya terlalu besar dan kuat, Ibu Khaula sampai tidak sanggup untuk menariknya.
Oh, Mom. Please, don’t bother meI’m tired!”
“Pulang jam berapa kamu semalam? Mommy menunggu kamu sampai pukul satu tapi kamu belum pulang juga, habis pesta lagi?”
Tidak ada jawaban, hanya terdengar geraman kesal yang keluar dari tenggorokan Andy. Saat putranya akan kembali tidur, Ibu Khaula kembali menarik tangan putranya.
Dengan terpaksa Andy pun duduk diatas tempat tidurnya sambil mengerjapkan matanya. Rambutnya yang berantakan dengan mata layu sama sekali tidak menghilangkan ketampanan wajahnya. Tubuhnya yang kekar mengingatkan Ibu Khaula pada suaminya. Andy memang pahatan asli Ayahnya.
“Since when do you care what time I come home?”
“I’m your mother, I will always care about you, of course.”
“Bullshit!” Andy menukas marah.
“Andy.” Suara Ibu Lala kali ini terdengar sedih.
Dia tahu selama ini telah berbuat salah pada putra semata wayangnya. Sudah bertahun-tahun dia dan suaminya meninggalkan Andy, membiarkan Andy kecil hidup sendiri di Indonesia dan membiarkannya tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang.
“Maafkan Mommy, Mommy tahu ini semua salah Mommy dan Daddy, karena itu sekarang Mommy disini untuk memperbaiki semuanya.”
Memperbaiki? Andy menyeringai.
Sudah terlambat! Waktu tidak akan pernah kembali, dia sudah dewasa sekarang, takkan mungkin kembali menjadi kanak-kanak. Jika Ayah dan Ibunya sanggup mengembalikan masa kanak-kanaknya yang telah hilang, Andy mungkin bersedia untuk menerima kehadiran mereka kembali.
“Daddy tanya bagaimana dengan kuliahmu? Sudah hampir enam tahun kamu kuliah, kenapa masih belum lulus, memang untuk mendapatkan gelar sarjana saja harus selama itu?”
“Kalau di Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana perlu waktu sepuluh tahun.” Andy menjawab asal-asalan.
Tentu saja dia berbohong, memangnya kuliah kedokteran sampai membutuhkan waktu yang lama? karena dia sebenarnya malas meneruskan kuliahnya. Kalau bukan karena tuntutan Ayahnya yang selalu meminta Andy untuk kuliah, mungkin dia tidak ingin kuliah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk pesta bersama perempuan tentu saja. Karena itu sampai sekarang dia masih di tingkat akhir terus. Enggan dia mengakhiri masa kuliahnya. Teman-teman seangkatannya entah sudah pergi kemana.
“Sekarang kamu nggak kuliah?”
“Dosennya lagi cuti hamil.”
“Cuti hamil? Memangnya tidak ada asisten dosen?”
“Asdosnya juga sedang cuti hamil.”
“Astaga, masa dosen dan asdos sama-sama cuti hamil?” Andy sudah akan kembali tidur, tapi lagi-lagi Ibunya mencegah. “Bangunlah, sebentar lagi makan siang siap, apa perutmu tidak lapar.”
Digoda dengan makanan tentu saja Andy tergiur. Perutnya seketika langsung berbunyi. Untuk memenuhi tuntutan si lambung yang sudah mulai demonstrasi, mau tak mau Andy pun beranjak dari tempat tidurnya.
                                                                        ***
Ketika Andy turun untuk makan siang, tampak Ayahnya telah duduk disinggasananya. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan saat melihat anaknya muncul, padahal sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Tidakkah dia merasa rindu pada anak tunggalnya? Ataukah dia memang sama sekali tak pernah rindu, karena itu dia tenang-tenang saja meninggalkan putranya seorang diri sementara ia bersenang-senang di negera orang.
Andy belum pernah menemukan orang tua yang meninggalkan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun seorang diri di rumah, tapi orang tuanya tega meninggalkan anaknya seorang diri di sebuah Negara sementara mereka berada di Negara berbeda. Bukan hanya sekedar berada di Negara yang berbeda tetapi berada di Benua yang berbeda!
“Sudah jam berapa ini? matahari sudah sampai diatas kepala, kamu baru bangun?” Andy sama sekali tidak memerdulikan komentar Ayahnya. Dia menghempaskan bokongnya diatas kursi makan lalu dia membalikkan piring yang telungkup diatas meja. Dengan penuh perhatian Ibunya mengisi piring Andy dengan nasi.
Tumis kangkung. Tempe goreng. Sambal goreng ati dengan potongan petai. Dan telur mata sapi. Benar-benar tradisional sekali, makanan khas sunda yang sangat digemari oleh Ayahnya. Tampaknya sang Ayah tercinta telah sangat merindukan masakan made in Indonesia. Atau karena sudah terlalu banyak menumpuk kolesterol ditubuhnya, makanya ia kembali ke masakan Indonesia yang rendah kolesterol?
“Apa seperti ini hidupmu sehari-hari, pulang pagi, bangun siang, malam kamu jadikan siang, siang kamu jadikan malam, memangnya kamu mau belajar jadi kelelawar?”
Kata-kata Ayahnya seakan menjadi angin lalu bagi Andy, dia sama sekali tidak menghiraukannya. Dia sibuk menikmati makan siangnya. Sudah lama juga dia tidak pernah menikmati masakan rumah, apalagi menikmati masakan Ibunya, ingat makan pun para asisten rumah tangga di rumahnya pasti akan merasa sangat gembira.
Tidak disangka, masakan Ibunya sangat lezat, persis seperti buatan Neneknya, ia pandai juga mengolah masakan Indonesia, dalam hidupnya mungkin ini pertama kali Andy menikmati masakan Ibunya. Tapi Andy merasa skeptis, mungkin saja ini akan menjadi yang pertama sekaligus terakhir untuknya menikmati masakan lezat ini.
“Bagaimana dengan kuliahmu? Bukankah seharusnya tahun ini sudah selesai?”
“Belum.” Andy menyahut datar.
“Memangnya berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menempuh gelar sarjana?”
“Selama yang aku mau.” Lagi-lagi Andy menjawab asal-asalan.
“Andy! Daddy serius bertanya padamu, kenapa dari tadi kamu seperti tidak mau mengobrol dengan Daddy? Daddy hanya ingin tahu kehidupan kamu sekarang seperti apa, kalau seperti ini caramu menjalani kehidupanmu, sebaiknya kamu ikut Daddy ke Amerika, kita hidup bersama-sama sebagai keluarga disana.” Pak Jacob menggenggam tangan putranya berharap putranya meluluhkan hati dan sudi mengikuti kata-katanya. “Kamu lanjutkan study-mu hingga S3, lalu kita buka bisnis baru disana, kita bisa bekerja sama sebagai Ayah dan anak, dan kamu juga bisa mendapatkan banyak perempuan cantik-cantik disana, bule-bule disana sangat menarik, kamu mau punya pacar tiga, lima, atau berapapun yang kamu mau, terserah.”
Andy geram sekali mendengar kata-kata Ayahnya, tiba-tiba saja selera makannya jadi hilang. Dia merasa perutnya terpilin-pilin, sama sekali tidak bisa mencerna makanan yang telah masuk. Dengan berang Andy lalu mengangkat piringnya dan membantingnya ke lantai. Suara pecahan piringnya sampai membuat kedua orang tuanya terperanjat.
“Jangan suka mengganggu selera makan orang!” tukasnya bengis. “Lagipula, apa maksudmu ingin mengatur hidupku? Ingin kita kembali menjadi keluarga kau bilang? aku tak pernah punya keluarga! Selama lima belas tahun ini aku sudah tidak pernah lagi punya orang tua! Sudah terlalu terlambat untuk aku, kau dan dia…” Dengan tanpa perasaan dia mengarahkan telunjuknya, menuding pada Ibunya. “kembali seperti dulu lagi, hatiku sudah mati rasa! Yang harus kau lakukan sekarang, jangan pernah mendikte hidupku! Aku mau melakukan apapun, terserah aku! Dan sebaiknya kalian berdua enyah dari hadapanku!”
Dengan perasaan marah, Andy lalu pergi dari meja makan. Dia melangkah ke arah lemari es karena ingin memenuhi perutnya yang masih terasa lapar dengan bir yang telah dia simpan sebagai persediaan. Tapi dia terkejut saat melihat isi lemari es telah berganti dengan bahan makanan dan berkaleng-kaleng birnya telah hilang.
“Bi Ginah! Bi Ginah! Kamu kemanakan birku!” teriak Andy murka.
“Birmu sudah Mommy buang, memangnya setiap hari kamu meminum itu? Bagaimana dengan kesehatanmu?”
Hatinya yang sudah terlanjur marah semakin bertambah berang saat mengetahui Ibunya sudah membuang habis bir persediaannya. Dibantingnya pintu lemari es sekuat tenaga untuk melampiaskan kemarahannya. Andy lalu merampas kunci motor yang tergeletak diatas lemari es dan segera pergi dari rumahnya.
Pak Jacob hanya terdiam melihat kemarahan putranya. Luka hatinya memang terlalu sulit untuk diobati. Rentang waktu selama lima belas tahun terlalu panjang untuk dihabiskan oleh putra tunggalnya bersama luka yang terus melebar setiap hari. Tapi Pak Jacob sama sekali tidak menyalahkan Andy, karena memang dialah yang salah, bukan putranya.
“Dad, bagaimana ini? Andy tampaknya tidak menerima kehadiran kita,” keluh istrinya sedih. Tangannya bergetar saat ia merapikan pecahan piring dilantai, setetes air mata jatuh ke atas pecahan piring.
Bagaimana mereka bisa memperbaiki kesalahan yang telah lalu jika putranya sendiri pun terlihat enggan untuk memperbaikinya.
“Suka atau tidak suka, kita tetap akan disini, sudah cukup kita telah membuat hatinya terluka selama ini, kehadiran kita mungkin akan memperparah lukanya tapi kita harus mengambil hati Andy kembali.”
“Tentu saja, Andy anak kita satu-satunya, tak mungkin kita terus mengabaikannya seperti dulu, walaupun Andy akan terus-terusan menolak tapi Mommy tetap akan berusaha mendekatinya.”
                                                                        ***
Bobby keheranan saat melihat tengah bolong begini Andy muncul di rumahnya. Tidak seperti biasanya siang hari dia keliaran diluar rumah, jadwal rutinnya jam segini dia paling sedang menghabiskan waktunya main game dirumahnya sambil ditemani bir dan sepiring kacang kulit atau sekedar meladeni telepon pacar-pacarnya yang seabreg banyaknya sambil menonton televisi. Lalu saat sore menjelang dia akan bersiap-siap untuk kencan dengan kekasihnya.
“Ada apa, Sob?” Siang-siang begini tumben sudah bangun. Ingin sekali dia mengatakan kalimat itu pada Andy, tapi melihat mendungnya wajah pria itu, dia urung mencandainya.
“Si tua bangka itu ada dirumah,” jawab Andy sambil membanting tubuhnya diatas tempat tidur kawannya.
Bobby hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar sebutan pedas pada Ayahnya sendiri. Tetapi dia juga tidak bisa menegur Andy, salahkah Andy bila dia kemudian menjadi sangat benci pada kedua orang tuanya setelah bertahun-tahun kedukaan yang mereka berikan pada sang putra semata wayang?
Bobby membiarkan Andy rebahan di tempat tidurnya dan kembali menekuni majalahnya tanpa berminat menanyakan kelanjutan cerita apapun tentang orang tua Andy. Dia tahu Andy takkan senang jika ditanya ini-itu soal keluarganya yang berantakan.
Sejak Andy berusia sepuluh tahun, keluarganya memang sudah berantakan. Kedua orang tuanya sempat bercerai setelah diketahui Ayahnya sempat memiliki istri lain. Ibunya yang tak tahan dengan kelakuan Ayahnya lalu memuntut cerai. Mereka pun berpisah setelah berbulan-bulan melalui hari-hari dengan berbagai pertengkaran dan menyisakan luka dihati Andy.
Setelah perceraian itu Ibunya menikah lagi dengan laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih muda. Entah apa yang diharapkan Ibunya dari pemuda yang baru berusia dua puluh tahun itu, sampai kemudian dia ketahuan hanya ingin menghabiskan harta Ibunya saja. Dia menguras habis harta Ibunya. Perlakuannya pada Andy pun tidak pernah baik, dia sering memukuli Andy. Hingga kemudian mereka pun akhirnya bercerai begitu saja.
Karena masih saling mencintai setelah dua tahun berpisah, kedua orang tua Andy memilih untuk kembali lagi. Dengan sebuah janji tertulis dan bersegel Ayahnya tidak akan selingkuh lagi. Lalu mereka sama-sama tinggal di Amerika dan meninggalkan Andy di Indonesia bersama dengan Pamannya. Andy sudah tidak merespon kembalinya mereka karena hatinya terlanjur mati rasa pada Ayah dan Ibunya.
Sebelum perceraian itu, Andy memang tak pernah merasa punya cinta pada Ayahnya. Baginya Ayahnya yang workaholic dan jarang berada dirumah hanya ada dan tiada. Dia malah lebih dekat dengan Paman dan Kakeknya. Tapi sejak Kakeknya meninggal dan Pamannya disibukkan dengan perusahaan warisan sang Kakek yang ditinggalkan Ayahnya, Andy jadi sendirian. Dia pun mencari kesenangan diluar dengan caranya sendiri.
Pada Ibunya, Andy pun tidak terlalu respect, walau dia pernah hidup bersama dengan Ibunya tapi sejak Ibunya lebih memerdulikan suami mudanya itu, Andy jadi semakin membenci Ibunya. Ibunya bahkan tidak perduli meski Andy ditampar oleh Ayah tirinya didepan matanya hanya dengan dalih untuk mengajarkan Andy. Apa yang diajarkan oleh orang tua pada anaknya dari sebuah tamparan.
Bobby mengetahui itu semua karena dia merupakan teman Andy ketika kecil dan kebetulan mereka seusia, walaupun mereka memulai kuliah diusia berbeda, sebelumnya Bobby merupakan tetangga Andy dan Bobby tahu persis seperti apa berantakannya keluarga Andy. Dia sering mendengar Andy dipukuli Ayah tirinya dan melihat Andy melompat pagar untuk kabur dari rumah dan entah pergi kemana.

Namun meski mereka sudah mengenal sejak kecil, mereka baru menjadi sahabat dekat sejak Andy tak kunjung mau kuliah hingga membuatnya menjadi teman sekelas. Keluarganya yang berantakan membuat Andy tak pernah bersahabat dengan dunia.

Selasa, 28 Juli 2015

Sesal

Doddy terkejut ketika dia sedang mengendarai mobil Honda Jazz kesayangannya dia melihat sesosok pria tertidur di jalan. Buru-buru dia menginjak rem sebelum mobilnya melindas tubuh yang terbaring itu.
Apa-apaan sih bapak itu tidur di jalanan! Kalau sampai dia tertabrak bagaimana! Rutuknya kesal. Apa dia sudah terlalu mabuk sampai tidak bisa bangun lagi? Atau jangan-jangan dia korban tabrakan dan tidak ada yang menolongnya?
Merasa penasaran Doddy keluar dari dalam mobilnya. Dihampirinya tubuh pria itu. Sekedar untuk mengetahui apa dia masih hidup atau mungkin sudah mati. Mudah-mudahan saja dia masih hidup jadi tidak usah sampai menyusahkan. Harus lapor polisi lah, menghubungi rumah sakit lah, jangan-jangan malah nanti dia jadi terseret-seret masalah lagi.
Perlahan Doddy membalikkan tubuh yang tertelungkup itu dan dia tersentak kaget. Hampir saja jantungnya melompat keluar. Keadaannya mengenaskan. Darah terus mengalir keluar membanjiri tubuhnya. Tubuh Doddy langsung gemetaran. Dihempaskannya kembali tubuh yang sudah terbujur kaku itu ke jalan lalu dia melangkah mundur selangkah demi selangkah.
Kedua tangannya sudah dibasahi darah. Pakaiannya juga. Darah itu tidak mau hilang. Padahal orang itu sudah mati kenapa darahnya masih terus mengalir? Doddy semakin ketakutan. Dia ingin pergi dari tempat itu tapi dia tidak bisa, kakinya seperti terpaku ke dasar bumi. Jangan kan untuk lari bahkan untuk melangkah pun sulit.
Wajah Doddy semakin memucat, seperti tidak dialiri darah. Dan kemudian dia tersentak kaget ternyata semuanya hanya mimpi. Dia lalu terbangun, di pegangi dahinya yang mengeluarkan banyak keringat. Bergegas Doddy turun dari tempat tidurnya segera pergi ke kamar mandi untuk mencucinya.
Hampir setiap malam sejak hari itu, dia terus memimpikan mayat laki-laki berlumuran darah. Mimpi itu selalu mengusik tidurnya. Membangunkannya. Tepatnya setelah dia menabrak laki-laki paruh baya yang menggunakan motor bebek tua. Dan ironisnya Doddy takut untuk bertanggung jawab. Dia lari tunggang-langgang usai mobilnya dengan kejam menabrak motor bebek itu. Pengemudinya jatuh terseret dan anak gadis yang menjadi penumpang terjatuh tak jauh dari motornya.
Doddy terlalu takut disuruh bertanggung jawab. Dia tidak mau menghabiskan hidupnya didalam penjara. Masa depannya masih panjang, jika dia menghabiskan separuhnya dalam penjara hanya akan menghancurkan masa depannya. Karena itu dia meminta bantuan ayahnya untuk menyembunyikannya. Tapi sekarang karena dia telah menjadi seorang pengecut. Dosa itu malah terus menghantui hidupnya. Membayang-bayangi sepanjang hidupnya. Rasa takut dan mimpi buruk tidak pernah dapat dihindarinya.
                                                                        ***
“Dod, kamu mau kemana?” Ibunya menyapa ketika melihat putranya menuruni tangga sambil mengenakan jaket bersiap hendak pergi. Anak itu kalau tidak ditanya tidak akan memberitahu kemana dia akan pergi.
“Doddy mau menemui Feni, Ma.”
“Menemui gadis itu lagi? Setiap hari kamu tidak pernah absen menemuinya.”
“Habis, dia anak yang menyenangkan, Ma, kalau sudah sama dia berjam-jam juga tidak pernah membosankan.”
Ibu Doddy tersenyum. Sudah dapat diperkirakan olehnya. Putra sulungnya ini sedang jatuh cinta. Dia pasti telah jatuh cinta pada gadis itu. Jarang-jarang Doddy berwajah begitu ceria meski hanya menyebutkan namanya.
“Kapan kamu mau mengenalkan dia pada Mama dan Papa?”
“Aku ragu apa mama akan menyukai dia, apalagi papa.”
“Loh kenapa? Kalau anak Mama menyukai gadis itu, kenapa Mama harus tidak menyukainya? Kalau soal papa, Mama bisa membujuk Papa.”
“Karena dia bukan anak orang kaya dan terpandang seperti yang Papa sukai, dia hanya anak pegawai negeri, ayahnya sudah meninggal dan ibunya yang janda harus membiayai hidupnya dan kakaknya dengan bekerja di perusahaan finance selain itu dia juga tuna netra.”
Ibu Doddy terkejut mendengar penjelasan putra sulungnya. Bukan karena gadis itu hanya anak seorang karyawan swasta yang sudah yatim tapi dia buta. Kenapa Doddy bisa menyukai gadis buta? Tanpa perlu dikenalkan pada ayahnya sudah pasti beliau menolak. Jangankan menyukai gadis buta, menyukai gadis yang tidak sederajat dengan mereka saja pasti Doddy akan ditentang.
Tapi ibu Doddy tidak bisa melarang putranya jatuh cinta. Kalau sudah ingin Doddy seperti itu pasti tidak akan bisa dilarang apalagi dalam urusan cinta. Melarang Doddy jatuh cinta sama saja menyuruh matahari esok terbit di barat. Lantas kalau sudah begitu bagaimana caranya memberitahu pada ayahnya? Doddy dan ayahnya sama-sama keras kepala.
                                                                        ***
“Doddy!” Wajah Feni berseri-seri mengetahui tamu yang datang adalah orang yang sejak tadi dinanti kehadirannya. Yang hampir setiap malam selalu hadir dalam mimpinya. Dan yang sudah membuatnya sering tidak bisa tidur karena terlalu banyak memikirkannya.
Doddy hanya tersenyum melihat Feni bisa menebaknya padahal dia tidak bisa melihat.
“Kok tahu sih aku yang datang?”
“Dari baunya juga sudah bisa ketebak, ini pasti Doddy.”
“Dari baunya atau kamu sudah memperkirakan kedatangan pujaan hatimu ini?” memerah wajah Feni di goda seperti itu oleh Doddy. Membuat Doddy jadi gemas ingin sekali mencubitnya dan ingin mengecupnya. Tapi tidak ingin dia melakukan hal seperti itu pada Feni. Gadis ini tidak pantas hanya sekedar untuk diambil sarinya lalu dibuang ampasnya. Dia gadis istimewa dan terlalu berarti untuk Doddy.
“Ayo masuk, Dod.” Feni menggerak-gerakkan tongkatnya meraba-raba sekitarnya.
Miris hati Doddy setiap kali melihat Feni yang seperti itu. Gadis itu cantik tapi kenapa harus buta? Feni memang tidak buta sejak lahir, dia hanya korban tabrak lari dua tahun silam. Kedua matanya menjadi korban karena kornea matanya rusak terkena pecahan kaca spion. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan itu. Feni terpaksa harus menunggu donor yang bersedia memberikan sepasang mata padanya jika dia ingin melihat lagi.
Doddy mengenal Feni setengah tahun lalu di sebuah taman ketika dia sedang jalan-jalan mencari udara segar. Tidak seperti biasanya memang Doddy sudi mampir ke taman. Di taman itu dia melihat seorang gadis sedang duduk sendirian, pandangannya lurus kedepan dan dia tidak bergerak sama sekali. Doddy merasa heran melihat gadis itu. Kenapa dia terus berada dalam posisi seperti itu selama bermenit-menit? Sekalipun sedang duduk biasanya dia akan melakukan gerakan-gerakan kecil seperti mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.
Barulah Doddy tahu dia buta saat seorang jambret merampas kalungnya. Begitu paniknya dia menyadari kalungnya hilang, tangannya berusaha menggapai-gapai mencari sesuatu namun yang tertangkap olehnya hanya angin. Dia berteriak meminta tolong lalu menangis. Tak ingin Doddy membiarkan gadis itu bersedih, dia lalu menghadang jambret yang berlari kearahnya. Untung saja dia karateka jadi dia bisa dengan mudah melumpuhkan jambret itu. Di kembalikannya kalung itu pada gadis tadi. Dari sanalah mereka berkenalan.
Hari itu ternyata Feni sedang membiasakan dirinya sendirian sambil menikmati sejuknya udara taman. Dia tidak ingin terus menyusahkan kakaknya, menjadi tongkat dalam hidupnya yang membuatnya akan terus membutuhkannya untuk berpegangan. Terharu Doddy mendengar penjelasan itu, dia jadi merasa penasaran ingin mengenal lebih jauh gadis ini. Dan sekarang mereka sudah mulai akrab bahkan Doddy sudah berani menyatakan cintanya dua minggu lalu. Feni memang belum menjawabnya tapi Doddy tahu perasaan mereka sama.
“Kamu mau minum apa, Dod, biar aku buatkan.”
“Nggak usah repot-repot.”
“Tenang saja, aku sudah bisa buatkan minuman buat kamu kok, mau kubuatkan es jeruk, panas-panas begini pasti segar kalau meminum es jeruk.”
“Boleh kalau begitu.”
Feni lalu pergi ke dapur. Doddy mengikuti langkahnya. Dia juga ingin tahu sampai sejauh mana Feni bisa bekerja sendiri. Diperhatikannya Feni yang sedang menyiapkan es jeruk dari sirup rasa jeruk. Dia tidak salah menakar banyaknya sirup dan air kedalam gelas yang sudah dipersiapkannya. Dia juga menuangkan es ke dalam gelas dengan tepat, tidak sampai menumpahkan isinya. Tidak ragu juga dia membawa es jeruk dengan sebelah tangannya.
Bergegas Doddy kembali ke ruang tamu sebelum Feni mengetahui dia sudah mengintipnya. Feni melakukan semua pekerjaannya seolah kedua matanya dapat melihat dengan normal. Dia sudah membiasakan dirinya dengan kegelapan padahal menurut ibunya sejak kecil Feni paling takut dengan gelap. Terbayang olehnya bagaimana hari-hari pertama yang dijalani Feni dalam kegelapan yang selalu ditakutinya.
“Nah, kamu lihatkan aku berhasil membuatnya?” Doddy tersenyum. Meski dia tahu Feni tidak akan bisa melihat senyumnya tapi tidak dia sesali senyum itu.
“Terima kasih.”
Kedatangan Doddy kerumah sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Meski terkadang Feni bingung mau mengajak Doddy mengobrol apa tapi kebersamaan mereka tidak pernah menjadi sia-sia. Doddy selalu punya bahan pembicaraan yang mengasyikan.
“Dod, boleh aku meraba wajah kamu?” sesaat Doddy terdiam. Dibawanya kedua telapak tangan Feni ke wajahnya. Hanya dengan cara meraba wajah oranglah Feni bisa mengenali orang lain. “Kalau aku ingin melihat lagi, orang pertama yang ingin sekali kulihat adalah kamu, Dod, aku ingin melihat wajah ganteng kamu.”
“Tapi aku jelek loh, Fen, mukaku bopengan, punya tompel besar di pipi, hidungku pesek, mataku bulat seperti ikan koki, pokoknya aku nggak seganteng yang kamu kira.”
“Jangan suka menyumpahi diri sendiri, Dod, nanti kuwalat baru tahu rasa.” Feni mengucapkannya sambil tersenyum tapi Doddy sama sekali tidak memperlihatkan senyum di wajahnya.
“Tapi aku memang tidak sebaik yang kamu kira.” Feni tertegun.
Apa maksud ucapan Doddy? Dia sama sekali tidak dapat mengiranya. Pasti maksudnya bukanlah wajahnya yang jelek. Doddy tidak jelek kok, Feni dapat merasakannya. Wajahnya tidak seburuk yang dia katakan.
Doddy memang menyimpan satu rahasia. Rahasia yang sama sekali dia tidak ingin Feni mengetahuinya. Dia tidak mau jika sampai Feni mengetahui rahasia itu, gadis itu jadi menjauhinya. Membencinya dan tidak ingin menemuinya lagi. Karena kehadiran gadis inilah Doddy jadi merasakan gairah hidup kembali.
Dari Feni dia dapat melihat, ketegaran seorang gadis. Meski dia hidup dalam kegelapan yang mungkin seumur hidupnya, kehilangan orang yang paling disayangi dalam waktu bersamaan, tapi dia tetap berdiri diatas kakinya sendiri. Bahkan Feni tidak ingin menyusahkan orang lain meskipun dia buta. Dan dia ingin tetap bersemangat seperti Feni.
Selama ini hidupnya selalu bergelimangan harta. Doddy tidak pernah kurang suatu apapun. Ayahnya yang seorang pedagang besar dapat memenuhi segala permintaannya. Bahkan untuk membebaskannya dari balik jeruji besi pun tangan ayahnya lah yang bergerak. Doddy di sembunyikan diluar kota, mobil yang pernah menabrak orang itupun dibuang dan menggantinya dengan mobil baru.
Demi melindungi anak laki-laki semata wayangnya ayah Doddy memang rela melakukan apapun. Tapi dosa itu tetaplah tidak bisa dihindari oleh Doddy. Meski ayahnya punya uang miliyaran sekalipun mimpi buruk itu tetap tidak mau enyah menghantui hidup Doddy.
                                                                        ***
Ibu Feni merasa senang melihat putri bungsunya sudah dapat lebih bersemangat lagi dari sebelumnya. Karena kehilangan ayah yang paling disayanginya dan cahaya hidupnya, Feni pernah berniat ingin bunuh diri. Feni memang paling dekat dengan ayahnya dan ketika ayahnya pergi dia seolah tidak memiliki sandaran hidup lagi.
Tapi ketika Feni melihat ketegaran ibunya yang tetap berjuang menghidupi kedua putrinya sebagai single parent Feni jadi merasa tidak ingin terus terpuruk dalam kesedihan. Dan sekarang dengan kehadiran Doddy semangat Feni untuk bisa berdiri diatas kakinya sendiri semakin menyala. Dialah yang sekarang menjadi cahaya untuk Feni. Cinta Doddy lah yang menunjukkan jalan kehidupan baru untuk Feni.
“Nak Doddy, tante berterima kasih karena selama ini Nak Doddy mau menemani Feni, sejak dia tuna netra, teman-temannya menjauhi Feni, tidak ingin ada yang menemaninya lagi tapi Nak Doddy meski tahu Feni tidak dapat melihat, Nak Doddy tetap berada di sampingnya. Tante merasa senang sekali melihat Feni bersemangat lagi.”
“Tante tidak usah berterima kasih sama Doddy, justru karena Feni, Doddy dapat menemukan hidup Doddy lagi. Dulu sebenarnya Doddy bukan anak baik, tante, Doddy hanya anak berandalan, teman-teman Doddy tidak jauh dari alkohol, narkotik, dua kali Doddy pernah hampir mati karena OD, Doddy malah sudah putus asa, tante, Doddy tidak tahu apa Doddy bisa berubah dan lepas dari narkotik tapi waktu Doddy lihat semangat Feni untuk bisa berdiri dengan mengandalkan kaki sendiri meski dia tidak bisa melihat, Doddy sadar selama ini Doddy hanyalah anak manja dan sedikit demi sedikit Doddy sudah mulai bisa lepas dari barang-barang haram itu.”
Doddy salah mengambil jalan pun karena selama ini dia kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan anaknya. Doddy hanyalah salah satu dari sekian anak korban broken home.
“Sebenarnya kamu ini anak baik, Doddy, hanya saja karena pergaulan kamu jadi salah memilih jalan, syukurlah kalau kamu akhirnya sadar.”
“Doddy bukan anak baik, tante, Doddy tidak sebaik yang tante kira.”
Doddy menundukkan kepalanya membenamkan wajahnya dibalik kedua lututnya. Tubuh Doddy bergetar. Dia tampak sedang menyembunyikan suatu masalah besar tapi tak sanggup untuk diungkapkannya. Dan Doddy pun tidak kuasa lagi menyimpannya lebih lama. Apa yang terjadi pada anak remaja ini?
“Dod, kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja, jangan kamu pendam seperti ini. Beban akan terasa lebih ringan kalau kita mau berbagi cerita dengan orang lain meskipun Tante mungkin tidak bisa memecahkan masalahmu tapi Tante bersedia menjadi pendengar Doddy yang baik.”
“Doddy… Doddy….” Tenggelam kembali kata-kata yang sudah hampir meluncur dari bibirnya. Dia takut ibu Feni marah jika dia mendengar pengakuannya ini. “Tante, Doddy lah yang telah menabrak Feni dan ayahnya malam dua tahun yang lalu, maafkan Doddy, Tante, Doddy memang salah.”
Ibu Feni terkejut mendengar pengakuan pemuda ini. Dia tidak mengira ternyata Doddy lah pelaku yang telah menabrak suami dan anaknya lalu kemudian melarikan diri. Tapi kenapa dia harus melarikan diri dan tidak menolong korbannya? Dokter pernah mengatakan, andai saja korban ini dibawa ke rumah sakit lebih cepat mungkin masih bisa tertolong. Ayah Feni meninggal karena kehabisan banyak darah.
“Waktu itu Doddy takut sekali, tante, waktu melihat darah bercecaran di jalan, Doddy benar-benar takut, Tante, Doddy tidak mau masuk penjara, Tante, tapi Doddy sudah membunuh ayah Feni dan membuat Feni jadi buta, Doddy jadi merasa sangat bersalah, selama ini dosa itu terus menghantui Doddy, Tante, Doddy juga tidak mengira kalau akan bertemu lagi dengan Feni, tadinya Doddy juga tidak tahu kalau dia korban yang sudah Doddy tabrak lalu setelah mendengar cerita dari Feni tentang matanya yang buta, barulah Doddy sadar Feni adalah orang yang pernah ditabrak Doddy.”
Ibu Feni tidak mampu berbicara apa-apa lagi. Doddy hanya diam tertunduk menahan kesedihannya. Dan diantara keheningan mereka, dari jarak yang tidak begitu jauh terdengar suara benda terjatuh.
“Feni.” Terkejut Doddy dan ibu Feni melihat gadis itu berdiri tak jauh ditempat mereka. Tongkat Feni terjatuh, dia pasti sudah mendengar semua pengakuan dosa Doddy.
“Jadi… Jadi… kamu pelakunya?! Kamu yang sudah buat Ayah meninggal dan mataku buta! Aku nggak nyangka, Doddy, jadi selama ini kamu dekati aku cuma buat menembus dosa! Kamu jahat, Doddy! Kamu udah mempermainkan aku!” airmata Feni jatuh mengalir.
“Feni, dengarkan dulu penjelasan aku.”

“Apa yang perlu dijelaskan lagi? Semuanya sudah jelas, kamu nggak pernah sayang aku kan? kamu nggak pernah cinta aku, kamu melakukan semua ini karena kamu merasa bersalah sama aku. Kamu cuma pengen menebus dosa kamu kan?”
“Aku cinta sama kamu, Fen, tulus. Aku dekati kamu bukan sekedar buat menebus dosa, aku bener-bener sayang kamu.”
“Kamu tuh orang yang nggak punya hati, Dod, kalau kamu emang punya hati, nggak mungkin kamu biarin Ayah aku mati begitu saja, aku nggak keberatan sekalipun mata aku buta untuk selamanya, tapi kamu udah bunuh Ayah, Dod… kamu tahu berartinya Ayah buat aku seperti apa?”
“Aku tahu ini salah aku, aku minta maaf, aku juga tersiksa karena terus menanggung beban dosa ini, aku mengaku awalnya aku deketin kamu cuma buat menebus dosa, seenggaknya untuk meringankan beban di hati aku tapi selama dekat sama kamu, kenal sama kamu, semakin lama perasaan cinta yang awalnya cuma pura-pura membuat aku benar-benar cinta sama kamu, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengakui cinta, tapi aku nggak bisa berbohong lagi, kamu tahu sendiri kan cinta datang tidak diundang, kamu juga pernah merasakan jatuh cinta, kamu pasti tahu seperti apa rasanya.”
Feni terdiam sejenak. Dia mengerti seperti apa rasa sakit menanggung beban dosa seperti yang dialami Doddy sekarang. Dan dia tidak mau menjadi orang yang telah menyiksa hati orang lain, meskipun masih berat baginya menerima kenyataan, orang yang dicintainya adalah pembunuh Ayahnya.
“Okey, aku maafin kamu, aku juga nggak mau jadi orang jahat yang menyiksa perasaan orang lain dengan nggak memberinya maaf. Tuhan saja bisa memaafkan, kenapa aku manusia nggak?” Doddy tersenyum senang mendengarnya. Dibalik kekesalan Feni masih ada kata maaf dihatinya. “Tapi aku ingin kita seperti dulu lagi, anggap aja diantara kita nggak pernah ada apa-apa, yah mungkin hanya sekedar teman, ketemu selewat, udah nggak ada kejadian apa-apa diantara kita, nggak ada hubungan apa-apa karena terlalu sulit buatku jadi pacar kamu.”
“Ok, aku terima, aku senang kamu sudah maafin aku, tapi tadi kamu bilang anggap aja kita sekedar temen atau ketemu selewat lalu kenalan, kalau gitu berarti kamu memperbolehkan aku buat mendekati kamu sekali lagi, mengambil hati kamu sekali lagi dan dari teman bisa menjadi pacar lagi.”
Feni terkesiap mendengarnya. Maksud hatinya dia ingin mengusir Doddy dengan cara halus, tapi Doddy malah mengatakan akan mengambil hatinya lagi. Seenaknya saja dia mengambil keputusan.

“Terserah kamu.” Feni berlalu tanpa menoleh lagi. Dan Doddy hanya bisa tersenyum senang melihat kesediaan Feni membuka hatinya lagi untuknya, dia bertekad akan memenangkan hati Feni kembali.