Wajahnya
memang tidak terlalu cantik, biasa saja, layaknya gadis dari desa, lugu dan
sederhana bahkan kakinya pun pincang, tapi yang menjadi pesona Lia, dia
memiliki inner beauty. Dia hormat pada orang tua, sopan pada sesama dan sayang
pada anak-anak sehingga Lia disukai banyak orang. Lia sulung dari lima
bersaudara, terlahir dari keluarga yang miskin dan dia rajin membantu orang
tuanya mencari nafkah. Lia menjadi anak kebanggan kedua orang tuanya dan
menjadi Kakak yang paling disayangi oleh adik-adiknya.
Karena
inner beauty yang dimiliki Lia, dia pun dikenal banyak orang dan menjadi
kembang desa bahkan sampai mengalahkan gadis yang paling cantik di desa itu.
Banyak pria yang tertarik pada Lia, yang seumuran atau yang lebih tua sekalipun,
yang bujang, duda bahkan yang beristri juga ada yang berminat ingin menyunting
Lia. Tapi Lia hanyalah gadis berusia lima belas tahun yang masih polos, dia
tidak terlalu menanggapi sinyal cinta yang disampaikan pria itu baik secara
diam-diam ataupun langsung berterus-terang. Karena yang ada dalam benak Lia
hanya satu, ingin membantu meringankan beban orang tuanya, dia ingin
adik-adiknya menikmati bangku sekolah hingga tamat SMA, tidak seperti dirinya
yang hanya sampai mengecap bangku SMP saja.
Untuk
membantu orang tuanya mencari nafkah, Lia biasa bekerja sebagai buruh cuci.
Setiap hari dia mendatangi rumah-rumah tetangganya untuk mencucikan pakaian
mereka dengan upah yang seiklhasnya saja. Jika rumah yang didatanginya baik,
biasanya dia mendapat upah lebih bahkan sampai membawa pulang makanan yang bisa
dia beri pada adik-adiknya, tapi kalau rumah yang didatanginya biasa saja
terkadang dia dibayar kurang dari banyaknya cucian yang harus kerjakannya.
Tetapi meski demikian Lia tetap mensyukuri pendapatannya dan tetap tersenyum
walau peluh berhasil membuat wajahnya tampak kusam. Itulah yang membuat Lia
disukai banyak orang.
Diantara
orang-orang yang menyukai Lia, satu diantaranya merupakan oknum pelindung
masyarakat, tetapi seperti halnya terhadap pria lain, Lia juga tidak menanggapi
perasaan pria itu. Bukannya Lia bermaksud sombong dengan tidak menanggapi
perasaan sang pria yang sangat berkeinginan menyuntingnya itu, tapi Lia tentu
harus menghormati istrinya. Ya, pria itu memang telah beristri dan memiliki anak,
tapi oknum pelindung masyarakat itu dikenal mata keranjang. Dia senang menggoda
anak gadis, apalagi yang seranum Lia.
Karena
dia sudah memiliki istri itulah makanya Lia tidak memerdulikannya, Lia lebih
menanggapi perhatian Putra, karyawan bengkel yang baik hatinya, yang sering
membantu menjaga adik-adiknya bila dia sedang luang, yang kadang-kadang memberi
adiknya uang jajan bila dia memiliki rejeki lebih, yang selalu membawakan
martabak untuk Ayah dan Ibunya kalau ingin mengajak Lia jalan-jalan. Pemberian
Putra memang tidak seistimewa pemberian Pak Gofur, tapi Lia lebih menghargai
ketulusan Putra. Walaupun hanya karyawan bengkel kecil yang memiliki gaji
pas-pasan tapi Putra pria istimewa dimata Lia. Selain itu Putra juga masih
bujang.
Tapi
Lia tidak sadar sikapnya yang cuek terhadap oknum pelindung masyarakat itu
malah membuat sang pelindung masyarakat kesal padanya. Lia dianggapnya terlalu
sombong dan jual mahal.
“Kiranya
siapa dia, berani sekali cueki aku, cih!” Pak Gofur membuang ludahnya dengan geram
ketika dia melihat Lia sedang jalan dengan Putra sambil bersenda gurau.
“Sudahlah,
Pak Gofur, jangan diambil hati, diakan masih kanak-kanak,” ujar Pak Damar yang
mengerti sekali perasaan Pak Gofur.
“Apa
dia tidak tahu siapa aku?” Dengan sombongnya Pak Gofur menepuk dadanya. “Aku
ini pria yang paling dihormati di desa ini, tapi anak baru kemarin sore itu
malah berani sekali menghinaku! Dia tidak pernah menanggapi pemberianku dan
sekarang dia jalan dengan si pegawai bengkel miskin itu!”
“Namanya
juga anak muda, Pak, jangan terlalu diambil hati, biar nanti saya nasehati dia.”
Pak Damar menganggap anak muda jalan berdua itu sudah biasa, asal mereka tidak
melakukan hal yang tidak-tidak saja. Tapi meski Pak Damar berusaha menenangkan
hati Pak Gofur, tetap saja hatinya yang sudah terbakar api cemburu terlalu
sulit untuk ditenangkan.
Semua
orang tahu Pak Gofur sudah memiliki istri dan anak, tapi mereka juga tahu Pak
Gofur tertarik pada Lia. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menghalangi
hasrat Pak Gofur untuk meminang Lia, karena kedudukannya sebagai seorang aparat
keamanan yang memiliki jabatan, bahkan istrinya pun malah mendukung dan
mengatakan rela dimadu bila itu yang diinginkan oleh suaminya.
Tapi
tentu saja Lia tidak ingin dimadu, bila menikah dia tidak ingin berbagi suami
dengan perempuan lain, sepertinya hanya perempuan yang perlu dipertanyakan
psikologinya saja yang rela sang suami membagi cinta. Orang tua Lia juga
sebenarnya tak setuju bila anaknya dijadikan madu, tapi dari pada nanti anaknya
diracun orang, itu jauh lebih berbahaya kan. Lelaki yang punya kekuasaan,
jabatan dan kekayaan memang selalu bisa melakukan apapun yang dia inginkan.
“Nak,
Pak Gofur sudah datang lagi untuk menanyakan jawaban lamarannya,” ujar Ayah Lia
disuatu sore ketika ia dan anak-anaknya sedang beristirahat untuk menekmati
indahnya senja sore yang menghiasi desa mereka.
“Lia
kan sudah menjawabnya, Yah, Lia tak mau diperistri Pak Gofur, Lia mencintai
Putra.”
“Jangan
begitu, Lia, Pak Gofur itu pria yang baik, dia memang sudah berumur dan sudah
memiliki istri, tapi dia berjanji pada Ayah akan selalu membahagiakan kamu dan
memenuhi semua keinginan kamu.”
“Dia
itu bukan hanya sudah beristri, Yah, tapi sudah memiliki anak, anaknya saja
hampir seumur dengan Lia, kenapa Lia harus menerima lamaran dia?”
Ayah
juga tak ingin kamu menikah dengannya, Nak. Bisik hati Pak Rahmat pilu. Ayah
mana yang bersedia putri kesayangannya menjadi istri kedua, tapi sebagai warga
yang tidak memiliki apa-apa selain gubug reyot yang sering bocor dikala hujan,
Pak Rahmat pun tak mampu melawan kehendak Pak Gofur. Tapi Lia juga punya
keinginan sendiri, dia tetap pada keputusannya untuk tidak menerima pinangan
aparat itu karena cintanya pada Putra.
Kekesalan
Pak Gofur semakin memuncak terhadap Lia yang masih juga menolak lamarannya, dia
bersumpah akan membalas penolakan gadis itu. Hingga tiba saat dimana dia
mendapatkan kesempatan itu, suatu hari di hari hujan hampir jatuh membasahi
bumi Lia datang ke rumah Pak Gofur untuk mencuci pakaian atas perintah istri
Pak Gofur karena pembantunya sedang pergi mudik. Kala itu Pak Gofur pun sedang
seorang diri di rumah karena istrinya dan anak-anaknya sedang menjenguk Ibunya
yang sedang sakit dan tinggal di kota.
Pak
Gofur senang ketika Lia datang, karena kesempatannya untuk membalas dendam
akhirnya tiba. Disambutnya ramah Lia yang baru datang lalu diapun segera
memberikan tugas mencuci itu pada Lia. “Lia, nanti cuciannya jemur saja di
dalam, sebentar lagi hujan, pakai mesin cuci ini nggak perlu di jemur diluar
juga bisa kering,” perintah Pak Gofur.
“Baik,
Pak,” sahut Lia patuh.
“Kalau
sudah mencuci, Lia bisa bantu membereskan piring bekas makan dan menyetrika
pakaian Bapak Yah, nanti Bapak beri upah lebih.”
“Maaf,
Pak, bukannya Lia mau menolak perintah Bapak, tapi habis ini Lia mau menjaga
bayi Ibu Eka, Bu Eka sedang sakit, makanya mau minta bantuan Lia untuk menjaga
bayinya.”
“Sebentar
saja, Lia, hanya satu pakaian saja untuk kerja Bapak besok, piring juga tidak
banyak hanya bekas makan Bapak semalam, kalau nunggu sampai istri Bapak pulang
lusa, nanti Bapak tidak bisa pergi ke tempat kerja dong.”
“Baiklah
kalau begitu, Lia akan bantu.”
Lia
pun segera mengerjakan tugas-tugas yang diberikan padanya, sementara itu Pak
Gofur menonton televisi di ruang tengah sambil menikmati cerutunya. Lia yang
cekatan dapat mengerjakan tugas dengan cepat sampai Pak Gofur pun tak sadar Lia
sudah mencuci semua piring kotornya, gadis itu sudah berdiri dihadapannya
menanyakan pakaian yang harus dia setrika.
“Oh,
seragamnya ada di kamar, Lia, kamu bisa ambil sendiri.” Dengan patuh Lia pergi
ke kamar untuk mengambil seragam Pak Gofur yang perlu disetrikanya, tapi diluar
dugaannya Pak Gofur ternyata mengikuti langkahnya. Lia baru sadar Pak Gofur
berada dibelakangnya setelah terdengar bunyi pintu dikunci.
“Eh,
Bapak, bikin kaget Lia saja.” Lia menebah dada. “Tapi kenapa pintunya di kunci,
Pak?”
“Sudah
ketemu pakaiannya, Lia?” Pak Gofur tidak menjawab pertanyaan Lia.
“I,
ini Lia sedang mencarinya.” Lia merasakan firasat tak enak ketika Pak Gofur
mendekatinya. “Bapak mau apa? Jangan dekat-dekat nanti Lia bisa teriak.” Belum
sempat Lia berteriak petir sudah keburu menggelegar menambah ciut nyali gadis
ini. “Bapak mau apa!” teriak Lia saat pria berkumis itu semakin mendekatinya.
“Bapak
mau Lia, tapi Lia malah menolak lamaran Bapak”
“Bapak
kan sudah punya istri, Lia tidak mau dimadu, Pak.”
“Terus
kamu maunya apa? Kamu berharap aku menceraikan istriku, Bapak bisa saja
melakukannya asal kamu mau jadi istriku.”
“Biar
Bapak menceraikan istri Bapak sekalipun, Lia tetap tidak mau menikah dengan
Bapak,” tolak Lia tegas padahal hatinya benar-benar kecut karena terlalu takut.
“Jadi
kamu berani menolakku?!” Gelegar suara Pak Gofur yang marah hampir sama
kencangnya dengan suara petir tadi membuat Lia semakin ketakutan. “Kamu harus
membayarnya karena berani menolakku, Lia.” Kemarahan Pak Gofur semakin mencapai
puncak. Dia pun lalu mendekati Lia dan memaksa gadis itu. Lia memberontak
mencoba mempertahankan kesuciannya tapi apalah daya kekuatan seorang gadis
kecil melawan pria bertubuh besar dan tegap seperti Pak Gofur. Hancurlah sudah
benteng pertahanan yang selama ini dijaga baik-baik oleh Lia.
Hari
itu Lia pulang ke rumah dibawah guyuran hujan yang sangat deras dan petir menggelegar
serta angin lumayan kencang. Hati Lia hancur setelah perbuatan tidak senonoh
yang dilakukan oknum pelindung masyarakat terhadapnya. Gelar, pangkat, jabatan,
kekayaan serta kekuasaan telah disalah gunakan oleh Pak Gofur demi memenuhi
keinginan bejadnya.
Sesampainya
di rumah, Ibu Lia menyambut dengan rupa terkejut. Putrinya muncul dalam keadaan
basah kuyup seperti tikus baru saja kecebur got. “Lia, kamu kenapa
hujan-hujanan?” tanya Ibunya. Bukan penderitaan Lia yang ditanyakan Ibunya
sekarang tapi justru kenapa putrinya berjalan diantara derasnya hujan yang
turun karena Ibunya belum tahu apa yang terjadi dengan putrinya dan Lia pun tak
punya kekuatan untuk mengatakan kebenarannya.
Sejak
kejadian itu Lia tak lagi menjadi Lia yang ceria dan periang seperti biasanya.
Dia lebih banyak diam di rumah bahkan enggan keluar kamarnya. Setiap hari dia
hanya berbaring diatas tempat tidurnya dan menangis saat di rumahnya sedang
tidak ada siapa-siapa. Setiap kali ditanya ada apa Lia tak pernah mau jawab,
dia terlalu takut untuk melaporkan perbuatan bejad Pak Gofur. Apalagi pria itu
merupakan orang yang paling disegani sebagai aparat keamanan dan sejak itu Pak
Gofur sudah tidak gencar lagi mendekatinya, dia malah menjauhi Lia.
Perubahan
Lia mengundang tanda-tanya kedua orang tuanya, tapi Lia masih diam seribu
bahasa. Dia sama sekali tak punya nyali sampai Lia pun tak sanggup
menyembunyikannya lagi karena dia sering muntah di pagi hari dan sang Ibu yang
telah memiliki pengalaman lima kali hamil tentu menyadari perubahan yang
terjadi pada putrinya. Ayah Lia malah curiga pada Putra yang dekat dengan
putrinya.
“Lia,
katakan pada Ibu, siapa yang sudah menghamili kamu?” tanya Ibunya lembut saat
hari itu Lia masih meringkuk di kamarnya.
“Tidak
salah lagi, Ayah bayi haram itu pasti si Putra, biar Ayah seret dia kemari! Dia
harus bertanggung jawab!”
“Jangan,
Pak,” pinta Lia pilu. “Jangan kasari Putra.”
“Kenapa?
Kamu masih membela pria bejad itu! Dimana dia sekarang, kenapa dia masih belum
menemuimu? Apa dia takut untuk bertanggung-jawab?” Ayahnya seolah tak tahu
bukan Putra yang tidak pernah datang lagi ke rumahnya, melainkan Pak Gofur.
Sampai dua hari yang lalu Putra masih mencarinya karena mencemaskan keadaannya.
“Bukan
Putra yang melakukannya, Pak,” ujar Lia kemudian. Akhirnya dia memiliki
kekuatan untuk membela kebenaran.
“Lantas
siapa? Cuma dia kan yang dekat denganmu?”
“Bukan
dia, Pak, bukan Putra, Putra pria yang baik.”
“Kalau
menurutmu bukan dia, lalu siapa?”
“Pak
Gofur. Dia memperkosa Lia ketika Lia bekerja di rumahnya di hari hujan waktu
itu, saat istrinya sedang pergi ke kota untuk merawat Ibunya yang sakit,” jelas
Lia. Pak Rahmat tentu terkejut mendengar jawaban putrinya, beliau sama sekali
tak menyangka pria terhormat itulah yang telah merusak kehormatan putri
sulungnya.
“Itu
tidak mungkin! Lia, kamu pasti salah, Pak Gofur itu pria terhormat, dia sangat
disegani di desa ini, dia tidak mungkin melakukan perbuatan tercela seperti
itu, Ayah sama sekali tak percaya.” Lia terkejut mendengar kata-kata Ayahnya,
bukannya membela putrinya beliau malah menganggapnya telah berbohong.
“Jadi
Ayah lebih percaya Pak Gofur ketimbang anak sendiri?” bela Ibunya. “Lia tak
mungkin bohong, Ayah, Ibu ingat hari itu Lia pulang hujan-hujanan, dia
kelihatan putus asa sekali, Ibu yakin hari itulah Pak Gofur memperkosa Lia.”
“Ayah
tetap tak percaya, kamu jangan asal menuduh orang karena tak suka, Lia, itu
sama saja dengan mencemarkan nama baik orang lain, kamu bisa dibui nanti.” Hati
Lia semakin pilu mendengar tuduhan tidak beralasan itu. Mengapa Ayahnya malah
membela pria bejad itu dan menuduh putrinya mencemarkan nama baik orang lain,
padahal dia yang telah mencemarkan kehormatan Lia.
Pak
Rahmat putus asa ketika mengetahui putrinya telah dirusak kehormatannya oleh
pria yang selalu dihormati orang-orang itu. Beliau bukannya tak percaya pada
Lia, putrinya pasti tak akan berbohong, tapi bagaimana bisa melawan orang
seperti Pak Gofur? Hanya akan mencari penyakit saja. Ketakutannya selama ini
pun akhrinya terjadi, Lia memang tak jadi dimadu tapi dia berhasil diracun oleh
Pak Gofur.
Karena
merasa tak punya kekuatan Pak Rahmat tak melaporkan perbuatan Pak Gofur kepada
yang berwajib, dia terlalu takut menghadapi pria itu, bagaimana kalau dia di
somasi oleh pria itu lalu warga desa menyangkanya sebagai warga tak tahu budi.
Selama ini Pak Gofur bukan hanya dikenal karena kedudukannya tapi dia juga
dikenal suka menolong terutama menolong orang miskin seperti Pak Rahmat. Akhirnya
Pak Rahmat pun menelan kepahitan putrinya seorang diri.
Yang
paling sakit dengan peristiwa ini tentu saja Lia, perbuatan bejad pria itu
malah tidak dilaporkan pada yang berwajib dan dia sekarang sedang mengandung
anak dari pria bejad itu. Lia tidak mau hamil, dia tidak mau mengandung anak
dari laki-laki yang sudah memperkosanya. Karena kehamilannya itu Lia pun jadi
stress, dia selalu menolak kehadiran bayi dalam kandungannya yang berasal dari
laki-laki yang amat dibencinya. Kerena penolakannya itu, Lia pun tak pernah mau
merawat bayi dalam kandungannya, dia jarang mau makan apalagi memeriksakan
kandungannya. Lia malah sering memukuli perutnya sendiri karena terlalu marah
pada Ayah bayinya.
Kepedihan
Lia semakin bertambah saat perutnya mulai membesar dan warga yang mengetahui
kehamilan itu hanya bisa memaki Lia yang dianggapnya telah melakukan perbuatan
mesum tanpa mencari tahu apa yang telah terjadi. Putra yang tidak tahu apa-apa
jadi ikut terbawa-bawa, hanya karena sebelumnya dia dekat dengan Lia. Kesal
dengan apa yang terjadi pada dirinya, Putra pun melampiaskan kemarahannya pada
Lia. Apa salahnya sampai dia dibenci warga begini? Mendapat pelampiasan
kemarahan laki-laki yang dicintainya hati Lia pun semakin hancur.
Lia
sakit dan tidak ada yang membantunya, gadis yang selalu membantu kesulitan
warga dengan tenaganya itu dan tetap tersenyum meski bantuannya hanya dibayar
seadanya kini mulai mengalami depresi. Peristiwa yang menimpa dirinya,
kehamilan yang tidak diinginkannya, penolakan Ayahnya yang menganggap Lia telah
mencemarkan nama baik orang dan kemarahan laki-laki yang dicintainya semakin
menambah beban pikirannya.
Lia
pun jadi sering melamun, sering marah-marah pada siapapun yang ada didepannya.
Terutama dia sering memukuli perutnya sendiri, Lia bahkan pernah mengonsumsi
kunyit yang dicampur lada hitam untuk menggugurkan kandungannya dan segala macam obat-obatan, tapi si jabang
bayi masih tetap hidup dalam rahimnya. Adik-adik Lia hanya bisa menangisi
keadaan Kakaknya yang sekarang seperti telah kehilangan kesadaran itu. Ibunya
yang masih mengasihi putrinya pun tak dapat melakukan apa-apa, bagaimana bisa
mengobati Lia, untuk makan saja mereka tak punya biaya. Tapi si oknum aparat
itu malah pergi dari desa dengan alasan tugas.
Kemudian
tiba saatnya Lia melahirkan, dukun beranak pun didatangkan untuk membantu
persalinan Lia. Selama persalinan Lia terus berteriak-teriak kesakitan, sebagai
seorang Ibu yang tak pernah meninggalkan putrinya barang sedetik pun tentu saja
menemani putrinya yang menjalani persalinan. Satu jam berjuang antara hidup dan
mati, Lia pun melahirkan tapi yang mengejutkan bayi yang dilahirkan Lia tidak
punya tangan. Dukun beranak itu hanya menerka anak Lia cacat karena kena kutuk
atas perbuatan mesum yang dilakukan Lia. Tapi Ibu Lia tentu mengetahui
kecacatan cucunya karena penolakan yang selama ini dilakukan oleh Ibunya.
Kecacatan
putranya membuat penolakan Lia semakin menjadi, dia tidak mau mengakui anak itu
juga tidak mau menyusuinya. Meski dibujuk sekalipun, Lia tetap tak ingin
melakukannya. Karena terlalu membenci Ayah anaknya dan tidak dapat menerima kenyataan yang menimpanya, Lia bahkan sampai berencana merebus anaknya sendiri andai saja ketika itu Ibunya tidak memergokinya dan segera menyelamatkan cucunya. Lia benar-benar kehilangan
akal sehatnya.
Suatu
hari Lia pun pergi dari rumah dan tidak pernah diketahui jejaknya oleh kedua
orang tuanya. Mereka mencoba mencari Lia kemana-mana tapi hingga bertahun-tahun
Lia tak diketahui keberadaannya. Mereka tak cukup punya uang untuk membuat
iklan atau menyebarkan selebaran photo Lia. Mereka hanya bisa pasrah menunggu
bantuan tangan Tuhan untuk mengembalikan putri mereka dan membesarkan cucu yang
baru dilahirkan itu.
(Cerita ini terinspirasi dari
seorang gadis cantik bernama Lia, dia datang ke kotaku ketika aku masih duduk
dibangku SMP, dia terlantar dan dikenal gila oleh warga, ketika dia baru
datang, dia masih bisa ditanya dan mengaku telah diperkosa sampai hamil oleh
seorang oknum aparat, tapi sekarang kesadaran Lia sudah benar-benar hilang, dia
berantakan dan benar-benar tak terurus, tak ada keluarga yang mengakuinya
karena tidak ada yang mengetahui dari mana dia berasal, tapi satu yang menjadi
ciri khasnya dia selalu memaki oknum aparat yang ditemuinya, saat dia sedang
berjalan-jalan dia pun menyempatkan berhenti di kantor polisi untuk memaki para
polisi dengan mengatakan bahwa polisi itu telah menghamilinya dan tidak
bertanggung-jawab).
Rangkasbitung, 21 Juni 2015