Welcome

Welcome

Jumat, 19 Juni 2015

Hikmah dibalik Musibah


Dian dan Devi
Udara pagi itu terasa sangat dingin dengan kabut yang cukup tebal menyelimuti, ketika Devi mengendarai motornya di jalan raya Rangkasbitung – Pandeglang hendak menuju Serang. Devi hanya bisa mengemudikan motornya dengan kecepatan dua puluh sampai tiga puluh kilometer per jam karena jarak pandang terlalu dekat. 

Pemandangan di hadapannya yang tampak hanya buram, terlalu berbahaya jika dia nekat mempercepat motornya meskipun Devi harus berkejaran dengan waktu. Ditambah dengan keadaan beberapa ruas jalan yang agak “mulus” membuat Devi harus bersabar dengan keadaan. 

Udara semakin terasa menggigit, kalau bukan karena dia terpaksa pergi ke Serang dengan mengendarai motornya, mungkin saat ini Devi lebih memilih naik bis kuning kebanggaan warga Rangkasbitung. Tapi ya Tuhan… sekarang dompetnya makin seret, awal bulan masih seminggu lagi kalau dia nggak berhemat sekarang, maka besok dia akan gigit jari. 

Ayahnya nggak akan menambah uang sakunya sekalipun uangnya lebih banyak dia gunakan untuk keperluan kuliah.Andai saja Ayahnya bisa memberikan uang untuk menyewa sebuah kamar atau rumah petakan, mungkin nggak akan begini jadinya. 

Tapi yah… walau bagaimanapun Devi tetap bersyukur bisa kuliah.

Sebenarnya lulus sekolah, Devi ingin membantu orang tuanya dengan bekerja. Temannya, Yani, yang sekarang bekerja di SMK Mulia Hati Insani di bagian Administrasi memberitahu sekolahnya masih membutuhkan staff, Devi sangat bersemangat ingin mengisi lowongan itu, sayang Ayahnya nggak memberi izin. 

Sang Ayah tercinta bersikeras ingin Devi tetap kuliah.Apalagi anak sulungnya ini anak yang cerdas, rasanya sayang jika Devi nggak memanfaatkan otak cemerlangnya dengan belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Devi memang berjanji jika dia sudah bisa mencari uang sendiri, dia akan kuliah dengan biaya sendiri tapi keputusan Ayah siapa yang berani membantah, malah Ibunya saja angkat tangan.  

“Ini semua buat kepentingan kamu juga, Devi, pokoknya Ayah ingin kamu kuliah.”

Devi menghembuskan nafasnya, disaat seperti ini kenapa dia malah teringat pada perjuangan Ayahnya yang ingin dia kuliah dan bukannya berkonsentrasi pada jalanan. 

Devi kembali memfokuskan pandangannya, pertelon warunggunung masih cukup jauh, sepertinya perjalanan kali ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi hanya selang beberapa detik saat Devi kembali fokus, sebuah mobil tiba-tiba menerobos dari sisi kanan. 

Devi terkejut dengan kedatangan mobil itu. Karena jarak yang terlalu dekat dan khawatir ke serempet, Devi membelokkan stangnya sedikit ke arah kiri. Sayangnya sebuah lubang ternyata telah menyambutnya disana, roda depan motornya terhentak diantara lubang. 

Devi nggak bisa mengendalikan laju motornya yang berantakan, sebagian badannya juga sudah nyaris terjatuh sampai akhirnya dia terhempas ke jalanan.Seperti sedang mimpi Devi sama sekali nggak sadar motor kesayangannya sudah menghempaskan pemiliknya begitu saja. Yang dia ingat, tubuhnya sudah berada di jalan dan tidak tahu apa penyebabnya. 

"Neng! Neng! Neng baik-baik aja.” Seorang cowok hitam manis berkacamata lensa tipis menghampiri Devi. Dia juga masih merasakan saat cowok itu melepaskan helmnya lalu mengangkat kepalanya ke tangan cowok itu. 

Diantara samar pandangannya Devi pun masih bisa melihat betapa manisnya cowok itu, dia sampai bisa merasakan nafasnya sesak dan jantungnya berdebar kencang.Karena pusing, Devi memilih untuk tidur.

                                                                        ***

“Devi! Elu nggak apa-apa kan? Luka parah nggak? Apanya yang sakit, Dev? elu ditabrak orang? Siapa yang nabrak elu, Dev, bilang sama gue, biar gue bejek dia!” Yani yang baru saja datang sudah memberondongnya dengan pertanyaan. Devi sampe bengong mendengarnya.

“Gue nggak apa-apa, Yan, elu nggak usah kuatir.” Devi menyahut lemas. 

Keadaannya memang tidak terlalu parah, karena dia memakai jaket tebal, tubuhnya tidak dipenuhi luka. Hanya kakinya yang terkilir. Tapi karena yang menyerempetnya ingin dia di rawat, akhirnya siang ini Devi terbaring di salah satu ranjang rumah sakit Misi Lebak. 

“Gue lagi apes aja, ngindarin mobil malah kena lubang.” 

“Emang jalan ke Wargun lumayan jelek sih.” Tia menyahut.

“Bukan lumayan lagi, Tia, itu sih bisa dibilang parah namanya, biasalah jalan-jalan di kota aja yang dibenerin, bagian jalan-jalan penting yang sering dipake bis, elf, truk malah dicuekin, masa kemarin ini jalan di depan Rabinza diaspal lagi padahal masih mulus, enak banget ya yang tinggal di kota.” 

Tia memandang Yani heran. Lah yang tinggal di Kota kan dia sendiri, kok dia ngomong seolah dia tinggal di pelosok mana yang jalannya rusak, ancur, amburadul dan dia sirik sama orang-orang kota. 

Memang perbaikan jalan selalu tidak adil, jalan-jalan di Kota aja yang selalu diperhatikan pemerintah, giliran ke desa-desa, wah… jangan dibilang deh! kalau jalan berlubang belum sebesar empang sih kayaknya belum diperbaiki atau kalau belum ada korban kecelakaan, dianggapnya masih aman. Sekalinya diperbaiki eh dalam hitungan bulan udah ancur lagi.Padahal orang Kota sama orang Desa juga kan sama aja. Sama-sama penduduk yang perlu diperhatikan. Kalau belum bisa berlaku adil, jangan jadi pemimpin deh. 

“Pemprovnya nih, gimana sih.” 

“Kok nyalahin Pemprov sih, Yan? pemda kali, emang ada urusannya Pemprov sampe ke Rangkasbitung? Udah jadi bagian pemda kan.” 

“Ya sama aja, intinya Pemerintah itu masih kurang perhatiin kebutuhan rakyatnya, mau itu pemprov kek, pemda kek, pokoknya pemimpin-pemimpin Banten tuh kurang bagus sama kerjanya, nepotisme aja yang diduluin, sebagian besar wilayah Banten dipimpin sama satu keluarga besar, macam kerajaan aja.” 

“Eh, Yan, tapi belakangan ini banyak jalan-jalan yang dibenerin loh, jalan yang ke Cikande itu kan sekarang udah mulus, tinggal yang di Citeras aja tuh masih parah, trus kayaknya jalan-jalan yang di Serang banyak yang dilebarin yah? Udah gitu ada Mall of Serang, keren tuh.” 

“Mau pilkada, bentar lagi kan, bulan apa sih? November ya, yaelah spanduk udah dimana-mana, males gue milihnya, sebelas tahun Banten jadi Provinsi perasaan begini-begini aja, gue sih mau golput aja deh.”

“Sarap lu ya, masa golput sih, nggak boleh kan itu.”

“Abis nggak ada yang bisa gue pilih sih, yang mau benahi Banten lah, yang mau melanjutkan pembangunan Banten lah, semua calon pemimpin itu sama aja, nggak pemimpin Negara atau Daerah cuma bekoar-koar waktu kampanye aja, abis kepilih tahu deh pada kemana? Janji pemimpin itu sama dengan omong kosong! Pembangunannya cuma pas Pilkada aja, gue sih berharap Pilkada diadain tiap tahun, biar pembangunannya juga jadi tiap tahun.” 

Tia tertawa terbahak-bahak dengar usul Yani yang jelas-jelas rada aneh sekalipun masuk diakal. Emang kalau ada Pilkada tiap tahun boleh juga tuh, biar pembangunannya juga tiap tahun. Tapi emangnya pilkada nggak ribet dan nggak pake duit apa sampe bisa setahun sekali.“Keren… keren tuh, Pilkada setahun sekali jadi kayak puasa gitu, asal jangan golput aja.”

 “Eh, elu pada gila yah, gue sakit disini bukannya tanyain keadaan gue malah ngomongin pilkada lagi,” protes Devi kesal. 

Bagaimana dia nggak jadi kesal, tujuan kedatangan kedua temannya ini sebenarnya ingin menjenguknya atau membahas soal pilkada dan pemerintahan Banten sih? 

“Sorry… sorry, Dev, abis gue terlalu semangat sih ngeluarin unek-unek gue,” ujar Yani. 

“Kalau mau keluarin unek-unek sana di gedung DPRD, bukan disini.” 

“Ya, gue kesel aja gara-gara jalan jelek, eh temen gue jadi kecelakaan gini kan.” 

“Eh, ngomong-ngomong kok elu bisa ada di ruang Lukas gini sih?” Tia menyela.Devi tersenyum maklum. 

Kalau Ayahnya yang membayar biaya rumah sakit, memang nggak mungkin Devi berada di kelas VIP seperti ini, paling dia bakalan masuk di ruang kelas satu. Tapi ini semua karena permintaan si penyerempet, makanya dia sekarang berbaring nyaman di kamar VIP. 

“Yang nyerempet gue yang minta gue di rawat disini.” 

“Yang nyerempet elu?”

“Selamat siang.” 

Ketika Yani dan Tia masih bengong dan penasaran dengan jawaban Devi. Tiba-tiba tiga cowok cakep muncul. Yang seorang berpostur tinggi, hitam manis berkacamata lensa tipis. Yang seorang lagi berwajah baby face.

“Neng Devi, gimana keadaannya, aku minta maaf karena kecerobohanku Neng jadi kecelakaan begini.” 
“Panggil saja saya Devi, aku nggak apa-apa kok lagian yang salah aku karena kurang hati-hati dan nggak lihat lubang, bukannya tadi dokter juga bilang saya boleh pulang tapi eh….” 

“Nama saya Dian.” 

“Iya, maksudnya… Dian malah minta saya di rawat aja.” 

“Takutnya ada luka dalam, karena tadi kamu terhempas dari motor dan pingsan, tapi ternyata nggak apa-apa, dokter bilang kamu sudah melindungi badan kamu dengan aman saat bawa motor jadi nggak ada yang perlu saya takutkan.”

 “Oya, kenalin ini teman-temanku, Yani dan Tia.” 
“Dian.” Dengan sopan Dian menyalami keduanya sambil menyebutkan nama. Tapi Yani dan Tia masih tertegun seperti mereka baru ketemu idola saja.

“Oya, kenalin ini Edwin.”Si baby face menebar senyum. 

“Nah, Yan, elu bilang tadi pengen ketemu sama yang nyerempet gue, ini orangnya, tadi elu bilang dia mau diapain?”

“Eh…eh… nggak kok, emangnya tadi gue ngomong apa?” Yani berkilah. Sama cowok ganteng begini mana berani macam-macam dia. 

Dev, Kalau kayak begini sih gue ajak ngedate aja deh, nggak jadi gue bejek! 

“Dev, sekali lagi aku minta maaf, aku benar-benar ceroboh, niatnya mau nengok teman yang kecelakaan di Tangerang malah bikin celaka orang.” 

“Nggak apa-apa kok.” Sebenarnya ada hikmah dibalik musibah juga sih, gara-gara keserempet jadi bisa ketemu cowok cakep. 

“Oke, karena aku udah terlalu lama disini dan harus nengok teman dulu, aku permisi, oya soal biaya udah beres, sore ini kamu udah boleh pulang.” Dian mengulurkan tangannya hendak berpamitan. 

“Terima kasih.” Disambutnya uluran tangan kenalan barunya itu. 

Seakan enggan berpisah, Dian malah nggak lekas-lekas melepaskan tangannya. Mereka terus bersalaman sambil bertatapan lembut. 

“Dian, kalo emang naksir mending elu disini aja nemenin dia biar gue yang ke Tangerang, atau elu minta aja nomor teleponnya, nggak usah pake acara salaman lama-lama.” Edwin berbisik di telinga Dian dengan suara keras, membuat Dian tersadar dan merasa malu sendiri. 

Devi, Yani dan Tia hanya bisa tersenyum.

(Cerpen ini pernah di publikasikan di antalogi cerpen Kado Untuk Ratu) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar