Welcome

Welcome

Sabtu, 20 Juni 2015

Dosa Yang Terlupakan



Wajahnya memang tidak terlalu cantik, biasa saja, layaknya gadis dari desa, lugu dan sederhana bahkan kakinya pun pincang, tapi yang menjadi pesona Lia, dia memiliki inner beauty. Dia hormat pada orang tua, sopan pada sesama dan sayang pada anak-anak sehingga Lia disukai banyak orang. Lia sulung dari lima bersaudara, terlahir dari keluarga yang miskin dan dia rajin membantu orang tuanya mencari nafkah. Lia menjadi anak kebanggan kedua orang tuanya dan menjadi Kakak yang paling disayangi oleh adik-adiknya.

Karena inner beauty yang dimiliki Lia, dia pun dikenal banyak orang dan menjadi kembang desa bahkan sampai mengalahkan gadis yang paling cantik di desa itu. Banyak pria yang tertarik pada Lia, yang seumuran atau yang lebih tua sekalipun, yang bujang, duda bahkan yang beristri juga ada yang berminat ingin menyunting Lia. Tapi Lia hanyalah gadis berusia lima belas tahun yang masih polos, dia tidak terlalu menanggapi sinyal cinta yang disampaikan pria itu baik secara diam-diam ataupun langsung berterus-terang. Karena yang ada dalam benak Lia hanya satu, ingin membantu meringankan beban orang tuanya, dia ingin adik-adiknya menikmati bangku sekolah hingga tamat SMA, tidak seperti dirinya yang hanya sampai mengecap bangku SMP saja.

Untuk membantu orang tuanya mencari nafkah, Lia biasa bekerja sebagai buruh cuci. Setiap hari dia mendatangi rumah-rumah tetangganya untuk mencucikan pakaian mereka dengan upah yang seiklhasnya saja. Jika rumah yang didatanginya baik, biasanya dia mendapat upah lebih bahkan sampai membawa pulang makanan yang bisa dia beri pada adik-adiknya, tapi kalau rumah yang didatanginya biasa saja terkadang dia dibayar kurang dari banyaknya cucian yang harus kerjakannya. Tetapi meski demikian Lia tetap mensyukuri pendapatannya dan tetap tersenyum walau peluh berhasil membuat wajahnya tampak kusam. Itulah yang membuat Lia disukai banyak orang.

Diantara orang-orang yang menyukai Lia, satu diantaranya merupakan oknum pelindung masyarakat, tetapi seperti halnya terhadap pria lain, Lia juga tidak menanggapi perasaan pria itu. Bukannya Lia bermaksud sombong dengan tidak menanggapi perasaan sang pria yang sangat berkeinginan menyuntingnya itu, tapi Lia tentu harus menghormati istrinya. Ya, pria itu memang telah beristri dan memiliki anak, tapi oknum pelindung masyarakat itu dikenal mata keranjang. Dia senang menggoda anak gadis, apalagi yang seranum Lia.

Karena dia sudah memiliki istri itulah makanya Lia tidak memerdulikannya, Lia lebih menanggapi perhatian Putra, karyawan bengkel yang baik hatinya, yang sering membantu menjaga adik-adiknya bila dia sedang luang, yang kadang-kadang memberi adiknya uang jajan bila dia memiliki rejeki lebih, yang selalu membawakan martabak untuk Ayah dan Ibunya kalau ingin mengajak Lia jalan-jalan. Pemberian Putra memang tidak seistimewa pemberian Pak Gofur, tapi Lia lebih menghargai ketulusan Putra. Walaupun hanya karyawan bengkel kecil yang memiliki gaji pas-pasan tapi Putra pria istimewa dimata Lia. Selain itu Putra juga masih bujang.

Tapi Lia tidak sadar sikapnya yang cuek terhadap oknum pelindung masyarakat itu malah membuat sang pelindung masyarakat kesal padanya. Lia dianggapnya terlalu sombong dan jual mahal.
“Kiranya siapa dia, berani sekali cueki aku, cih!” Pak Gofur membuang ludahnya dengan geram ketika dia melihat Lia sedang jalan dengan Putra sambil bersenda gurau.
“Sudahlah, Pak Gofur, jangan diambil hati, diakan masih kanak-kanak,” ujar Pak Damar yang mengerti sekali perasaan Pak Gofur.
“Apa dia tidak tahu siapa aku?” Dengan sombongnya Pak Gofur menepuk dadanya. “Aku ini pria yang paling dihormati di desa ini, tapi anak baru kemarin sore itu malah berani sekali menghinaku! Dia tidak pernah menanggapi pemberianku dan sekarang dia jalan dengan si pegawai bengkel miskin itu!”
“Namanya juga anak muda, Pak, jangan terlalu diambil hati, biar nanti saya nasehati dia.” Pak Damar menganggap anak muda jalan berdua itu sudah biasa, asal mereka tidak melakukan hal yang tidak-tidak saja. Tapi meski Pak Damar berusaha menenangkan hati Pak Gofur, tetap saja hatinya yang sudah terbakar api cemburu terlalu sulit untuk ditenangkan.

Semua orang tahu Pak Gofur sudah memiliki istri dan anak, tapi mereka juga tahu Pak Gofur tertarik pada Lia. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menghalangi hasrat Pak Gofur untuk meminang Lia, karena kedudukannya sebagai seorang aparat keamanan yang memiliki jabatan, bahkan istrinya pun malah mendukung dan mengatakan rela dimadu bila itu yang diinginkan oleh suaminya.

Tapi tentu saja Lia tidak ingin dimadu, bila menikah dia tidak ingin berbagi suami dengan perempuan lain, sepertinya hanya perempuan yang perlu dipertanyakan psikologinya saja yang rela sang suami membagi cinta. Orang tua Lia juga sebenarnya tak setuju bila anaknya dijadikan madu, tapi dari pada nanti anaknya diracun orang, itu jauh lebih berbahaya kan. Lelaki yang punya kekuasaan, jabatan dan kekayaan memang selalu bisa melakukan apapun yang dia inginkan.

“Nak, Pak Gofur sudah datang lagi untuk menanyakan jawaban lamarannya,” ujar Ayah Lia disuatu sore ketika ia dan anak-anaknya sedang beristirahat untuk menekmati indahnya senja sore yang menghiasi desa mereka.
“Lia kan sudah menjawabnya, Yah, Lia tak mau diperistri Pak Gofur, Lia mencintai Putra.”
“Jangan begitu, Lia, Pak Gofur itu pria yang baik, dia memang sudah berumur dan sudah memiliki istri, tapi dia berjanji pada Ayah akan selalu membahagiakan kamu dan memenuhi semua keinginan kamu.”
“Dia itu bukan hanya sudah beristri, Yah, tapi sudah memiliki anak, anaknya saja hampir seumur dengan Lia, kenapa Lia harus menerima lamaran dia?”
Ayah juga tak ingin kamu menikah dengannya, Nak. Bisik hati Pak Rahmat pilu. Ayah mana yang bersedia putri kesayangannya menjadi istri kedua, tapi sebagai warga yang tidak memiliki apa-apa selain gubug reyot yang sering bocor dikala hujan, Pak Rahmat pun tak mampu melawan kehendak Pak Gofur. Tapi Lia juga punya keinginan sendiri, dia tetap pada keputusannya untuk tidak menerima pinangan aparat itu karena cintanya pada Putra.

Kekesalan Pak Gofur semakin memuncak terhadap Lia yang masih juga menolak lamarannya, dia bersumpah akan membalas penolakan gadis itu. Hingga tiba saat dimana dia mendapatkan kesempatan itu, suatu hari di hari hujan hampir jatuh membasahi bumi Lia datang ke rumah Pak Gofur untuk mencuci pakaian atas perintah istri Pak Gofur karena pembantunya sedang pergi mudik. Kala itu Pak Gofur pun sedang seorang diri di rumah karena istrinya dan anak-anaknya sedang menjenguk Ibunya yang sedang sakit dan tinggal di kota.

Pak Gofur senang ketika Lia datang, karena kesempatannya untuk membalas dendam akhirnya tiba. Disambutnya ramah Lia yang baru datang lalu diapun segera memberikan tugas mencuci itu pada Lia. “Lia, nanti cuciannya jemur saja di dalam, sebentar lagi hujan, pakai mesin cuci ini nggak perlu di jemur diluar juga bisa kering,” perintah Pak Gofur.
“Baik, Pak,” sahut Lia patuh.
“Kalau sudah mencuci, Lia bisa bantu membereskan piring bekas makan dan menyetrika pakaian Bapak Yah, nanti Bapak beri upah lebih.”
“Maaf, Pak, bukannya Lia mau menolak perintah Bapak, tapi habis ini Lia mau menjaga bayi Ibu Eka, Bu Eka sedang sakit, makanya mau minta bantuan Lia untuk menjaga bayinya.”
“Sebentar saja, Lia, hanya satu pakaian saja untuk kerja Bapak besok, piring juga tidak banyak hanya bekas makan Bapak semalam, kalau nunggu sampai istri Bapak pulang lusa, nanti Bapak tidak bisa pergi ke tempat kerja dong.”
“Baiklah kalau begitu, Lia akan bantu.”
Lia pun segera mengerjakan tugas-tugas yang diberikan padanya, sementara itu Pak Gofur menonton televisi di ruang tengah sambil menikmati cerutunya. Lia yang cekatan dapat mengerjakan tugas dengan cepat sampai Pak Gofur pun tak sadar Lia sudah mencuci semua piring kotornya, gadis itu sudah berdiri dihadapannya menanyakan pakaian yang harus dia setrika.
“Oh, seragamnya ada di kamar, Lia, kamu bisa ambil sendiri.” Dengan patuh Lia pergi ke kamar untuk mengambil seragam Pak Gofur yang perlu disetrikanya, tapi diluar dugaannya Pak Gofur ternyata mengikuti langkahnya. Lia baru sadar Pak Gofur berada dibelakangnya setelah terdengar bunyi pintu dikunci.
“Eh, Bapak, bikin kaget Lia saja.” Lia menebah dada. “Tapi kenapa pintunya di kunci, Pak?”
“Sudah ketemu pakaiannya, Lia?” Pak Gofur tidak menjawab pertanyaan Lia.
“I, ini Lia sedang mencarinya.” Lia merasakan firasat tak enak ketika Pak Gofur mendekatinya. “Bapak mau apa? Jangan dekat-dekat nanti Lia bisa teriak.” Belum sempat Lia berteriak petir sudah keburu menggelegar menambah ciut nyali gadis ini. “Bapak mau apa!” teriak Lia saat pria berkumis itu semakin mendekatinya.
“Bapak mau Lia, tapi Lia malah menolak lamaran Bapak”
“Bapak kan sudah punya istri, Lia tidak mau dimadu, Pak.”
“Terus kamu maunya apa? Kamu berharap aku menceraikan istriku, Bapak bisa saja melakukannya asal kamu mau jadi istriku.”
“Biar Bapak menceraikan istri Bapak sekalipun, Lia tetap tidak mau menikah dengan Bapak,” tolak Lia tegas padahal hatinya benar-benar kecut karena terlalu takut.
“Jadi kamu berani menolakku?!” Gelegar suara Pak Gofur yang marah hampir sama kencangnya dengan suara petir tadi membuat Lia semakin ketakutan. “Kamu harus membayarnya karena berani menolakku, Lia.” Kemarahan Pak Gofur semakin mencapai puncak. Dia pun lalu mendekati Lia dan memaksa gadis itu. Lia memberontak mencoba mempertahankan kesuciannya tapi apalah daya kekuatan seorang gadis kecil melawan pria bertubuh besar dan tegap seperti Pak Gofur. Hancurlah sudah benteng pertahanan yang selama ini dijaga baik-baik oleh Lia.


Hari itu Lia pulang ke rumah dibawah guyuran hujan yang sangat deras dan petir menggelegar serta angin lumayan kencang. Hati Lia hancur setelah perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oknum pelindung masyarakat terhadapnya. Gelar, pangkat, jabatan, kekayaan serta kekuasaan telah disalah gunakan oleh Pak Gofur demi memenuhi keinginan bejadnya.

Sesampainya di rumah, Ibu Lia menyambut dengan rupa terkejut. Putrinya muncul dalam keadaan basah kuyup seperti tikus baru saja kecebur got. “Lia, kamu kenapa hujan-hujanan?” tanya Ibunya. Bukan penderitaan Lia yang ditanyakan Ibunya sekarang tapi justru kenapa putrinya berjalan diantara derasnya hujan yang turun karena Ibunya belum tahu apa yang terjadi dengan putrinya dan Lia pun tak punya kekuatan untuk mengatakan kebenarannya.

Sejak kejadian itu Lia tak lagi menjadi Lia yang ceria dan periang seperti biasanya. Dia lebih banyak diam di rumah bahkan enggan keluar kamarnya. Setiap hari dia hanya berbaring diatas tempat tidurnya dan menangis saat di rumahnya sedang tidak ada siapa-siapa. Setiap kali ditanya ada apa Lia tak pernah mau jawab, dia terlalu takut untuk melaporkan perbuatan bejad Pak Gofur. Apalagi pria itu merupakan orang yang paling disegani sebagai aparat keamanan dan sejak itu Pak Gofur sudah tidak gencar lagi mendekatinya, dia malah menjauhi Lia.

Perubahan Lia mengundang tanda-tanya kedua orang tuanya, tapi Lia masih diam seribu bahasa. Dia sama sekali tak punya nyali sampai Lia pun tak sanggup menyembunyikannya lagi karena dia sering muntah di pagi hari dan sang Ibu yang telah memiliki pengalaman lima kali hamil tentu menyadari perubahan yang terjadi pada putrinya. Ayah Lia malah curiga pada Putra yang dekat dengan putrinya.

“Lia, katakan pada Ibu, siapa yang sudah menghamili kamu?” tanya Ibunya lembut saat hari itu Lia masih meringkuk di kamarnya.
“Tidak salah lagi, Ayah bayi haram itu pasti si Putra, biar Ayah seret dia kemari! Dia harus bertanggung jawab!”
“Jangan, Pak,” pinta Lia pilu. “Jangan kasari Putra.”
“Kenapa? Kamu masih membela pria bejad itu! Dimana dia sekarang, kenapa dia masih belum menemuimu? Apa dia takut untuk bertanggung-jawab?” Ayahnya seolah tak tahu bukan Putra yang tidak pernah datang lagi ke rumahnya, melainkan Pak Gofur. Sampai dua hari yang lalu Putra masih mencarinya karena mencemaskan keadaannya.
“Bukan Putra yang melakukannya, Pak,” ujar Lia kemudian. Akhirnya dia memiliki kekuatan untuk membela kebenaran.
“Lantas siapa? Cuma dia kan yang dekat denganmu?”
“Bukan dia, Pak, bukan Putra, Putra pria yang baik.”
“Kalau menurutmu bukan dia, lalu siapa?”
“Pak Gofur. Dia memperkosa Lia ketika Lia bekerja di rumahnya di hari hujan waktu itu, saat istrinya sedang pergi ke kota untuk merawat Ibunya yang sakit,” jelas Lia. Pak Rahmat tentu terkejut mendengar jawaban putrinya, beliau sama sekali tak menyangka pria terhormat itulah yang telah merusak kehormatan putri sulungnya.
“Itu tidak mungkin! Lia, kamu pasti salah, Pak Gofur itu pria terhormat, dia sangat disegani di desa ini, dia tidak mungkin melakukan perbuatan tercela seperti itu, Ayah sama sekali tak percaya.” Lia terkejut mendengar kata-kata Ayahnya, bukannya membela putrinya beliau malah menganggapnya telah berbohong.
“Jadi Ayah lebih percaya Pak Gofur ketimbang anak sendiri?” bela Ibunya. “Lia tak mungkin bohong, Ayah, Ibu ingat hari itu Lia pulang hujan-hujanan, dia kelihatan putus asa sekali, Ibu yakin hari itulah Pak Gofur memperkosa Lia.”
“Ayah tetap tak percaya, kamu jangan asal menuduh orang karena tak suka, Lia, itu sama saja dengan mencemarkan nama baik orang lain, kamu bisa dibui nanti.” Hati Lia semakin pilu mendengar tuduhan tidak beralasan itu. Mengapa Ayahnya malah membela pria bejad itu dan menuduh putrinya mencemarkan nama baik orang lain, padahal dia yang telah mencemarkan kehormatan Lia.

Pak Rahmat putus asa ketika mengetahui putrinya telah dirusak kehormatannya oleh pria yang selalu dihormati orang-orang itu. Beliau bukannya tak percaya pada Lia, putrinya pasti tak akan berbohong, tapi bagaimana bisa melawan orang seperti Pak Gofur? Hanya akan mencari penyakit saja. Ketakutannya selama ini pun akhrinya terjadi, Lia memang tak jadi dimadu tapi dia berhasil diracun oleh Pak Gofur.

Karena merasa tak punya kekuatan Pak Rahmat tak melaporkan perbuatan Pak Gofur kepada yang berwajib, dia terlalu takut menghadapi pria itu, bagaimana kalau dia di somasi oleh pria itu lalu warga desa menyangkanya sebagai warga tak tahu budi. Selama ini Pak Gofur bukan hanya dikenal karena kedudukannya tapi dia juga dikenal suka menolong terutama menolong orang miskin seperti Pak Rahmat. Akhirnya Pak Rahmat pun menelan kepahitan putrinya seorang diri.

Yang paling sakit dengan peristiwa ini tentu saja Lia, perbuatan bejad pria itu malah tidak dilaporkan pada yang berwajib dan dia sekarang sedang mengandung anak dari pria bejad itu. Lia tidak mau hamil, dia tidak mau mengandung anak dari laki-laki yang sudah memperkosanya. Karena kehamilannya itu Lia pun jadi stress, dia selalu menolak kehadiran bayi dalam kandungannya yang berasal dari laki-laki yang amat dibencinya. Kerena penolakannya itu, Lia pun tak pernah mau merawat bayi dalam kandungannya, dia jarang mau makan apalagi memeriksakan kandungannya. Lia malah sering memukuli perutnya sendiri karena terlalu marah pada Ayah bayinya.

Kepedihan Lia semakin bertambah saat perutnya mulai membesar dan warga yang mengetahui kehamilan itu hanya bisa memaki Lia yang dianggapnya telah melakukan perbuatan mesum tanpa mencari tahu apa yang telah terjadi. Putra yang tidak tahu apa-apa jadi ikut terbawa-bawa, hanya karena sebelumnya dia dekat dengan Lia. Kesal dengan apa yang terjadi pada dirinya, Putra pun melampiaskan kemarahannya pada Lia. Apa salahnya sampai dia dibenci warga begini? Mendapat pelampiasan kemarahan laki-laki yang dicintainya hati Lia pun semakin hancur.

Lia sakit dan tidak ada yang membantunya, gadis yang selalu membantu kesulitan warga dengan tenaganya itu dan tetap tersenyum meski bantuannya hanya dibayar seadanya kini mulai mengalami depresi. Peristiwa yang menimpa dirinya, kehamilan yang tidak diinginkannya, penolakan Ayahnya yang menganggap Lia telah mencemarkan nama baik orang dan kemarahan laki-laki yang dicintainya semakin menambah beban pikirannya.


Lia pun jadi sering melamun, sering marah-marah pada siapapun yang ada didepannya. Terutama dia sering memukuli perutnya sendiri, Lia bahkan pernah mengonsumsi kunyit yang dicampur lada hitam untuk menggugurkan kandungannya dan segala macam obat-obatan, tapi si jabang bayi masih tetap hidup dalam rahimnya. Adik-adik Lia hanya bisa menangisi keadaan Kakaknya yang sekarang seperti telah kehilangan kesadaran itu. Ibunya yang masih mengasihi putrinya pun tak dapat melakukan apa-apa, bagaimana bisa mengobati Lia, untuk makan saja mereka tak punya biaya. Tapi si oknum aparat itu malah pergi dari desa dengan alasan tugas.

Kemudian tiba saatnya Lia melahirkan, dukun beranak pun didatangkan untuk membantu persalinan Lia. Selama persalinan Lia terus berteriak-teriak kesakitan, sebagai seorang Ibu yang tak pernah meninggalkan putrinya barang sedetik pun tentu saja menemani putrinya yang menjalani persalinan. Satu jam berjuang antara hidup dan mati, Lia pun melahirkan tapi yang mengejutkan bayi yang dilahirkan Lia tidak punya tangan. Dukun beranak itu hanya menerka anak Lia cacat karena kena kutuk atas perbuatan mesum yang dilakukan Lia. Tapi Ibu Lia tentu mengetahui kecacatan cucunya karena penolakan yang selama ini dilakukan oleh Ibunya.

Kecacatan putranya membuat penolakan Lia semakin menjadi, dia tidak mau mengakui anak itu juga tidak mau menyusuinya. Meski dibujuk sekalipun, Lia tetap tak ingin melakukannya. Karena terlalu membenci Ayah anaknya dan tidak dapat menerima kenyataan yang menimpanya, Lia bahkan sampai berencana merebus anaknya sendiri andai saja ketika itu Ibunya tidak memergokinya dan segera menyelamatkan cucunya. Lia benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Suatu hari Lia pun pergi dari rumah dan tidak pernah diketahui jejaknya oleh kedua orang tuanya. Mereka mencoba mencari Lia kemana-mana tapi hingga bertahun-tahun Lia tak diketahui keberadaannya. Mereka tak cukup punya uang untuk membuat iklan atau menyebarkan selebaran photo Lia. Mereka hanya bisa pasrah menunggu bantuan tangan Tuhan untuk mengembalikan putri mereka dan membesarkan cucu yang baru dilahirkan itu.

(Cerita ini terinspirasi dari seorang gadis cantik bernama Lia, dia datang ke kotaku ketika aku masih duduk dibangku SMP, dia terlantar dan dikenal gila oleh warga, ketika dia baru datang, dia masih bisa ditanya dan mengaku telah diperkosa sampai hamil oleh seorang oknum aparat, tapi sekarang kesadaran Lia sudah benar-benar hilang, dia berantakan dan benar-benar tak terurus, tak ada keluarga yang mengakuinya karena tidak ada yang mengetahui dari mana dia berasal, tapi satu yang menjadi ciri khasnya dia selalu memaki oknum aparat yang ditemuinya, saat dia sedang berjalan-jalan dia pun menyempatkan berhenti di kantor polisi untuk memaki para polisi dengan mengatakan bahwa polisi itu telah menghamilinya dan tidak bertanggung-jawab).

Rangkasbitung, 21 Juni 2015

Syndrome Cinta Pertama Dea



“Dea, aku suka kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”
Tertegun Dea mendapat pernyataan cinta mendadak dari Dion.
Mata Dea membelalak dengan mulut menganga, saking kagetnya. Baru saja dia keluar dari kelasnya dan pikirannya masih mumet gara-gara test matematika yang baru dihadapinya, tiba-tiba cowok berbadan gempal dari kelas sebelah ini malah menyatakan cintanya. Dan Dea hanya bisa terdiam mematung.
Teman-teman Dea ber-huu ria menggoda. Nina dan Shinta yang berdiri di samping Dea menyenggol lengan Dea. Tapi Dea masih tidak bereaksi, jiwanya seperti melayang dari raganya.
“Dea.” Dion mencoba menyadarkan Dea dari lamunannya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku.”
“Aku nggak mau!” Dea berteriak histeris dan lari tunggang langgang, seperti dia baru saja ditagih hutang dan dia nggak mau bayar.
Mereka tertegun melihat reaksi Dea yang diluar dugaan itu.
Kalau mau menolak, kenapa Dea sampai lari terbirit-birit begitu? Padahal Dion merasa dia tidak berbuat salah. Dia hanya menyatakan cinta dan ingin menjadi pacar Dea, apakah itu salah?
                                                             ***
Boy heran melihat adiknya yang muncul dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah. Sebagai kakak tentu saja Boy khawatir, dia tidak mau terjadi apa-apa pada adik kecilnya ini.
“Dea, kamu kenapa?”
“Nggak. Aku baik-baik aja.” Dea menggeleng kencang sambil dia naik ke boncengan motor abangnya, tapi nafas Dea yang masih belum teratur membuat Boy makin curiga.
“Bohong! Pasti ada yang kamu sembunyiin kan, ayo bilang sama kakak?”
“Aku nggak apa-apa, kak!” suara Dea tiba-tiba agak meninggi. “Kalau aku bilang nggak apa-apa ya nggak apa-apa, udah sih jalan aja.”
“Turun!” Boy menukas. Dea hanya terdiam, dia sadar Kakaknya marah. “Kamu pikir Kakak ini tukang ojeg apa, enak aja kamu bentak Kakak kaya begitu.”
“Maaf, kak.” Dea tertunduk.
Boy lalu menstater motor sport-nya. Ketika motor sport itu meluncur meninggalkan halaman sekolah Dea, Dion muncul bermaksud ingin meminta maaf pada Dea.
                                                                        ***
Sikap Dea semakin mengherankan ketika mereka tiba di rumah. Dea tidak langsung mencari Mama seperti biasanya, memberikan pelukan lalu menceritakan tentang sekolahnya, dia malah langsung menuju kamarnya di lantai atas. Mama yang dari dapur sudah terburu-buru keluar untuk menyambut putrinya jadi tertegun heran.
“Dea kenapa, Boy?”
Si sulung mengangkat bahu.
“Waktu aku jemput juga, tingkah dia udah aneh, masa tadi aku dibentak.”
“Dea bentak kamu?” Mama merasa sangsi.
Mama merasa sangsi bukan karena mengira Boy berbohong tapi lebih karena sikap tidak biasa Dea.
“Iya, aku juga tadi kaget, Ma. Masa aku cuma tanya, dia malah bentak aku.”
“Ya udah, biar Mama temui dia dulu, kamu kalau mau makan sudah Mama siapkan, tapi ganti baju dulu.” Mama lalu melangkah meniti anak tangga menuju kamar Dea. “Dea.” Di depan kamar Dea, Mama mengetuk pintu.
“Masuk, Ma, nggak dikunci.”
Setelah mendapat izin dari si empunya kamar, Mama lalu membuka pintu kamar bernuansa pink itu. Dihampirinya putrinya yang sedang duduk di depan cermin, seragam biru-putihnya belum sempat dia ganti. Tas dan sepatu juga masih berserakan dilantai.
“Ada apa anak Mama, kok hari ini sikapnya aneh?”
“Nggak ada apa-apa, Ma.” Dea menyahut pelan. Tidak mungkin dia beritahukan pada Mama atau Boy mengenai kejadian di sekolah tadi.
“Bener nggak ada apa-apa?”
“Bener, Ma, nggak ada apa-apa.”
“Kalau nggak ada apa-apa, kok sikap Dea sekarang aneh sih? Pulang sekolah langsung pergi ke kamar, biasanya Dea langsung pergi ke dapur cari makan, trus tadi katanya kak Boy kamu bentak, memangnya kenapa?”
“Aah…, kak Boy tukang ngadu, kan aku juga tadi udah minta maaf.”
“Eh, kak Boy ngadu karena dia khawatir sama kamu, Dea. Kamu ditanya malah bentak kak Boy, gimana kak Boy nggak bakal ngerasa heran dan khawatir sama sikap kamu.”
“Dea baik-baik aja kok, Ma, suer deh, kalau ada apa-apa Dea pasti bakal bilang sama Mama.” Kalau aku bisa ceritanya sama Mama itu juga.  
“Bener yah, kalau ada apa-apa kamu cerita sama Mama.”
Dea mengangguk meyakinkan Ibunya kalau dia baik-baik saja.
Setelah Ibunya pergi, Dea beranjak dari tempat duduknya lalu menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang telah dilukis ayahnya dengan langit malam berhiaskan bintang. Meski matanya memandangi langit kamar tapi saat ini pikiran Dea menerawang mengingat kejadian siang tadi di sekolah.
Kenapa sih Dion malah nembak dia? Padahal banyak cewek yang menyukai si ketua osis itu, tapi kenapa Dion malah memilihnya? Lagipula Dea masih belum mengerti apa artinya cinta, baginya semua cowok sama saja. Dia sayang Dion seperti juga dia menyayangi teman-temannya, tidak ada yang istimewa.
Teman-temannya sampai sering meledek Dea belum dewasa lah, hormonnya tidak normal lah, karena di usianya yang sudah empat belas tahun, Dea belum pernah jatuh cinta.
Memangnya apa sih pentingnya jatuh cinta? Pacaran? Kan masih anak kecil. Dea bergumam. Guru-guru dan orang tua aja malah melarang kita pacaran, trus ngapain harus bantah perintah guru dan orang tua?
                                                                        ***
 “Kak Hanna, jatuh cinta itu seperti apa sih rasanya?”
Hanna tertegun mendapat pertanyaan dari adik bungsunya. Malam-malam Dea menggedor-gedor pintu kamarnya hanya sekedar menanyakan seperti apa rasanya jatuh cinta?
Dia jadi bingung jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan pada adiknya? Hanna tidak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari adiknya, apalagi tengah malam begini. Kalau tidak salah saat dia seumur Dea, dia tidak pernah menanyakan apa rasanya cinta, semua mengalir begitu saja.
“Jatuh cinta itu….” Hanna melipat tangan didekat dadanya. “Rasanya seperti apa ya?” Kali ini dia menggerak-gerakkan kakinya lalu mengetuk-ketuk pelipis dengan jarinya. “Coklat. Iya, rasanya seperti coklat dan indah seperti pelangi.”
Kali ini giliran Dea yang tertegun. Jatuh cinta itu rasanya seperti coklat? Emangnya bisa dimakan yah? Atau hanya bisa dipandang seperti Pelangi? Dea semakin bingung.
“Udah…, ah. Udah malem juga tanya-tanya yang begituan lagi, besok aja tanya sama Mama.” Hanna menutup pintu kamarnya tanpa memberi kesempatan Dea kembali bertanya.
Dea makin bingung. Padahal dia sudah memberanikan diri bertanya pada kakak perempuannya yang dia anggap sudah mengerti, karena sudah SMA, ternyata Hanna malah kasih jawaban yang bikin dia tambah bingung.
Kakaknya malah menyuruhnya tanya Mama. Kalau dia berani juga, dari kemarin siang sudah ditanyakannya sama Mama. Dea merasa malu dan takut, kalau Mama marah gimana? Atau Mama malah menggodanya seperti teman-temannya.
Tanya sama kak Boy juga rasanya nggak mungkin. Terbayang olehnya, kak Boy pasti akan berkata dengan galak, “Jangan! Kamu nggak boleh pacaran! Kamu tuh anak ingusan, anak bau kencur, nggak boleh jatuh cinta.”
“Hauf…” Dea mendesah.
Gara-gara pernyataan cinta Dion kemarin, dia jadi nggak bisa tidur semalaman, memikirkan apa rasanya jatuh cinta. Untung saja hari ini hari minggu, jadi dia nggak perlu ke sekolah dan nggak perlu ketemu Dion.
Dentang jam berbunyi satu kali saat Dea kembali ke kamarnya, sontak Dea terkejut.
Ya Tuhan! Sudah jam satu malam, hari minggu kan biasanya dia datang! Aduh… aku nggak boleh kelihatan pucat gara-gara kurang tidur nih.
Bergegas Dea melompat ke atas tempat tidurnya.
                                                                        ***
Hari minggu. Hari yang sangat indah. Sangat…sangaaaat indah buat Dea. Karena hari minggu akan ada seseorang yang datang. Pagi-pagi sekali Dea sudah bangun untuk melakukan jogging keliling kompleks perumahan yang terletak di belakang kampus Untirta, biarpun mata masih setengah mengantuk tapi Dea memaksakan diri untuk jogging.
Sehabis jogging selama satu jam, Dea pergi ke dapur menggoreng kripik singkong. Dia kan suka banget sama kripik singkong buatannya, dan untuk menu makan siang, akan dibuatkannya sop daging sapi dan tempe goreng. Hem, dia kan suka banget sama tempe goreng.
Dea menengok kulkas. Semua bahan yang dibutuhkannya sudah tersedia. Senyumnya pun terkembang. Saatnya dia sibuk didapur.
                                                                        ***
Perfect. Dea tersenyum puas. Kripik singkong sudah siap, menu makan siang juga sudah terhidang di meja.
“Dea, kamu masak buat Papa yah, kebetulan sekali sudah waktunya makan siang, Papa sudah lapar nih.”
“Eh, bukan. Buat Papa ada kok, udah Dea siapin, Dea simpen di lemari.”
“Trus ini buat siapa?”
“Buat… buat…”
“Pasti buat Dian, Pa.” tiba-tiba Hanna muncul.
“Dian?” dahi Papa berkerut. “Dian temennya Boy? Guru private matematika Dea itu? Kamu suka Dian, De?” Dea terdiam mendengar tebakan Papanya. “Apa nggak terlalu tua, Dian kan udah kuliah.”
“Tahu tuh, Pa, genit. Semalem aja tengah malam dia gedor-gedor pintu kamar aku buat tanya rasanya jatuh cinta, ngapain coba tanya-tanya kayak begitu.”
“Loh, bukannya kamu pacaran sama adiknya? Ituloh si ndut Dion.” Mama yang sedang ada di dapur ikutan nimbrung.
“Mama tahu darimana?” tanya Papa.
“Kemarin pulang sekolah tiba-tiba Dea langsung mengurung diri sampai sore, Mama khawatir trus Mama telepon Nina, kata Nina, Dea ditembak Dion tapi dia nolak sambil lari kocar-kacir kayak dikejar penagih utang.”
Sontak Papa dan Hanna tertawa mendengar penjelasan Mama. Sementara itu, Dea hanya bisa cemberut.
“Papa nggak ngelarang kok Dea pacaran, tapi harus tahu batas, jangan ngelakuin hal yang macam-macam.”
“Tapi Dea nggak suka Dion, Pa.” tukas Dea kemudian. Dia merasa sebal tiba-tiba saja orang tua dan saudaranya menyinggung Dion, padahal dia sedang tidak ingin mengingat Dion. “Dion tukang makan, udah gitu Dion jahat, masa kemarin Dea jatuh waktu olahraga malah diketawain bukannya ditolongin.”
“Tapi ngomong-ngomong Dian kemana yah? Kok sudah jam sebelas belum datang juga? Bukannya belajar private Dea itu jam sepuluh?” cetus Ibunya.
                                                                        ***
Dea memerhatikan lampu merah yang belum berubah dengan perasaan cemas. Padahal tujuannya hanya ke kompleks Ciceri Permai tempat tinggal Dian, yang hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam. Tapi kenapa setengah jam kali ini terasa sangat lama? Sup yang sudah dimasaknya sejak tadi pasti sudah dingin.
Ketika mereka sedang membicarakan Dian tadi, yang datang malah telepon dari Dion yang mengabarkan guru private Dea baru saja mengalami kecelakaan saat akan menuju kerumahnya, jadi dia tidak bisa mengajar hari minggu ini.
Dea tentu saja panik, meski Dion mengatakan abangnya tidak mengalami luka parah dan sedang beristirahat di rumah tapi Dea tetap saja cemas. Dengan izin dari Mama dan Papa, Dea pergi ke rumah Dian untuk menjenguknya. Tidak lupa dibawanya sup dan kripik singkong buatannya.
                                                                        ***
“Dea, ngapain kamu kesini?” Dian terkejut saat melihat kedatangan Dea di rumahnya.
Dea hanya tertegun ketika melihat Dian. Tiba-tiba saja dia jadi bingung mau melakukan apa. Saat matanya menatap mata elang Dian yang terasa teduh, Dea jadi speechless.
“Kak Dian nggak apa-apa?” Akhirnya Dea bisa mengeluarkan suaranya setelah dia mengumpulkan kekuatannya.
“Nggak apa-apa kok, De, cuma luka kecil, lecet ini juga karena nggak pakai jaket, habis karena kakak bangun kesiangan jadinya buru-buru trus lupa pake jaket, di lampu merah dekat Carrefour motor kakak diserempet, tadinya Kakak mau tetap ke rumah Dea, tapi Dion ngelarang. Eh, masuk yuk, De.”
Dea masuk setelah dipersilahkan.
Hatinya berdebar-debar saat memasuki ruang tamu rumah Dian, padahal ini bukan untuk pertama kalinya dia memasuki rumah Dian. Dia sering datang ke rumah ini untuk belajar bersama bareng Dion dan teman-temannya yang lain, tapi memang ini pertama kalinya dia datang untuk menemui Dian.
Rumah itu tampak sepi, Dea jadi bertanya-tanya sendiri, kemana kedua orang tua Dian di hari minggu cerah seperti ini. Apa mungkin sedang beristirahat. Mata Dea lalu melirik jalan tak berpintu menuju ruang dalam, sambil dalam hati berharap semoga si gembul tidak muncul.
“Dion ada di dalam, mau Kakak panggilkan?”
“Nggak usah, Kak, aku kesini kan buat nengok Kak Dian. Aku bawain sop sama kripik singkong nih, aku harap Kakak belum makan.”
“Ya ampun… jadi ngerepotin, padahal nggak usah pakai nengok segala, kakak nggak apa-apa kok, besok juga udah bisa kuliah lagi.” Ujarnya tapi sambil tangannya membuka toples keripik lalu mencicipinya. “Dea, tumben keripiknya asin banget.”
“Ah, masa sih?” terkejut Dea mendengarnya. Dia lalu mengambil sepotong kecil keripiknya dan benar ternyata terlalu asin.
“Bikinnya sambil ngelamunin Dion yah? Duh… yang baru jadian, selamat ya.”
“Siapa yang bilang?” Dea terkejut.
“Loh emangnya nggak gitu? Kemarin Dion bilang kalian baru jadian.”
Dea nyengir.
Dasar Dion nyebarin gossip yang nggak-nggak, awas kamu!
“Aku aja nggak tahu jatuh cinta itu apa, tanya sama kak Hanna, katanya seperti makan coklat dan lihat pelangi.”
Dian tertawa mendengarnya. Dasar Hanna, tega sekali dia membuat adiknya bingung.
“Maksud kak Hanna mungkin begini, karena cinta itu kadang rasanya manis tapi kadang juga pahit seperti coklat, Dea tahu kan aslinya coklat itu pahit. Tapi cinta juga indah seperti pelangi, berwarna-warni, kamu nggak perlu tanya seperti apa rasanya cinta karena pertanyaan itu emang nggak bisa dijawab cinta cuma bisa dirasain, perasaan itu bakal datang dengan sendirinya, suatu hari kamu bakal ngerasain yang namanya jatuh cinta, waktu kamu nggak bisa tidur karena terbayang terus cowok yang kamu suka, waktu kamu ngerasa senang saat ketemu dia, atau merasa cemas kalau kamu nggak dengar kabarnya.”
“Aku pernah ngerasain perasaan kayak begitu.”
“Oya? Sama siapa?”
“Sama kak Dian.” Tertegun Dian mendengar pengakuan Dea. “Kalau aku ketemu kak Dian pasti aku merasa senang, tiap hari rasanya pengen hari minggu terus, nunggu hari minggu itu buat aku kayak nunggu tahun baru, lama banget, kalau kak Dian nggak dateng atau telat aku jadi kuatir takutnya ada apa-apa, setiap berdua sama kakak rasanya nafasku sesak, jantungku terus berdetak kencang, aku lebih senang ketemu kak Dian daripada ketemu Dion, apa itu yang namanya jatuh cinta?”
Dian diam seribu bahasa, dia tidak menyangka muridnya akan menyatakan cinta seperti ini. Haruskah dia merasa senang. Dian memang menyayangi Dea tapi tentu saja sebagai adik, karena Dea adik sahabatnya juga teman adiknya, apalagi adiknya menyukai Dea, tidak mungkin dia merebut pujaan hati adik sendiri, tapi untuk menyakiti hati Dea, Dian juga tidak sanggup. Terlebih ketika dia melihat ada cinta bersinar di matanya. Murni. Tulus. Polos. Tidak dibuat-buat.

Edwin Pacarku



Namanya hanya terdiri dari dua nama, Edwin Malik, tapi pesonanya mampu membuat cewek-cewek di kampus komputer ini mati kutu. Jeritan-jeritan gila selalu memenuhi lapangan saat dia men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Tubuhnya yang tegap dan gagah dengan senyumnya yang menawan, tak pelak membuat cewek-cewek sering tiba-tiba seperti mengalami gangguan pernapasan, dengan jantung berdebar tidak karuan.
Sekelompok cewek penggemar kapten tim basket, yang kini sudah terpilih menjadi Presiden Mahasiswa itu sampai membuat fans club, Edwinizer. Yang entah siapa pencetus serta pendirinya, tapi sudah memiliki banyak anggota fans club sampai mereka membuat blog tentang Edwin.
Anggotanya bahkan tidak hanya dari kampus mereka saja tapi juga dari kampus lain, ketenaran Edwin sebagai kapten tim yang ganteng dan cool memang sudah sampai menyebar ke kampus lain seperti virus – Tapi virus yang satu ini nggak mematikan dan nggak dibenci orang – Apalagi sejak Edwin jadi kapten, tim basket mereka jadi langganan juara. 
Dan Pradnya Dewi Muthia Sari adalah cewek paling beruntung di kampus karena mendapat gelar status sebagai kekasih Edwin. Status yang diinginkan banyak cewek, hingga mereka terkadang sengaja memonopoli Edwin, membuat Dewi cemburu.
Yah, memang beginilah susahnya jadi pacar “superstar”, resiko cowok “mendua” dengan para penggemar pasti bakalan harus ditanggung. Belum lagi mereka yang mendo’akan agar Dewi dan Edwin cepat putus. Atau yang sengaja bikin gara-gara memanas-manasi Dewi dengan harapan Dewi cemburu lalu mereka bubaran.
Para Edwinizer merasa heran, kenapa Edwin bisa jatuh cinta sama Dewi? Padahal Dewi cuma cewek biasa, bukan yang paling cantik, atau yang paling tenar, atau mungkin yang paling kaya. Tapi kenyataannya sudah setahun lebih mereka pacaran, dan biarpun diusik sana-sini tapi hubungan mereka tetap adem-ayem. Nina sang mantan duta kampus, Sophie yang pernah jadi Nong Banten, Yanti yang anak pengusaha tempe jadi senewen waktu tahu saingannya yang nggak ada apa-apanya malah jadi sang pemenang.
                                                                                    *
“Hai, kok ngelamun?” Sentuhan lembut jemari-jemari kekar di telapak tangan Dewi, menyadarkannya dari lamunan panjang. “Masa udah dua kali malam minggu kita nggak nge-date, sekalinya nge-date aku harus lihat kamu melamun begini.”
“Aku nggak ngelamun kok.” Dewi berkilah. Malu sekali dia kalau ketahuan melamun, apalagi yang dia lamunkan sebenarnya Edwin sendiri, mengingat-ingat dirinya yang dulu cuma secret admirer sekarang malah jadi kekasihnya. Dan sebentar lagi mereka akan merayakan dua tahun jadian (so, sweet…). Padahal Edwin sudah jauh-jauh datang dari Ciceri, Serang, ke tempat kost di bilangan Lontar Kidul.
“Kalau kamu nggak ngelamun, coba tadi aku ngomong apa sama kamu?”
“Ngomong apa?” Dewi mengerutkan dahi bingung. Kira-kira apa yang tadi Edwin bicarakan? “Emm… eee….” Kalau nggak salah Edwin sore tadi telepon, dia butuh buku Analisa Komputer, pasti sekarang dia mau tanya soal buku itu.
“Soal buku Analisa Komputer kan, sebentar aku ambil.” Dewi beranjak hendak mengambil bukunya, tapi belum sempat dia melangkah, Edwin sudah lebih dulu menahan.
“Tuh kan kamu ngelamun, tadi aku nggak ngomong apa-apa kok.”
Dewi nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dia lalu duduk kembali di kursi plastik yang diletakkan induk semangnya di teras sambil memerhatikan Edwin. Sebenarnya dia agak malu juga sih karena nggak memerhatikan kekasihnya.
“Bohong kok, tadi aku bilang Ryan telepon dan titip salam.”
“Ryan telepon?” Belalak mata Dewi. “Gimana kabarnya dia?” Senyum Dewi cerah.
Edwin tidak segera menjawab pertanyaan Dewi ketika dia mendengar kegembiraan di nada suara kekasihnya. Sejurus ditatapnya Dewi.
“Kok mukanya gembira gitu sih? Seneng yah denger kabar mantan?”
“Mantan, siapa? Maksud kamu, Ryan mantan aku? Emang kapan aku pernah jadian sama Ryan?” Dewi menatap Edwin bingung.
“Habis, aku kan jadi jealous lihat tampang kamu yang berubah waktu dengar kabarnya Ryan.”
OMG! Edwin cemburu? Cemburu itukan tanda sayang. Baru kali ini dia denger Edwin merasa cemburu, biasanya dia melulu yang cemburu, habis penggemar Edwin bejibun. Kalau disuruh baris, mungkin panjangnya bisa menyaingi jembatan Suramadu.
“Ngapain harus cemburu sih? Aku kan udah jadi pacar kamu.” Dewi menirukan kata-kata Edwin setiap kali dia merajuk memperlihatkan rasa cemburu.
“Namanya jodoh, Ryan yang pengen pedekate sama kamu kok malah aku yang jadi pacar kamu.” Dewi tersenyum simpul, dia jadi teringat cerita cinta itu.
Saat masih semester satu, yang ngotot pengen pedekate sama Dewi memang bukan Edwin, tapi Ryan. Edwin hanya perantara terpaksa dan tanpa bayaran, semua hanya demi saudara, yang bertugas menyampaikan salam, mengajak ngobrol gadis berwajah bulat ini untuk mencari informasi tentangnya, dan semua yang harus dikerjakan Ryan, malah Edwin yang melakukannya.
Ryan memang cowok pemalu, kadar rasa malunya itu sudah sampai batas akut alias stadium 4. Kalau saja rasa malu berasal dari sel berbahaya seperti sel kanker, mungkin sel itu sudah menyebar hingga ke jantung Ryan dan sulit untuk diobati lagi meski dengan jalan operasi.
Jangankan untuk pedekate, berpapasan saja Ryan selalu buang muka, sampai Dewi merasa Ryan sombong padahal mereka bertiga teman satu kelas. Ryan hanya berani mengawasi dari jauh, membantu dengan sembunyi-sembunyi, mengagumi secara diam-diam.
Edwin selalu mendorong Ryan agar berani mendekati Dewi, mengajaknya ngobrol barang sekejap. “Dewi baik kok, emang dia kelihatannya pendiam dan rada sombong, tapi kalau udah deket, dia humoris juga, tipe cewek yang lebih suka dideketin.” Edwin menceritakan hasil risetnya selama ini.
Tanpa memberitahukan sebenarnya dia tertarik pada perempuan setipe Dewi yang mengaguminya dengan cara sendiri. Nggak harus sorak-sorak di lapangan. Nggak membanjiri Edwin dengan pujian atau menyatakan cinta setiap saat. Tapi cukup dengan kalimat, “Aku juga penggemar kamu, Ed, aku selalu nonton setiap pertandingan kamu, tapi kamu pasti nggak pernah lihat.” Memang susah bersaing dengan saudara sendiri.
Dan ketika keberanian Ryan sudah terkumpul, Dewi malah jatuh hati pada Edwin. Emang pada awalnya Dewi sudah lebih dulu tertarik pada Edwin dan seperti kedapatan durian runtuh Edwin malah diminta jadi comblang. Hati Ryan jadi kecut saat melihat Dewi lebih senang membicarakan Edwin setiap kali mereka bertemu. Dia pun pasrah dan akhirnya malah jadi comblang buat Edwin dan Dewi
Hanya selang beberapa hari sejak Edwin dan Dewi jadian, Ryan harus pindah ke Jakarta. Ryan memang berjasa banyak pada mereka, kalau bukan atas permintaan sahabatnya, mana mungkin Edwin mau mendekati cewek. Witing tresno jalaran soko kulino, pepatah jawa itu memang benar adanya.
                                                                        *
“Uwi, Mama dengar kamu udah punya pacar, apa benar?”
Terperanjat Dewi mendapat pertanyaan itu dari ibunya, nyaris saja setengah gelas juice jeruk yang sudah masuk ke mulutnya tersembur keluar. Darimana ibunya tahu kalau dia sudah punya pacar? Diakan belum pernah sekalipun membicarakannya, padahal dia sudah mati-matian merahasiakannya dari Ibunya, lalu siapa yang sudah membocorkan cerita ini?
Ketika Dewi sedang bingung, dia melihat Vivi tampak salah tingkah. Matanya berkeliaran seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan ketakutan kepergok orang.
“V yah, yang udah ngadu sama Mama?” dipelototinya Vivi, yang semakin membuat adiknya semaput.
“Nggak kok… V nggak bilang sama Mama.”
“Bohong! Kalau bukan V siapa lagi? Emangnya Mama tahu dari angin?!” bentaknya.

“V nggak bilang, Mama lihat photo teh Uwi waktu berduaan sama A Edwin, karena Mama tanya jadi V jawab, teh Uwi kan nyuruh V jangan ngadu sama Mama bukannya jangan jawab pertanyaan Mama.”
Dewi mendecak kesal. Vivi emang nggak salah. Mama yang tidak sengaja melihat photo-nya dan bertanya, Vivi tidak berani untuk tidak menjawab pertanyaan Ibunya.
“Jangan salahin adikmu, Wi, Mama nggak marah kok kalau kamu pacaran, kapan Mama pernah melarang kamu pacaran?”
Dewi hanya diam tertunduk.
Mama memang tidak pernah melarang, Mama hanya pernah bilang, “Sebaiknya kamu selesaikan dulu kuliahmu”, dan bagi Dewi kalimat itu terdengar seperti, “Kamu jangan pacaran sebelum kuliahmu selesai”.
“Asal kamu tahu batas saja. Denger, Wi, setiap perempuan punya kehormatan dan hanya perempuan baik-baiklah yang selalu menjaga kehormatannya, kamu ngerti kan? Jangan kecewakan Mama, Wi.”
“Uwi ngerti, Ma.” Dewi mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia akan membuat Ibunya kecewa. Ibu yang sudah membesarkan dia dan adiknya seorang diri selama tujuh tahun ini. “Edwin baik kok, kita nggak pernah macem-macem, Mama percaya aja sama Uwi.”
“Mama percaya kok, mama hanya minta Uwi jaga kepercayaan Mama.” Digenggamnya jemari putrinya. Memang susah menjaga anak perempuan, apalagi kalau anak perempuannya jauh dari orang tua. Perasaan was-was sering kali menghantui. “Tapi, kapan-kapan kamu bawa dong pacar kamu kesini, siapa namanya?”
“Edwin, Ma.” Dewi menyahut masih dengan tertunduk.
“Iya, Edwin. Ganteng juga yah, kalau Mama seumur dia mungkin Mama juga bisa naksir, tapi siapa tahu Edwin demen tante-tante, hi..hi.. jadi saingan ama anak dong.”
Membelalak mata Dewi mendengar selorohan Ibunya. Tidak disangkanya Mama akan berkata seperti itu, Mama emang janda tapi jangan menyukai anak kuliah dong! Apalagi sampai saingan sama anak sendiri, malu-maluin aja.
“Emangnya Oom Shidiq mau dikemanain!” Tukas Dewi.
“Mama bercanda, Mama cuma mau Oom Shidiq kok yang gantiin almarhum Papa kalian, lagian Mama juga nggak suka berondong, tenang aja.”
“Ya udah, aku duluan, Ma, aku janji nanti bakal bawa Edwin kesini.”
Dewi beranjak dari kursi makan sambil membawa piring dan gelas bekas makan malamnya ke dapur, kemudian dia segera berlari meniti tangga menuju kamarnya.
Dewi senang bukan kepalang mendengar Mama tidak melarangnya pacaran dengan Edwin, saking senangnya sampai dia tak sabar ingin joget-joget melampiaskan kegembiraannya.
Hatinya sedang berbunga-bunga, dewa cupid sudah melesakkan anak panah ke jantungnya. Cintanya dengan Edwin tidak ada yang menghalangi. Kalau tahu begitu, untuk apa dia rahasiakan Edwin dari Mama selama ini sampai menyuruh Vivi jangan mengadu.
Tapi saat kata-kata Mama terngiang kembali ditelinganya, Dewi terhenyak. Kalau ternyata Edwin beneran suka tante-tante gimana? Masa saingan sama Ibu sendiri sih? Aaah… tidak!
                                                                        *
Hari minggu, hari yang pas untuk mengenalkan Edwin pada Mama tercinta, karena hanya pada hari minggu Mama ada di rumah dan Dewi pulang ke Rangkasbitung. Dan hari ini memang hari yang benar-benar pas, kebetulan Om Shidiq, duda tiga anak yang bekerja di Jakarta itu, berencana berkunjung ke rumah untuk memperkenalkan anak-anaknya. Hem… kalau Mama dan Om Shidiq menikah, berarti rumah bakal semakin ramai, dengan dihuni tujuh orang.
Seingat Dewi, Om Shidiq berasal dari Serang, beliau memang bekerja di Jakarta tapi ketiga anaknya tinggal di Serang bersama Neneknya. Meski ketiga anak Om Shidiq tinggal di Serang, tapi nggak pernah sekalipun Dewi bertemu mereka. Om Shidiq pernah bilang anaknya juga ada yang kuliah di kampus yang sama dengannya tapi Dewi belum pernah mencari tahu.
Jam 10 tepat, Edwin sudah tiba dengan motor sport kesayangannya. Mama menyambut kedatangan pacar anaknya dengan terbuka. Dewi bersyukur karena Mama tidak cerewet pada Edwin, tampaknya Mama setuju saja dengan hubungan mereka.
Dewi jadi teringat cerita-cerita novel, biasanya saat anak perempuan memperkenalkan pacarnya pada orang tua, yang paling galak itu kan seorang Ayah sementara sang Ibu akan terima-terima saja, lalu jika almarhum Ayahnya masih hidup mungkinkah Papa akan bertindak seperti dalam cerita-cerita Papa yang berlebel “awas Papa galak” atau mungkin Ayah tirinya yang seperti itu? Tapi Dewi yakin baik Papa maupun Ayah tirinya tidak akan seperti itu.
“Ma, Om Shidiq udah datang!” teriak Vivi gembira ketika dia melihat mobil Om Shidiq sudah parkir di depan rumah mereka.
“Om Shidiq?” tanya Edwin bingung. Sementara itu Mama menyambut calon suami dan calon anak-anaknya diluar.
“Calon Papa tiri aku, aku belum pernah cerita yah?” Edwin menggeleng dengan muka masih bengong. “Waktu Mama datang ke seminar apa gitu, pembicaranya itu Om Shidiq, katanya karena Mama ditempat seminar itu kritis, Om Shidiq jadi tertarik gitu, konyol yah? Aku pikir, Mama kan udah tujuh tahun jadi janda, waktu Mama bilang mau menikah lagi ya udah kita sih setuju aja, apalagi Om Shidiq itu baik dan sudah seperti Papa buat aku dan V, dan hari ini Om Shidiq bawa anak-anaknya buat kenalin sama kita, baru setelah itu bakal ada acara lamaran.”
Wajah keheranan Edwin masih tidak berubah. Dia seperti menyimpan sebuah pertanyaan tapi tidak jadi dia sampaikan, sampai kemudian keluarga Om Shidiq masuk ke dalam.
“Edwin? Lagi apa disini?” tanya Om Shidiq saat Dewi akan mengenalkan kekasihnya pada calon Ayah tirinya.
“Aa.” Edwin menyahut dengan wajah memalu.
“Eh, kalian udah pada kenal?” tanya Ibu Fitri heran. Dewi pun ikut heran, lebih-lebih lagi saat diantara keluarga yang dibawa Om Shidiq ternyata ada Ryan juga.
“Mang Edwin, lagi kencan yah?” tanya Ryan jenaka. Biasanya juga Ryan memanggil Edwin dengan sebutan nama saja, tapi sekarang tiba-tiba dia memanggil Mamang.
“Emm… Wi, ini A Shidiq, dia kakak pertama aku.”
“Kakak?” mata Dewi membelalak tidak percaya. “Kok bisa? Trus Ryan?” Dewi kali ini menatap Ryan. Edwin jadi tidak tega melihat Dewi dan Ibunya keheranan.
“Maaf aku belum cerita, Wi, aku ama Ryan emang seumur tapi Ryan sebenarnya keponakan aku, dia anak pertama A Shidiq, usia aku ama Aa emang sangat jauh, dua puluh dua tahun, anak Ibu aku ada delapan, aku anak bungsu lalu sewaktu Ibu melahirkan aku hanya selang beberapa bulan istri Aa melahirkan Ryan, aku nggak tahu kalau Mama kamu bakal menikah dengan Kakak aku.”
Dewi masih termangu. Jadi intinya adalah calon Ayah tirinya yang dia harapkan akan menjadi calon kakak iparnya kelak? Dan itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Lalu si comblang akan menjadi adik tirinya. Ibu Edwin ternyata perempuan zaman dulu yang bisa melahirkan sampai delapan anak. Yang mungkin belum mengenal semboyan KB “dua anak lebih baik”.
“Waah… ternyata batal deh jadi calon mantu, ya udah jadi adik ipar saja ya?” Ibu Fitri merangkul bahu Edwin, memperlakukannya seperti adik ipar.
Ingin sekali Dewi menangis dengan kenyataan ini, tidak pernah disangkanya kalau kekasihnya akan menjadi pamannya kelak. Bagaimana mungkin Ibunya menikah dengan sang Kakak lalu anaknya pacaran dengan sang adik??
“Tidaaaak…..!!!”