Welcome

Welcome

Sabtu, 20 Juni 2015

Edwin Pacarku



Namanya hanya terdiri dari dua nama, Edwin Malik, tapi pesonanya mampu membuat cewek-cewek di kampus komputer ini mati kutu. Jeritan-jeritan gila selalu memenuhi lapangan saat dia men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Tubuhnya yang tegap dan gagah dengan senyumnya yang menawan, tak pelak membuat cewek-cewek sering tiba-tiba seperti mengalami gangguan pernapasan, dengan jantung berdebar tidak karuan.
Sekelompok cewek penggemar kapten tim basket, yang kini sudah terpilih menjadi Presiden Mahasiswa itu sampai membuat fans club, Edwinizer. Yang entah siapa pencetus serta pendirinya, tapi sudah memiliki banyak anggota fans club sampai mereka membuat blog tentang Edwin.
Anggotanya bahkan tidak hanya dari kampus mereka saja tapi juga dari kampus lain, ketenaran Edwin sebagai kapten tim yang ganteng dan cool memang sudah sampai menyebar ke kampus lain seperti virus – Tapi virus yang satu ini nggak mematikan dan nggak dibenci orang – Apalagi sejak Edwin jadi kapten, tim basket mereka jadi langganan juara. 
Dan Pradnya Dewi Muthia Sari adalah cewek paling beruntung di kampus karena mendapat gelar status sebagai kekasih Edwin. Status yang diinginkan banyak cewek, hingga mereka terkadang sengaja memonopoli Edwin, membuat Dewi cemburu.
Yah, memang beginilah susahnya jadi pacar “superstar”, resiko cowok “mendua” dengan para penggemar pasti bakalan harus ditanggung. Belum lagi mereka yang mendo’akan agar Dewi dan Edwin cepat putus. Atau yang sengaja bikin gara-gara memanas-manasi Dewi dengan harapan Dewi cemburu lalu mereka bubaran.
Para Edwinizer merasa heran, kenapa Edwin bisa jatuh cinta sama Dewi? Padahal Dewi cuma cewek biasa, bukan yang paling cantik, atau yang paling tenar, atau mungkin yang paling kaya. Tapi kenyataannya sudah setahun lebih mereka pacaran, dan biarpun diusik sana-sini tapi hubungan mereka tetap adem-ayem. Nina sang mantan duta kampus, Sophie yang pernah jadi Nong Banten, Yanti yang anak pengusaha tempe jadi senewen waktu tahu saingannya yang nggak ada apa-apanya malah jadi sang pemenang.
                                                                                    *
“Hai, kok ngelamun?” Sentuhan lembut jemari-jemari kekar di telapak tangan Dewi, menyadarkannya dari lamunan panjang. “Masa udah dua kali malam minggu kita nggak nge-date, sekalinya nge-date aku harus lihat kamu melamun begini.”
“Aku nggak ngelamun kok.” Dewi berkilah. Malu sekali dia kalau ketahuan melamun, apalagi yang dia lamunkan sebenarnya Edwin sendiri, mengingat-ingat dirinya yang dulu cuma secret admirer sekarang malah jadi kekasihnya. Dan sebentar lagi mereka akan merayakan dua tahun jadian (so, sweet…). Padahal Edwin sudah jauh-jauh datang dari Ciceri, Serang, ke tempat kost di bilangan Lontar Kidul.
“Kalau kamu nggak ngelamun, coba tadi aku ngomong apa sama kamu?”
“Ngomong apa?” Dewi mengerutkan dahi bingung. Kira-kira apa yang tadi Edwin bicarakan? “Emm… eee….” Kalau nggak salah Edwin sore tadi telepon, dia butuh buku Analisa Komputer, pasti sekarang dia mau tanya soal buku itu.
“Soal buku Analisa Komputer kan, sebentar aku ambil.” Dewi beranjak hendak mengambil bukunya, tapi belum sempat dia melangkah, Edwin sudah lebih dulu menahan.
“Tuh kan kamu ngelamun, tadi aku nggak ngomong apa-apa kok.”
Dewi nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dia lalu duduk kembali di kursi plastik yang diletakkan induk semangnya di teras sambil memerhatikan Edwin. Sebenarnya dia agak malu juga sih karena nggak memerhatikan kekasihnya.
“Bohong kok, tadi aku bilang Ryan telepon dan titip salam.”
“Ryan telepon?” Belalak mata Dewi. “Gimana kabarnya dia?” Senyum Dewi cerah.
Edwin tidak segera menjawab pertanyaan Dewi ketika dia mendengar kegembiraan di nada suara kekasihnya. Sejurus ditatapnya Dewi.
“Kok mukanya gembira gitu sih? Seneng yah denger kabar mantan?”
“Mantan, siapa? Maksud kamu, Ryan mantan aku? Emang kapan aku pernah jadian sama Ryan?” Dewi menatap Edwin bingung.
“Habis, aku kan jadi jealous lihat tampang kamu yang berubah waktu dengar kabarnya Ryan.”
OMG! Edwin cemburu? Cemburu itukan tanda sayang. Baru kali ini dia denger Edwin merasa cemburu, biasanya dia melulu yang cemburu, habis penggemar Edwin bejibun. Kalau disuruh baris, mungkin panjangnya bisa menyaingi jembatan Suramadu.
“Ngapain harus cemburu sih? Aku kan udah jadi pacar kamu.” Dewi menirukan kata-kata Edwin setiap kali dia merajuk memperlihatkan rasa cemburu.
“Namanya jodoh, Ryan yang pengen pedekate sama kamu kok malah aku yang jadi pacar kamu.” Dewi tersenyum simpul, dia jadi teringat cerita cinta itu.
Saat masih semester satu, yang ngotot pengen pedekate sama Dewi memang bukan Edwin, tapi Ryan. Edwin hanya perantara terpaksa dan tanpa bayaran, semua hanya demi saudara, yang bertugas menyampaikan salam, mengajak ngobrol gadis berwajah bulat ini untuk mencari informasi tentangnya, dan semua yang harus dikerjakan Ryan, malah Edwin yang melakukannya.
Ryan memang cowok pemalu, kadar rasa malunya itu sudah sampai batas akut alias stadium 4. Kalau saja rasa malu berasal dari sel berbahaya seperti sel kanker, mungkin sel itu sudah menyebar hingga ke jantung Ryan dan sulit untuk diobati lagi meski dengan jalan operasi.
Jangankan untuk pedekate, berpapasan saja Ryan selalu buang muka, sampai Dewi merasa Ryan sombong padahal mereka bertiga teman satu kelas. Ryan hanya berani mengawasi dari jauh, membantu dengan sembunyi-sembunyi, mengagumi secara diam-diam.
Edwin selalu mendorong Ryan agar berani mendekati Dewi, mengajaknya ngobrol barang sekejap. “Dewi baik kok, emang dia kelihatannya pendiam dan rada sombong, tapi kalau udah deket, dia humoris juga, tipe cewek yang lebih suka dideketin.” Edwin menceritakan hasil risetnya selama ini.
Tanpa memberitahukan sebenarnya dia tertarik pada perempuan setipe Dewi yang mengaguminya dengan cara sendiri. Nggak harus sorak-sorak di lapangan. Nggak membanjiri Edwin dengan pujian atau menyatakan cinta setiap saat. Tapi cukup dengan kalimat, “Aku juga penggemar kamu, Ed, aku selalu nonton setiap pertandingan kamu, tapi kamu pasti nggak pernah lihat.” Memang susah bersaing dengan saudara sendiri.
Dan ketika keberanian Ryan sudah terkumpul, Dewi malah jatuh hati pada Edwin. Emang pada awalnya Dewi sudah lebih dulu tertarik pada Edwin dan seperti kedapatan durian runtuh Edwin malah diminta jadi comblang. Hati Ryan jadi kecut saat melihat Dewi lebih senang membicarakan Edwin setiap kali mereka bertemu. Dia pun pasrah dan akhirnya malah jadi comblang buat Edwin dan Dewi
Hanya selang beberapa hari sejak Edwin dan Dewi jadian, Ryan harus pindah ke Jakarta. Ryan memang berjasa banyak pada mereka, kalau bukan atas permintaan sahabatnya, mana mungkin Edwin mau mendekati cewek. Witing tresno jalaran soko kulino, pepatah jawa itu memang benar adanya.
                                                                        *
“Uwi, Mama dengar kamu udah punya pacar, apa benar?”
Terperanjat Dewi mendapat pertanyaan itu dari ibunya, nyaris saja setengah gelas juice jeruk yang sudah masuk ke mulutnya tersembur keluar. Darimana ibunya tahu kalau dia sudah punya pacar? Diakan belum pernah sekalipun membicarakannya, padahal dia sudah mati-matian merahasiakannya dari Ibunya, lalu siapa yang sudah membocorkan cerita ini?
Ketika Dewi sedang bingung, dia melihat Vivi tampak salah tingkah. Matanya berkeliaran seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan ketakutan kepergok orang.
“V yah, yang udah ngadu sama Mama?” dipelototinya Vivi, yang semakin membuat adiknya semaput.
“Nggak kok… V nggak bilang sama Mama.”
“Bohong! Kalau bukan V siapa lagi? Emangnya Mama tahu dari angin?!” bentaknya.

“V nggak bilang, Mama lihat photo teh Uwi waktu berduaan sama A Edwin, karena Mama tanya jadi V jawab, teh Uwi kan nyuruh V jangan ngadu sama Mama bukannya jangan jawab pertanyaan Mama.”
Dewi mendecak kesal. Vivi emang nggak salah. Mama yang tidak sengaja melihat photo-nya dan bertanya, Vivi tidak berani untuk tidak menjawab pertanyaan Ibunya.
“Jangan salahin adikmu, Wi, Mama nggak marah kok kalau kamu pacaran, kapan Mama pernah melarang kamu pacaran?”
Dewi hanya diam tertunduk.
Mama memang tidak pernah melarang, Mama hanya pernah bilang, “Sebaiknya kamu selesaikan dulu kuliahmu”, dan bagi Dewi kalimat itu terdengar seperti, “Kamu jangan pacaran sebelum kuliahmu selesai”.
“Asal kamu tahu batas saja. Denger, Wi, setiap perempuan punya kehormatan dan hanya perempuan baik-baiklah yang selalu menjaga kehormatannya, kamu ngerti kan? Jangan kecewakan Mama, Wi.”
“Uwi ngerti, Ma.” Dewi mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia akan membuat Ibunya kecewa. Ibu yang sudah membesarkan dia dan adiknya seorang diri selama tujuh tahun ini. “Edwin baik kok, kita nggak pernah macem-macem, Mama percaya aja sama Uwi.”
“Mama percaya kok, mama hanya minta Uwi jaga kepercayaan Mama.” Digenggamnya jemari putrinya. Memang susah menjaga anak perempuan, apalagi kalau anak perempuannya jauh dari orang tua. Perasaan was-was sering kali menghantui. “Tapi, kapan-kapan kamu bawa dong pacar kamu kesini, siapa namanya?”
“Edwin, Ma.” Dewi menyahut masih dengan tertunduk.
“Iya, Edwin. Ganteng juga yah, kalau Mama seumur dia mungkin Mama juga bisa naksir, tapi siapa tahu Edwin demen tante-tante, hi..hi.. jadi saingan ama anak dong.”
Membelalak mata Dewi mendengar selorohan Ibunya. Tidak disangkanya Mama akan berkata seperti itu, Mama emang janda tapi jangan menyukai anak kuliah dong! Apalagi sampai saingan sama anak sendiri, malu-maluin aja.
“Emangnya Oom Shidiq mau dikemanain!” Tukas Dewi.
“Mama bercanda, Mama cuma mau Oom Shidiq kok yang gantiin almarhum Papa kalian, lagian Mama juga nggak suka berondong, tenang aja.”
“Ya udah, aku duluan, Ma, aku janji nanti bakal bawa Edwin kesini.”
Dewi beranjak dari kursi makan sambil membawa piring dan gelas bekas makan malamnya ke dapur, kemudian dia segera berlari meniti tangga menuju kamarnya.
Dewi senang bukan kepalang mendengar Mama tidak melarangnya pacaran dengan Edwin, saking senangnya sampai dia tak sabar ingin joget-joget melampiaskan kegembiraannya.
Hatinya sedang berbunga-bunga, dewa cupid sudah melesakkan anak panah ke jantungnya. Cintanya dengan Edwin tidak ada yang menghalangi. Kalau tahu begitu, untuk apa dia rahasiakan Edwin dari Mama selama ini sampai menyuruh Vivi jangan mengadu.
Tapi saat kata-kata Mama terngiang kembali ditelinganya, Dewi terhenyak. Kalau ternyata Edwin beneran suka tante-tante gimana? Masa saingan sama Ibu sendiri sih? Aaah… tidak!
                                                                        *
Hari minggu, hari yang pas untuk mengenalkan Edwin pada Mama tercinta, karena hanya pada hari minggu Mama ada di rumah dan Dewi pulang ke Rangkasbitung. Dan hari ini memang hari yang benar-benar pas, kebetulan Om Shidiq, duda tiga anak yang bekerja di Jakarta itu, berencana berkunjung ke rumah untuk memperkenalkan anak-anaknya. Hem… kalau Mama dan Om Shidiq menikah, berarti rumah bakal semakin ramai, dengan dihuni tujuh orang.
Seingat Dewi, Om Shidiq berasal dari Serang, beliau memang bekerja di Jakarta tapi ketiga anaknya tinggal di Serang bersama Neneknya. Meski ketiga anak Om Shidiq tinggal di Serang, tapi nggak pernah sekalipun Dewi bertemu mereka. Om Shidiq pernah bilang anaknya juga ada yang kuliah di kampus yang sama dengannya tapi Dewi belum pernah mencari tahu.
Jam 10 tepat, Edwin sudah tiba dengan motor sport kesayangannya. Mama menyambut kedatangan pacar anaknya dengan terbuka. Dewi bersyukur karena Mama tidak cerewet pada Edwin, tampaknya Mama setuju saja dengan hubungan mereka.
Dewi jadi teringat cerita-cerita novel, biasanya saat anak perempuan memperkenalkan pacarnya pada orang tua, yang paling galak itu kan seorang Ayah sementara sang Ibu akan terima-terima saja, lalu jika almarhum Ayahnya masih hidup mungkinkah Papa akan bertindak seperti dalam cerita-cerita Papa yang berlebel “awas Papa galak” atau mungkin Ayah tirinya yang seperti itu? Tapi Dewi yakin baik Papa maupun Ayah tirinya tidak akan seperti itu.
“Ma, Om Shidiq udah datang!” teriak Vivi gembira ketika dia melihat mobil Om Shidiq sudah parkir di depan rumah mereka.
“Om Shidiq?” tanya Edwin bingung. Sementara itu Mama menyambut calon suami dan calon anak-anaknya diluar.
“Calon Papa tiri aku, aku belum pernah cerita yah?” Edwin menggeleng dengan muka masih bengong. “Waktu Mama datang ke seminar apa gitu, pembicaranya itu Om Shidiq, katanya karena Mama ditempat seminar itu kritis, Om Shidiq jadi tertarik gitu, konyol yah? Aku pikir, Mama kan udah tujuh tahun jadi janda, waktu Mama bilang mau menikah lagi ya udah kita sih setuju aja, apalagi Om Shidiq itu baik dan sudah seperti Papa buat aku dan V, dan hari ini Om Shidiq bawa anak-anaknya buat kenalin sama kita, baru setelah itu bakal ada acara lamaran.”
Wajah keheranan Edwin masih tidak berubah. Dia seperti menyimpan sebuah pertanyaan tapi tidak jadi dia sampaikan, sampai kemudian keluarga Om Shidiq masuk ke dalam.
“Edwin? Lagi apa disini?” tanya Om Shidiq saat Dewi akan mengenalkan kekasihnya pada calon Ayah tirinya.
“Aa.” Edwin menyahut dengan wajah memalu.
“Eh, kalian udah pada kenal?” tanya Ibu Fitri heran. Dewi pun ikut heran, lebih-lebih lagi saat diantara keluarga yang dibawa Om Shidiq ternyata ada Ryan juga.
“Mang Edwin, lagi kencan yah?” tanya Ryan jenaka. Biasanya juga Ryan memanggil Edwin dengan sebutan nama saja, tapi sekarang tiba-tiba dia memanggil Mamang.
“Emm… Wi, ini A Shidiq, dia kakak pertama aku.”
“Kakak?” mata Dewi membelalak tidak percaya. “Kok bisa? Trus Ryan?” Dewi kali ini menatap Ryan. Edwin jadi tidak tega melihat Dewi dan Ibunya keheranan.
“Maaf aku belum cerita, Wi, aku ama Ryan emang seumur tapi Ryan sebenarnya keponakan aku, dia anak pertama A Shidiq, usia aku ama Aa emang sangat jauh, dua puluh dua tahun, anak Ibu aku ada delapan, aku anak bungsu lalu sewaktu Ibu melahirkan aku hanya selang beberapa bulan istri Aa melahirkan Ryan, aku nggak tahu kalau Mama kamu bakal menikah dengan Kakak aku.”
Dewi masih termangu. Jadi intinya adalah calon Ayah tirinya yang dia harapkan akan menjadi calon kakak iparnya kelak? Dan itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Lalu si comblang akan menjadi adik tirinya. Ibu Edwin ternyata perempuan zaman dulu yang bisa melahirkan sampai delapan anak. Yang mungkin belum mengenal semboyan KB “dua anak lebih baik”.
“Waah… ternyata batal deh jadi calon mantu, ya udah jadi adik ipar saja ya?” Ibu Fitri merangkul bahu Edwin, memperlakukannya seperti adik ipar.
Ingin sekali Dewi menangis dengan kenyataan ini, tidak pernah disangkanya kalau kekasihnya akan menjadi pamannya kelak. Bagaimana mungkin Ibunya menikah dengan sang Kakak lalu anaknya pacaran dengan sang adik??
“Tidaaaak…..!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar