Namanya hanya
terdiri dari dua nama, Edwin Malik, tapi pesonanya mampu membuat cewek-cewek di
kampus komputer ini mati kutu. Jeritan-jeritan gila selalu memenuhi lapangan
saat dia men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Tubuhnya yang
tegap dan gagah dengan senyumnya yang menawan, tak pelak membuat cewek-cewek sering
tiba-tiba seperti mengalami gangguan pernapasan, dengan jantung berdebar tidak
karuan.
Sekelompok
cewek penggemar kapten tim basket, yang kini sudah terpilih menjadi Presiden
Mahasiswa itu sampai membuat fans club, Edwinizer. Yang entah siapa pencetus
serta pendirinya, tapi sudah memiliki banyak anggota fans club sampai mereka
membuat blog tentang Edwin.
Anggotanya
bahkan tidak hanya dari kampus mereka saja tapi juga dari kampus lain,
ketenaran Edwin sebagai kapten tim yang ganteng dan cool memang sudah sampai
menyebar ke kampus lain seperti virus – Tapi virus yang satu ini nggak
mematikan dan nggak dibenci orang – Apalagi sejak Edwin jadi kapten, tim basket
mereka jadi langganan juara.
Dan Pradnya Dewi
Muthia Sari adalah cewek paling beruntung di kampus karena mendapat gelar
status sebagai kekasih Edwin. Status yang diinginkan banyak cewek, hingga
mereka terkadang sengaja memonopoli Edwin, membuat Dewi cemburu.
Yah, memang
beginilah susahnya jadi pacar “superstar”, resiko cowok “mendua” dengan para penggemar
pasti bakalan harus ditanggung. Belum lagi mereka yang mendo’akan agar Dewi dan
Edwin cepat putus. Atau yang sengaja bikin gara-gara memanas-manasi Dewi dengan
harapan Dewi cemburu lalu mereka bubaran.
Para Edwinizer
merasa heran, kenapa Edwin bisa jatuh cinta sama Dewi? Padahal Dewi cuma cewek
biasa, bukan yang paling cantik, atau yang paling tenar, atau mungkin yang
paling kaya. Tapi kenyataannya sudah setahun lebih mereka pacaran, dan biarpun
diusik sana-sini tapi hubungan mereka tetap adem-ayem. Nina sang mantan duta
kampus, Sophie yang pernah jadi Nong Banten, Yanti yang anak pengusaha tempe jadi senewen waktu
tahu saingannya yang nggak ada apa-apanya malah jadi sang pemenang.
*
“Hai, kok ngelamun?”
Sentuhan lembut jemari-jemari kekar di telapak tangan Dewi, menyadarkannya dari
lamunan panjang. “Masa udah dua kali malam minggu kita nggak nge-date,
sekalinya nge-date aku harus lihat kamu melamun begini.”
“Aku nggak ngelamun
kok.” Dewi berkilah. Malu sekali dia kalau ketahuan melamun, apalagi
yang dia lamunkan sebenarnya Edwin sendiri, mengingat-ingat dirinya yang dulu
cuma secret admirer sekarang malah jadi kekasihnya. Dan sebentar lagi mereka
akan merayakan dua tahun jadian (so, sweet…). Padahal Edwin sudah jauh-jauh
datang dari Ciceri, Serang, ke tempat kost di bilangan Lontar Kidul.
“Kalau kamu
nggak ngelamun, coba tadi aku ngomong apa sama kamu?”
“Ngomong apa?”
Dewi mengerutkan dahi bingung. Kira-kira apa yang tadi Edwin bicarakan? “Emm…
eee….” Kalau nggak salah Edwin sore tadi telepon, dia butuh buku Analisa
Komputer, pasti sekarang dia mau tanya soal buku itu.
“Soal buku
Analisa Komputer kan,
sebentar aku ambil.” Dewi beranjak hendak mengambil bukunya, tapi belum sempat
dia melangkah, Edwin sudah lebih dulu menahan.
“Tuh kan kamu ngelamun, tadi aku
nggak ngomong apa-apa kok.”
Dewi nyengir
memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dia lalu duduk kembali di kursi plastik
yang diletakkan induk semangnya di teras sambil memerhatikan Edwin. Sebenarnya
dia agak malu juga sih karena nggak memerhatikan kekasihnya.
“Bohong kok,
tadi aku bilang Ryan telepon dan titip salam.”
“Ryan telepon?” Belalak mata Dewi. “Gimana kabarnya dia?” Senyum Dewi cerah.
Edwin tidak
segera menjawab pertanyaan Dewi ketika dia mendengar kegembiraan di nada suara
kekasihnya. Sejurus ditatapnya Dewi.
“Kok mukanya
gembira gitu sih? Seneng yah denger kabar mantan?”
“Mantan,
siapa? Maksud kamu, Ryan mantan aku? Emang kapan aku pernah jadian sama Ryan?” Dewi
menatap Edwin bingung.
“Habis, aku kan jadi jealous lihat
tampang kamu yang berubah waktu dengar kabarnya Ryan.”
OMG! Edwin
cemburu? Cemburu itukan tanda sayang. Baru kali ini dia denger Edwin merasa
cemburu, biasanya dia melulu yang cemburu, habis penggemar Edwin bejibun. Kalau
disuruh baris, mungkin panjangnya bisa menyaingi jembatan Suramadu.
“Ngapain harus
cemburu sih? Aku kan
udah jadi pacar kamu.” Dewi menirukan kata-kata Edwin setiap kali dia merajuk
memperlihatkan rasa cemburu.
“Namanya
jodoh, Ryan yang pengen pedekate sama kamu kok malah aku yang jadi pacar kamu.”
Dewi tersenyum simpul, dia jadi teringat cerita cinta itu.
Saat masih
semester satu, yang ngotot pengen pedekate sama Dewi memang bukan Edwin, tapi
Ryan. Edwin hanya perantara terpaksa dan tanpa bayaran, semua hanya demi saudara,
yang bertugas menyampaikan salam, mengajak ngobrol gadis berwajah bulat ini
untuk mencari informasi tentangnya, dan semua yang harus dikerjakan Ryan, malah
Edwin yang melakukannya.
Ryan memang
cowok pemalu, kadar rasa malunya itu sudah sampai batas akut alias stadium 4. Kalau
saja rasa malu berasal dari sel berbahaya seperti sel kanker, mungkin sel itu
sudah menyebar hingga ke jantung Ryan dan sulit untuk diobati lagi meski dengan
jalan operasi.
Jangankan
untuk pedekate, berpapasan saja Ryan selalu buang muka, sampai Dewi merasa Ryan
sombong padahal mereka bertiga teman satu kelas. Ryan hanya berani mengawasi
dari jauh, membantu dengan sembunyi-sembunyi, mengagumi secara diam-diam.
Edwin selalu mendorong
Ryan agar berani mendekati Dewi, mengajaknya ngobrol barang sekejap. “Dewi baik
kok, emang dia kelihatannya pendiam dan rada sombong, tapi kalau udah deket,
dia humoris juga, tipe cewek yang lebih suka dideketin.” Edwin menceritakan
hasil risetnya selama ini.
Tanpa
memberitahukan sebenarnya dia tertarik pada perempuan setipe Dewi yang
mengaguminya dengan cara sendiri. Nggak harus sorak-sorak di lapangan. Nggak
membanjiri Edwin dengan pujian atau menyatakan cinta setiap saat. Tapi cukup
dengan kalimat, “Aku juga penggemar kamu, Ed, aku selalu nonton setiap
pertandingan kamu, tapi kamu pasti nggak pernah lihat.” Memang susah bersaing
dengan saudara sendiri.
Dan ketika
keberanian Ryan sudah terkumpul, Dewi malah jatuh hati pada Edwin. Emang pada
awalnya Dewi sudah lebih dulu tertarik pada Edwin dan seperti kedapatan durian
runtuh Edwin malah diminta jadi comblang. Hati Ryan jadi kecut saat melihat
Dewi lebih senang membicarakan Edwin setiap kali mereka bertemu. Dia pun pasrah
dan akhirnya malah jadi comblang buat Edwin dan Dewi
Hanya selang
beberapa hari sejak Edwin dan Dewi jadian, Ryan harus pindah ke Jakarta. Ryan memang
berjasa banyak pada mereka, kalau bukan atas permintaan sahabatnya, mana
mungkin Edwin mau mendekati cewek. Witing
tresno jalaran soko kulino, pepatah jawa itu memang benar adanya.
*
“Uwi, Mama
dengar kamu udah punya pacar, apa benar?”
Terperanjat Dewi
mendapat pertanyaan itu dari ibunya, nyaris saja setengah gelas juice jeruk
yang sudah masuk ke mulutnya tersembur keluar. Darimana ibunya tahu kalau dia
sudah punya pacar? Diakan belum pernah sekalipun membicarakannya, padahal dia
sudah mati-matian merahasiakannya dari Ibunya, lalu siapa yang sudah
membocorkan cerita ini?
Ketika Dewi
sedang bingung, dia melihat Vivi tampak salah tingkah. Matanya berkeliaran
seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan ketakutan kepergok orang.
“V yah, yang
udah ngadu sama Mama?” dipelototinya Vivi, yang semakin membuat adiknya
semaput.
“Nggak kok… V
nggak bilang sama Mama.”
“Bohong! Kalau
bukan V siapa lagi? Emangnya Mama tahu dari angin?!” bentaknya.
“V nggak
bilang, Mama lihat photo teh Uwi waktu berduaan sama A Edwin, karena Mama tanya
jadi V jawab, teh Uwi kan nyuruh V jangan ngadu sama Mama bukannya jangan jawab
pertanyaan Mama.”
Dewi mendecak
kesal. Vivi emang nggak salah. Mama yang tidak sengaja melihat photo-nya dan
bertanya, Vivi tidak berani untuk tidak menjawab pertanyaan Ibunya.
“Jangan salahin
adikmu, Wi, Mama nggak marah kok kalau kamu pacaran, kapan Mama pernah melarang
kamu pacaran?”
Dewi hanya
diam tertunduk.
Mama memang
tidak pernah melarang, Mama hanya pernah bilang, “Sebaiknya kamu selesaikan
dulu kuliahmu”, dan bagi Dewi kalimat itu terdengar seperti, “Kamu jangan
pacaran sebelum kuliahmu selesai”.
“Asal kamu
tahu batas saja. Denger, Wi,
setiap perempuan punya kehormatan dan hanya perempuan baik-baiklah yang selalu
menjaga kehormatannya, kamu ngerti kan?
Jangan kecewakan Mama, Wi.”
“Uwi ngerti,
Ma.” Dewi mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia akan membuat Ibunya kecewa.
Ibu yang sudah membesarkan dia dan adiknya seorang diri selama tujuh tahun ini.
“Edwin baik kok, kita nggak pernah macem-macem, Mama percaya aja sama Uwi.”
“Mama percaya
kok, mama hanya minta Uwi jaga kepercayaan Mama.” Digenggamnya jemari putrinya.
Memang susah menjaga anak perempuan, apalagi kalau anak perempuannya jauh dari
orang tua. Perasaan was-was sering kali menghantui. “Tapi, kapan-kapan kamu
bawa dong pacar kamu kesini, siapa namanya?”
“Edwin, Ma.” Dewi
menyahut masih dengan tertunduk.
“Iya, Edwin.
Ganteng juga yah, kalau Mama seumur dia mungkin Mama juga bisa naksir, tapi
siapa tahu Edwin demen tante-tante, hi..hi.. jadi saingan ama anak dong.”
Membelalak
mata Dewi mendengar selorohan Ibunya. Tidak disangkanya Mama akan berkata seperti
itu, Mama emang janda tapi jangan menyukai anak kuliah dong! Apalagi sampai
saingan sama anak sendiri, malu-maluin aja.
“Emangnya Oom
Shidiq mau dikemanain!” Tukas Dewi.
“Mama
bercanda, Mama cuma mau Oom Shidiq kok yang gantiin almarhum Papa kalian, lagian
Mama juga nggak suka berondong, tenang aja.”
“Ya udah, aku
duluan, Ma, aku janji nanti bakal bawa Edwin kesini.”
Dewi beranjak
dari kursi makan sambil membawa piring dan gelas bekas makan malamnya ke dapur,
kemudian dia segera berlari meniti tangga menuju kamarnya.
Dewi senang
bukan kepalang mendengar Mama tidak melarangnya pacaran dengan Edwin, saking
senangnya sampai dia tak sabar ingin joget-joget melampiaskan kegembiraannya.
Hatinya sedang
berbunga-bunga, dewa cupid sudah melesakkan anak panah ke jantungnya. Cintanya
dengan Edwin tidak ada yang menghalangi. Kalau tahu begitu, untuk apa dia
rahasiakan Edwin dari Mama selama ini sampai menyuruh Vivi jangan mengadu.
Tapi saat
kata-kata Mama terngiang kembali ditelinganya, Dewi terhenyak. Kalau ternyata
Edwin beneran suka tante-tante gimana? Masa saingan sama Ibu sendiri sih? Aaah…
tidak!
*
Hari minggu,
hari yang pas untuk mengenalkan Edwin pada Mama tercinta, karena hanya pada
hari minggu Mama ada di rumah dan Dewi pulang ke Rangkasbitung. Dan hari ini
memang hari yang benar-benar pas, kebetulan Om Shidiq, duda tiga anak yang
bekerja di Jakarta itu, berencana berkunjung ke rumah untuk memperkenalkan
anak-anaknya. Hem… kalau Mama dan Om Shidiq menikah, berarti rumah bakal
semakin ramai, dengan dihuni tujuh orang.
Seingat Dewi,
Om Shidiq berasal dari Serang, beliau memang bekerja di Jakarta tapi ketiga anaknya tinggal di Serang
bersama Neneknya. Meski ketiga anak Om Shidiq tinggal di Serang, tapi nggak
pernah sekalipun Dewi bertemu mereka. Om Shidiq pernah bilang anaknya juga ada
yang kuliah di kampus yang sama dengannya tapi Dewi belum pernah mencari tahu.
Jam 10 tepat,
Edwin sudah tiba dengan motor sport kesayangannya. Mama menyambut kedatangan
pacar anaknya dengan terbuka. Dewi bersyukur karena Mama tidak cerewet pada
Edwin, tampaknya Mama setuju saja dengan hubungan mereka.
Dewi jadi
teringat cerita-cerita novel, biasanya saat anak perempuan memperkenalkan
pacarnya pada orang tua, yang paling galak itu kan seorang Ayah sementara sang
Ibu akan terima-terima saja, lalu jika almarhum Ayahnya masih hidup mungkinkah
Papa akan bertindak seperti dalam cerita-cerita Papa yang berlebel “awas Papa
galak” atau mungkin Ayah tirinya yang seperti itu? Tapi Dewi yakin baik Papa
maupun Ayah tirinya tidak akan seperti itu.
“Ma, Om Shidiq
udah datang!” teriak Vivi gembira ketika dia melihat mobil Om Shidiq sudah
parkir di depan rumah mereka.
“Om Shidiq?” tanya Edwin bingung. Sementara itu Mama
menyambut calon suami dan calon anak-anaknya diluar.
“Calon Papa
tiri aku, aku belum pernah cerita yah?” Edwin menggeleng dengan muka masih
bengong. “Waktu Mama datang ke seminar apa gitu, pembicaranya itu Om Shidiq,
katanya karena Mama ditempat seminar itu kritis, Om Shidiq jadi tertarik gitu,
konyol yah? Aku pikir, Mama kan udah tujuh tahun jadi janda, waktu Mama bilang
mau menikah lagi ya udah kita sih setuju aja, apalagi Om Shidiq itu baik dan
sudah seperti Papa buat aku dan V, dan hari ini Om Shidiq bawa anak-anaknya
buat kenalin sama kita, baru setelah itu bakal ada acara lamaran.”
Wajah
keheranan Edwin masih tidak berubah. Dia seperti menyimpan sebuah pertanyaan
tapi tidak jadi dia sampaikan, sampai kemudian keluarga Om Shidiq masuk ke
dalam.
“Edwin? Lagi
apa disini?” tanya Om Shidiq saat Dewi akan mengenalkan kekasihnya pada calon
Ayah tirinya.
“Aa.” Edwin
menyahut dengan wajah memalu.
“Eh, kalian
udah pada kenal?” tanya Ibu Fitri heran. Dewi pun ikut heran, lebih-lebih lagi
saat diantara keluarga yang dibawa Om Shidiq ternyata ada Ryan juga.
“Mang Edwin,
lagi kencan yah?” tanya Ryan jenaka. Biasanya juga Ryan memanggil Edwin dengan
sebutan nama saja, tapi sekarang tiba-tiba dia memanggil Mamang.
“Emm… Wi, ini
A Shidiq, dia kakak pertama aku.”
“Kakak?” mata
Dewi membelalak tidak percaya. “Kok bisa? Trus Ryan?” Dewi kali ini menatap
Ryan. Edwin jadi tidak tega melihat Dewi dan Ibunya keheranan.
“Maaf aku
belum cerita, Wi, aku ama Ryan emang seumur tapi Ryan sebenarnya keponakan aku,
dia anak pertama A Shidiq, usia aku ama Aa emang sangat jauh, dua puluh dua
tahun, anak Ibu aku ada delapan, aku anak bungsu lalu sewaktu Ibu melahirkan
aku hanya selang beberapa bulan istri Aa melahirkan Ryan, aku nggak tahu kalau
Mama kamu bakal menikah dengan Kakak aku.”
Dewi masih
termangu. Jadi intinya adalah calon Ayah tirinya yang dia harapkan akan menjadi
calon kakak iparnya kelak? Dan itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Lalu si
comblang akan menjadi adik tirinya. Ibu Edwin ternyata perempuan zaman dulu
yang bisa melahirkan sampai delapan anak. Yang mungkin belum mengenal semboyan
KB “dua anak lebih baik”.
“Waah…
ternyata batal deh jadi calon mantu, ya udah jadi adik ipar saja ya?” Ibu Fitri
merangkul bahu Edwin, memperlakukannya seperti adik ipar.
Ingin sekali
Dewi menangis dengan kenyataan ini, tidak pernah disangkanya kalau kekasihnya akan
menjadi pamannya kelak. Bagaimana mungkin Ibunya menikah dengan sang Kakak lalu
anaknya pacaran dengan sang adik??
“Tidaaaak…..!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar