“Dea, aku suka
kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”
Tertegun Dea
mendapat pernyataan cinta mendadak dari Dion.
Mata Dea
membelalak dengan mulut menganga, saking kagetnya. Baru saja dia keluar dari
kelasnya dan pikirannya masih mumet gara-gara test matematika yang baru
dihadapinya, tiba-tiba cowok berbadan gempal dari kelas sebelah ini malah
menyatakan cintanya. Dan Dea hanya bisa terdiam mematung.
Teman-teman Dea
ber-huu ria menggoda. Nina dan Shinta yang berdiri di samping Dea menyenggol
lengan Dea. Tapi Dea masih tidak bereaksi, jiwanya seperti melayang dari
raganya.
“Dea.” Dion
mencoba menyadarkan Dea dari lamunannya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku.”
“Aku nggak
mau!” Dea berteriak histeris dan lari tunggang langgang, seperti dia baru saja
ditagih hutang dan dia nggak mau bayar.
Mereka
tertegun melihat reaksi Dea yang diluar dugaan itu.
Kalau mau
menolak, kenapa Dea sampai lari terbirit-birit begitu? Padahal Dion merasa dia
tidak berbuat salah. Dia hanya menyatakan cinta dan ingin menjadi pacar Dea, apakah
itu salah?
***
Boy heran
melihat adiknya yang muncul dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah.
Sebagai kakak tentu saja Boy khawatir, dia tidak mau terjadi apa-apa pada adik
kecilnya ini.
“Dea, kamu
kenapa?”
“Nggak. Aku
baik-baik aja.” Dea menggeleng kencang sambil dia naik ke boncengan motor
abangnya, tapi nafas Dea yang masih belum teratur membuat Boy makin curiga.
“Bohong! Pasti
ada yang kamu sembunyiin kan,
ayo bilang sama kakak?”
“Aku nggak
apa-apa, kak!” suara Dea tiba-tiba agak meninggi. “Kalau aku bilang nggak
apa-apa ya nggak apa-apa, udah sih jalan aja.”
“Turun!” Boy
menukas. Dea hanya terdiam, dia sadar Kakaknya marah. “Kamu pikir Kakak ini
tukang ojeg apa, enak aja kamu bentak Kakak kaya begitu.”
“Maaf, kak.” Dea
tertunduk.
Boy lalu
menstater motor sport-nya. Ketika motor sport itu meluncur meninggalkan halaman
sekolah Dea, Dion muncul bermaksud ingin meminta maaf pada Dea.
***
Sikap Dea
semakin mengherankan ketika mereka tiba di rumah. Dea tidak langsung mencari
Mama seperti biasanya, memberikan pelukan lalu menceritakan tentang sekolahnya,
dia malah langsung menuju kamarnya di lantai atas. Mama yang dari dapur sudah
terburu-buru keluar untuk menyambut putrinya jadi tertegun heran.
“Dea kenapa, Boy?”
Si sulung
mengangkat bahu.
“Waktu aku
jemput juga, tingkah dia udah aneh, masa tadi aku dibentak.”
“Dea bentak
kamu?” Mama merasa sangsi.
Mama merasa
sangsi bukan karena mengira Boy berbohong tapi lebih karena sikap tidak biasa Dea.
“Iya, aku juga
tadi kaget, Ma. Masa aku cuma tanya, dia malah bentak aku.”
“Ya udah, biar
Mama temui dia dulu, kamu kalau mau makan sudah Mama siapkan, tapi ganti baju
dulu.” Mama lalu melangkah meniti anak tangga menuju kamar Dea. “Dea.” Di depan
kamar Dea, Mama mengetuk pintu.
“Masuk, Ma,
nggak dikunci.”
Setelah
mendapat izin dari si empunya kamar, Mama lalu membuka pintu kamar bernuansa
pink itu. Dihampirinya putrinya yang sedang duduk di depan cermin, seragam
biru-putihnya belum sempat dia ganti. Tas dan sepatu juga masih berserakan
dilantai.
“Ada apa anak Mama, kok
hari ini sikapnya aneh?”
“Nggak ada
apa-apa, Ma.” Dea menyahut pelan. Tidak mungkin dia beritahukan pada Mama atau Boy
mengenai kejadian di sekolah tadi.
“Bener nggak
ada apa-apa?”
“Bener, Ma,
nggak ada apa-apa.”
“Kalau nggak
ada apa-apa, kok sikap Dea sekarang aneh sih? Pulang sekolah langsung pergi ke
kamar, biasanya Dea langsung pergi ke dapur cari makan, trus tadi katanya kak Boy
kamu bentak, memangnya kenapa?”
“Aah…, kak Boy
tukang ngadu, kan
aku juga tadi udah minta maaf.”
“Eh, kak Boy
ngadu karena dia khawatir sama kamu, Dea. Kamu ditanya malah bentak kak Boy,
gimana kak Boy nggak bakal ngerasa heran dan khawatir sama sikap kamu.”
“Dea baik-baik
aja kok, Ma, suer deh, kalau ada apa-apa Dea pasti bakal bilang sama Mama.”
Kalau aku bisa ceritanya sama Mama itu juga.
“Bener yah,
kalau ada apa-apa kamu cerita sama Mama.”
Dea mengangguk
meyakinkan Ibunya kalau dia baik-baik saja.
Setelah Ibunya
pergi, Dea beranjak dari tempat duduknya lalu menjatuhkan tubuhnya keatas
tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang telah dilukis ayahnya
dengan langit malam berhiaskan bintang. Meski matanya memandangi langit kamar
tapi saat ini pikiran Dea menerawang mengingat kejadian siang tadi di sekolah.
Kenapa sih Dion
malah nembak dia? Padahal banyak cewek yang menyukai si ketua osis itu, tapi
kenapa Dion malah memilihnya? Lagipula Dea masih belum mengerti apa artinya
cinta, baginya semua cowok sama saja. Dia sayang Dion seperti juga dia
menyayangi teman-temannya, tidak ada yang istimewa.
Teman-temannya
sampai sering meledek Dea belum dewasa lah, hormonnya tidak normal lah, karena
di usianya yang sudah empat belas tahun, Dea belum pernah jatuh cinta.
Memangnya apa sih pentingnya jatuh cinta?
Pacaran? Kan
masih anak kecil. Dea bergumam. Guru-guru dan orang tua aja malah melarang
kita pacaran, trus ngapain harus bantah perintah guru dan orang tua?
***
“Kak Hanna, jatuh cinta itu seperti apa sih
rasanya?”
Hanna tertegun
mendapat pertanyaan dari adik bungsunya. Malam-malam Dea menggedor-gedor pintu
kamarnya hanya sekedar menanyakan seperti apa rasanya jatuh cinta?
Dia jadi
bingung jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan pada adiknya? Hanna tidak
pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari adiknya, apalagi
tengah malam begini. Kalau tidak salah saat dia seumur Dea, dia tidak pernah
menanyakan apa rasanya cinta, semua mengalir begitu saja.
“Jatuh cinta
itu….” Hanna melipat tangan didekat dadanya. “Rasanya seperti apa ya?” Kali ini
dia menggerak-gerakkan kakinya lalu mengetuk-ketuk pelipis dengan jarinya.
“Coklat. Iya, rasanya seperti coklat dan indah seperti pelangi.”
Kali ini
giliran Dea yang tertegun. Jatuh cinta itu rasanya seperti coklat? Emangnya
bisa dimakan yah? Atau hanya bisa dipandang seperti Pelangi? Dea semakin
bingung.
“Udah…, ah.
Udah malem juga tanya-tanya yang begituan lagi, besok aja tanya sama Mama.”
Hanna menutup pintu kamarnya tanpa memberi kesempatan Dea kembali bertanya.
Dea makin
bingung. Padahal dia sudah memberanikan diri bertanya pada kakak perempuannya
yang dia anggap sudah mengerti, karena sudah SMA, ternyata Hanna malah kasih
jawaban yang bikin dia tambah bingung.
Kakaknya malah
menyuruhnya tanya Mama. Kalau dia berani juga, dari kemarin siang sudah ditanyakannya
sama Mama. Dea merasa malu dan takut, kalau Mama marah gimana? Atau Mama malah
menggodanya seperti teman-temannya.
Tanya sama kak
Boy juga rasanya nggak mungkin. Terbayang olehnya, kak Boy pasti akan berkata
dengan galak, “Jangan! Kamu nggak boleh pacaran! Kamu tuh anak ingusan, anak
bau kencur, nggak boleh jatuh cinta.”
“Hauf…” Dea
mendesah.
Gara-gara
pernyataan cinta Dion kemarin, dia jadi nggak bisa tidur semalaman, memikirkan
apa rasanya jatuh cinta. Untung saja hari ini hari minggu, jadi dia nggak perlu
ke sekolah dan nggak perlu ketemu Dion.
Dentang jam
berbunyi satu kali saat Dea kembali ke kamarnya, sontak Dea terkejut.
Ya Tuhan! Sudah jam satu malam, hari minggu kan biasanya dia datang!
Aduh… aku nggak boleh kelihatan pucat gara-gara kurang tidur nih.
Bergegas Dea
melompat ke atas tempat tidurnya.
***
Hari minggu.
Hari yang sangat indah. Sangat…sangaaaat indah buat Dea. Karena hari minggu
akan ada seseorang yang datang. Pagi-pagi sekali Dea sudah bangun untuk
melakukan jogging keliling kompleks perumahan yang terletak di belakang kampus
Untirta, biarpun mata masih setengah mengantuk tapi Dea memaksakan diri untuk
jogging.
Sehabis
jogging selama satu jam, Dea pergi ke dapur menggoreng kripik singkong. Dia kan suka banget sama kripik singkong buatannya, dan untuk
menu makan siang, akan dibuatkannya sop daging sapi dan tempe goreng. Hem, dia kan
suka banget sama tempe
goreng.
Dea menengok
kulkas. Semua bahan yang dibutuhkannya sudah tersedia. Senyumnya pun
terkembang. Saatnya dia sibuk didapur.
***
Perfect. Dea tersenyum puas. Kripik
singkong sudah siap, menu makan siang juga sudah terhidang di meja.
“Dea, kamu
masak buat Papa yah, kebetulan sekali sudah waktunya makan siang, Papa sudah
lapar nih.”
“Eh, bukan.
Buat Papa ada kok, udah Dea siapin, Dea simpen di lemari.”
“Trus ini buat
siapa?”
“Buat… buat…”
“Pasti buat Dian, Pa.”
tiba-tiba Hanna muncul.
“Dian?” dahi
Papa berkerut. “Dian temennya Boy? Guru private matematika Dea itu? Kamu suka
Dian, De?” Dea terdiam mendengar tebakan Papanya. “Apa nggak terlalu tua, Dian kan udah kuliah.”
“Tahu tuh, Pa,
genit. Semalem aja tengah malam dia gedor-gedor pintu kamar aku buat tanya
rasanya jatuh cinta, ngapain coba tanya-tanya kayak begitu.”
“Loh, bukannya
kamu pacaran sama adiknya? Ituloh si ndut Dion.” Mama yang sedang ada di dapur
ikutan nimbrung.
“Mama tahu
darimana?” tanya Papa.
“Kemarin
pulang sekolah tiba-tiba Dea langsung mengurung diri sampai sore, Mama khawatir
trus Mama telepon Nina, kata Nina, Dea ditembak Dion tapi dia nolak sambil lari
kocar-kacir kayak dikejar penagih utang.”
Sontak Papa
dan Hanna tertawa mendengar penjelasan Mama. Sementara itu, Dea hanya bisa
cemberut.
“Papa nggak
ngelarang kok Dea pacaran, tapi harus tahu batas, jangan ngelakuin hal yang
macam-macam.”
“Tapi Dea
nggak suka Dion, Pa.” tukas Dea kemudian. Dia merasa sebal
tiba-tiba saja orang tua dan saudaranya menyinggung Dion, padahal dia sedang
tidak ingin mengingat Dion. “Dion tukang makan, udah gitu Dion jahat, masa
kemarin Dea jatuh waktu olahraga malah diketawain bukannya ditolongin.”
“Tapi
ngomong-ngomong Dian kemana yah? Kok sudah jam sebelas belum datang juga?
Bukannya belajar private Dea itu jam sepuluh?” cetus Ibunya.
***
Dea memerhatikan
lampu merah yang belum berubah dengan perasaan cemas. Padahal tujuannya hanya
ke kompleks Ciceri Permai tempat tinggal Dian, yang hanya diperlukan waktu
tempuh kurang lebih setengah jam. Tapi kenapa setengah jam kali ini terasa
sangat lama? Sup yang sudah dimasaknya sejak tadi pasti sudah dingin.
Ketika mereka
sedang membicarakan Dian tadi, yang datang malah telepon dari Dion yang
mengabarkan guru private Dea baru saja mengalami kecelakaan saat akan menuju
kerumahnya, jadi dia tidak bisa mengajar hari minggu ini.
Dea tentu saja
panik, meski Dion mengatakan abangnya tidak mengalami luka parah dan sedang
beristirahat di rumah tapi Dea tetap saja cemas. Dengan izin dari Mama dan
Papa, Dea pergi ke rumah Dian untuk menjenguknya. Tidak lupa dibawanya sup dan
kripik singkong buatannya.
***
“Dea, ngapain
kamu kesini?” Dian terkejut saat melihat kedatangan Dea di rumahnya.
Dea hanya
tertegun ketika melihat Dian. Tiba-tiba saja dia jadi bingung mau melakukan
apa. Saat matanya menatap mata elang Dian yang terasa teduh, Dea jadi
speechless.
“Kak Dian
nggak apa-apa?” Akhirnya Dea bisa mengeluarkan suaranya setelah dia
mengumpulkan kekuatannya.
“Nggak apa-apa
kok, De, cuma luka kecil, lecet ini juga karena nggak pakai jaket, habis karena
kakak bangun kesiangan jadinya buru-buru trus lupa pake jaket, di lampu merah
dekat Carrefour motor kakak diserempet, tadinya Kakak mau tetap ke rumah Dea,
tapi Dion ngelarang. Eh, masuk yuk, De.”
Dea masuk
setelah dipersilahkan.
Hatinya
berdebar-debar saat memasuki ruang tamu rumah Dian, padahal ini bukan untuk
pertama kalinya dia memasuki rumah Dian. Dia sering datang ke rumah ini untuk
belajar bersama bareng Dion dan teman-temannya yang lain, tapi memang ini
pertama kalinya dia datang untuk menemui Dian.
Rumah itu
tampak sepi, Dea jadi bertanya-tanya sendiri, kemana kedua orang tua Dian di
hari minggu cerah seperti ini. Apa mungkin sedang beristirahat. Mata Dea lalu
melirik jalan tak berpintu menuju ruang dalam, sambil dalam hati berharap
semoga si gembul tidak muncul.
“Dion ada di
dalam, mau Kakak panggilkan?”
“Nggak usah,
Kak, aku kesini kan
buat nengok Kak Dian. Aku bawain sop sama kripik singkong nih, aku harap Kakak
belum makan.”
“Ya ampun…
jadi ngerepotin, padahal nggak usah pakai nengok segala, kakak nggak apa-apa
kok, besok juga udah bisa kuliah lagi.” Ujarnya tapi sambil tangannya membuka
toples keripik lalu mencicipinya. “Dea, tumben keripiknya asin banget.”
“Ah, masa
sih?” terkejut Dea mendengarnya. Dia lalu mengambil sepotong kecil keripiknya
dan benar ternyata terlalu asin.
“Bikinnya
sambil ngelamunin Dion yah? Duh… yang baru jadian, selamat ya.”
“Siapa yang
bilang?” Dea terkejut.
“Loh emangnya
nggak gitu? Kemarin Dion bilang kalian baru jadian.”
Dea nyengir.
Dasar Dion nyebarin gossip yang nggak-nggak,
awas kamu!
“Aku aja nggak
tahu jatuh cinta itu apa, tanya sama kak Hanna, katanya seperti makan coklat
dan lihat pelangi.”
Dian tertawa
mendengarnya. Dasar Hanna, tega sekali dia membuat adiknya bingung.
“Maksud kak
Hanna mungkin begini, karena cinta itu kadang rasanya manis tapi kadang juga
pahit seperti coklat, Dea tahu kan
aslinya coklat itu pahit. Tapi cinta juga indah seperti pelangi,
berwarna-warni, kamu nggak perlu tanya seperti apa rasanya cinta karena
pertanyaan itu emang nggak bisa dijawab cinta cuma bisa dirasain, perasaan itu
bakal datang dengan sendirinya, suatu hari kamu bakal ngerasain yang namanya
jatuh cinta, waktu kamu nggak bisa tidur karena terbayang terus cowok yang kamu
suka, waktu kamu ngerasa senang saat ketemu dia, atau merasa cemas kalau kamu
nggak dengar kabarnya.”
“Aku pernah
ngerasain perasaan kayak begitu.”
“Oya? Sama
siapa?”
“Sama kak
Dian.” Tertegun Dian mendengar pengakuan Dea. “Kalau aku ketemu kak Dian pasti
aku merasa senang, tiap hari rasanya pengen hari minggu terus, nunggu hari
minggu itu buat aku kayak nunggu tahun baru, lama banget, kalau kak Dian nggak
dateng atau telat aku jadi kuatir takutnya ada apa-apa, setiap berdua sama
kakak rasanya nafasku sesak, jantungku terus berdetak kencang, aku lebih senang
ketemu kak Dian daripada ketemu Dion, apa itu yang namanya jatuh cinta?”
Dian diam seribu
bahasa, dia tidak menyangka muridnya akan menyatakan cinta seperti ini.
Haruskah dia merasa senang. Dian memang menyayangi Dea tapi tentu saja sebagai
adik, karena Dea adik sahabatnya juga teman adiknya, apalagi adiknya menyukai
Dea, tidak mungkin dia merebut pujaan hati adik sendiri, tapi untuk menyakiti
hati Dea, Dian juga tidak sanggup. Terlebih ketika dia melihat ada cinta
bersinar di matanya. Murni. Tulus. Polos. Tidak dibuat-buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar