Welcome

Welcome

Sabtu, 20 Juni 2015

Dosa Yang Terlupakan



Wajahnya memang tidak terlalu cantik, biasa saja, layaknya gadis dari desa, lugu dan sederhana bahkan kakinya pun pincang, tapi yang menjadi pesona Lia, dia memiliki inner beauty. Dia hormat pada orang tua, sopan pada sesama dan sayang pada anak-anak sehingga Lia disukai banyak orang. Lia sulung dari lima bersaudara, terlahir dari keluarga yang miskin dan dia rajin membantu orang tuanya mencari nafkah. Lia menjadi anak kebanggan kedua orang tuanya dan menjadi Kakak yang paling disayangi oleh adik-adiknya.

Karena inner beauty yang dimiliki Lia, dia pun dikenal banyak orang dan menjadi kembang desa bahkan sampai mengalahkan gadis yang paling cantik di desa itu. Banyak pria yang tertarik pada Lia, yang seumuran atau yang lebih tua sekalipun, yang bujang, duda bahkan yang beristri juga ada yang berminat ingin menyunting Lia. Tapi Lia hanyalah gadis berusia lima belas tahun yang masih polos, dia tidak terlalu menanggapi sinyal cinta yang disampaikan pria itu baik secara diam-diam ataupun langsung berterus-terang. Karena yang ada dalam benak Lia hanya satu, ingin membantu meringankan beban orang tuanya, dia ingin adik-adiknya menikmati bangku sekolah hingga tamat SMA, tidak seperti dirinya yang hanya sampai mengecap bangku SMP saja.

Untuk membantu orang tuanya mencari nafkah, Lia biasa bekerja sebagai buruh cuci. Setiap hari dia mendatangi rumah-rumah tetangganya untuk mencucikan pakaian mereka dengan upah yang seiklhasnya saja. Jika rumah yang didatanginya baik, biasanya dia mendapat upah lebih bahkan sampai membawa pulang makanan yang bisa dia beri pada adik-adiknya, tapi kalau rumah yang didatanginya biasa saja terkadang dia dibayar kurang dari banyaknya cucian yang harus kerjakannya. Tetapi meski demikian Lia tetap mensyukuri pendapatannya dan tetap tersenyum walau peluh berhasil membuat wajahnya tampak kusam. Itulah yang membuat Lia disukai banyak orang.

Diantara orang-orang yang menyukai Lia, satu diantaranya merupakan oknum pelindung masyarakat, tetapi seperti halnya terhadap pria lain, Lia juga tidak menanggapi perasaan pria itu. Bukannya Lia bermaksud sombong dengan tidak menanggapi perasaan sang pria yang sangat berkeinginan menyuntingnya itu, tapi Lia tentu harus menghormati istrinya. Ya, pria itu memang telah beristri dan memiliki anak, tapi oknum pelindung masyarakat itu dikenal mata keranjang. Dia senang menggoda anak gadis, apalagi yang seranum Lia.

Karena dia sudah memiliki istri itulah makanya Lia tidak memerdulikannya, Lia lebih menanggapi perhatian Putra, karyawan bengkel yang baik hatinya, yang sering membantu menjaga adik-adiknya bila dia sedang luang, yang kadang-kadang memberi adiknya uang jajan bila dia memiliki rejeki lebih, yang selalu membawakan martabak untuk Ayah dan Ibunya kalau ingin mengajak Lia jalan-jalan. Pemberian Putra memang tidak seistimewa pemberian Pak Gofur, tapi Lia lebih menghargai ketulusan Putra. Walaupun hanya karyawan bengkel kecil yang memiliki gaji pas-pasan tapi Putra pria istimewa dimata Lia. Selain itu Putra juga masih bujang.

Tapi Lia tidak sadar sikapnya yang cuek terhadap oknum pelindung masyarakat itu malah membuat sang pelindung masyarakat kesal padanya. Lia dianggapnya terlalu sombong dan jual mahal.
“Kiranya siapa dia, berani sekali cueki aku, cih!” Pak Gofur membuang ludahnya dengan geram ketika dia melihat Lia sedang jalan dengan Putra sambil bersenda gurau.
“Sudahlah, Pak Gofur, jangan diambil hati, diakan masih kanak-kanak,” ujar Pak Damar yang mengerti sekali perasaan Pak Gofur.
“Apa dia tidak tahu siapa aku?” Dengan sombongnya Pak Gofur menepuk dadanya. “Aku ini pria yang paling dihormati di desa ini, tapi anak baru kemarin sore itu malah berani sekali menghinaku! Dia tidak pernah menanggapi pemberianku dan sekarang dia jalan dengan si pegawai bengkel miskin itu!”
“Namanya juga anak muda, Pak, jangan terlalu diambil hati, biar nanti saya nasehati dia.” Pak Damar menganggap anak muda jalan berdua itu sudah biasa, asal mereka tidak melakukan hal yang tidak-tidak saja. Tapi meski Pak Damar berusaha menenangkan hati Pak Gofur, tetap saja hatinya yang sudah terbakar api cemburu terlalu sulit untuk ditenangkan.

Semua orang tahu Pak Gofur sudah memiliki istri dan anak, tapi mereka juga tahu Pak Gofur tertarik pada Lia. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menghalangi hasrat Pak Gofur untuk meminang Lia, karena kedudukannya sebagai seorang aparat keamanan yang memiliki jabatan, bahkan istrinya pun malah mendukung dan mengatakan rela dimadu bila itu yang diinginkan oleh suaminya.

Tapi tentu saja Lia tidak ingin dimadu, bila menikah dia tidak ingin berbagi suami dengan perempuan lain, sepertinya hanya perempuan yang perlu dipertanyakan psikologinya saja yang rela sang suami membagi cinta. Orang tua Lia juga sebenarnya tak setuju bila anaknya dijadikan madu, tapi dari pada nanti anaknya diracun orang, itu jauh lebih berbahaya kan. Lelaki yang punya kekuasaan, jabatan dan kekayaan memang selalu bisa melakukan apapun yang dia inginkan.

“Nak, Pak Gofur sudah datang lagi untuk menanyakan jawaban lamarannya,” ujar Ayah Lia disuatu sore ketika ia dan anak-anaknya sedang beristirahat untuk menekmati indahnya senja sore yang menghiasi desa mereka.
“Lia kan sudah menjawabnya, Yah, Lia tak mau diperistri Pak Gofur, Lia mencintai Putra.”
“Jangan begitu, Lia, Pak Gofur itu pria yang baik, dia memang sudah berumur dan sudah memiliki istri, tapi dia berjanji pada Ayah akan selalu membahagiakan kamu dan memenuhi semua keinginan kamu.”
“Dia itu bukan hanya sudah beristri, Yah, tapi sudah memiliki anak, anaknya saja hampir seumur dengan Lia, kenapa Lia harus menerima lamaran dia?”
Ayah juga tak ingin kamu menikah dengannya, Nak. Bisik hati Pak Rahmat pilu. Ayah mana yang bersedia putri kesayangannya menjadi istri kedua, tapi sebagai warga yang tidak memiliki apa-apa selain gubug reyot yang sering bocor dikala hujan, Pak Rahmat pun tak mampu melawan kehendak Pak Gofur. Tapi Lia juga punya keinginan sendiri, dia tetap pada keputusannya untuk tidak menerima pinangan aparat itu karena cintanya pada Putra.

Kekesalan Pak Gofur semakin memuncak terhadap Lia yang masih juga menolak lamarannya, dia bersumpah akan membalas penolakan gadis itu. Hingga tiba saat dimana dia mendapatkan kesempatan itu, suatu hari di hari hujan hampir jatuh membasahi bumi Lia datang ke rumah Pak Gofur untuk mencuci pakaian atas perintah istri Pak Gofur karena pembantunya sedang pergi mudik. Kala itu Pak Gofur pun sedang seorang diri di rumah karena istrinya dan anak-anaknya sedang menjenguk Ibunya yang sedang sakit dan tinggal di kota.

Pak Gofur senang ketika Lia datang, karena kesempatannya untuk membalas dendam akhirnya tiba. Disambutnya ramah Lia yang baru datang lalu diapun segera memberikan tugas mencuci itu pada Lia. “Lia, nanti cuciannya jemur saja di dalam, sebentar lagi hujan, pakai mesin cuci ini nggak perlu di jemur diluar juga bisa kering,” perintah Pak Gofur.
“Baik, Pak,” sahut Lia patuh.
“Kalau sudah mencuci, Lia bisa bantu membereskan piring bekas makan dan menyetrika pakaian Bapak Yah, nanti Bapak beri upah lebih.”
“Maaf, Pak, bukannya Lia mau menolak perintah Bapak, tapi habis ini Lia mau menjaga bayi Ibu Eka, Bu Eka sedang sakit, makanya mau minta bantuan Lia untuk menjaga bayinya.”
“Sebentar saja, Lia, hanya satu pakaian saja untuk kerja Bapak besok, piring juga tidak banyak hanya bekas makan Bapak semalam, kalau nunggu sampai istri Bapak pulang lusa, nanti Bapak tidak bisa pergi ke tempat kerja dong.”
“Baiklah kalau begitu, Lia akan bantu.”
Lia pun segera mengerjakan tugas-tugas yang diberikan padanya, sementara itu Pak Gofur menonton televisi di ruang tengah sambil menikmati cerutunya. Lia yang cekatan dapat mengerjakan tugas dengan cepat sampai Pak Gofur pun tak sadar Lia sudah mencuci semua piring kotornya, gadis itu sudah berdiri dihadapannya menanyakan pakaian yang harus dia setrika.
“Oh, seragamnya ada di kamar, Lia, kamu bisa ambil sendiri.” Dengan patuh Lia pergi ke kamar untuk mengambil seragam Pak Gofur yang perlu disetrikanya, tapi diluar dugaannya Pak Gofur ternyata mengikuti langkahnya. Lia baru sadar Pak Gofur berada dibelakangnya setelah terdengar bunyi pintu dikunci.
“Eh, Bapak, bikin kaget Lia saja.” Lia menebah dada. “Tapi kenapa pintunya di kunci, Pak?”
“Sudah ketemu pakaiannya, Lia?” Pak Gofur tidak menjawab pertanyaan Lia.
“I, ini Lia sedang mencarinya.” Lia merasakan firasat tak enak ketika Pak Gofur mendekatinya. “Bapak mau apa? Jangan dekat-dekat nanti Lia bisa teriak.” Belum sempat Lia berteriak petir sudah keburu menggelegar menambah ciut nyali gadis ini. “Bapak mau apa!” teriak Lia saat pria berkumis itu semakin mendekatinya.
“Bapak mau Lia, tapi Lia malah menolak lamaran Bapak”
“Bapak kan sudah punya istri, Lia tidak mau dimadu, Pak.”
“Terus kamu maunya apa? Kamu berharap aku menceraikan istriku, Bapak bisa saja melakukannya asal kamu mau jadi istriku.”
“Biar Bapak menceraikan istri Bapak sekalipun, Lia tetap tidak mau menikah dengan Bapak,” tolak Lia tegas padahal hatinya benar-benar kecut karena terlalu takut.
“Jadi kamu berani menolakku?!” Gelegar suara Pak Gofur yang marah hampir sama kencangnya dengan suara petir tadi membuat Lia semakin ketakutan. “Kamu harus membayarnya karena berani menolakku, Lia.” Kemarahan Pak Gofur semakin mencapai puncak. Dia pun lalu mendekati Lia dan memaksa gadis itu. Lia memberontak mencoba mempertahankan kesuciannya tapi apalah daya kekuatan seorang gadis kecil melawan pria bertubuh besar dan tegap seperti Pak Gofur. Hancurlah sudah benteng pertahanan yang selama ini dijaga baik-baik oleh Lia.


Hari itu Lia pulang ke rumah dibawah guyuran hujan yang sangat deras dan petir menggelegar serta angin lumayan kencang. Hati Lia hancur setelah perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oknum pelindung masyarakat terhadapnya. Gelar, pangkat, jabatan, kekayaan serta kekuasaan telah disalah gunakan oleh Pak Gofur demi memenuhi keinginan bejadnya.

Sesampainya di rumah, Ibu Lia menyambut dengan rupa terkejut. Putrinya muncul dalam keadaan basah kuyup seperti tikus baru saja kecebur got. “Lia, kamu kenapa hujan-hujanan?” tanya Ibunya. Bukan penderitaan Lia yang ditanyakan Ibunya sekarang tapi justru kenapa putrinya berjalan diantara derasnya hujan yang turun karena Ibunya belum tahu apa yang terjadi dengan putrinya dan Lia pun tak punya kekuatan untuk mengatakan kebenarannya.

Sejak kejadian itu Lia tak lagi menjadi Lia yang ceria dan periang seperti biasanya. Dia lebih banyak diam di rumah bahkan enggan keluar kamarnya. Setiap hari dia hanya berbaring diatas tempat tidurnya dan menangis saat di rumahnya sedang tidak ada siapa-siapa. Setiap kali ditanya ada apa Lia tak pernah mau jawab, dia terlalu takut untuk melaporkan perbuatan bejad Pak Gofur. Apalagi pria itu merupakan orang yang paling disegani sebagai aparat keamanan dan sejak itu Pak Gofur sudah tidak gencar lagi mendekatinya, dia malah menjauhi Lia.

Perubahan Lia mengundang tanda-tanya kedua orang tuanya, tapi Lia masih diam seribu bahasa. Dia sama sekali tak punya nyali sampai Lia pun tak sanggup menyembunyikannya lagi karena dia sering muntah di pagi hari dan sang Ibu yang telah memiliki pengalaman lima kali hamil tentu menyadari perubahan yang terjadi pada putrinya. Ayah Lia malah curiga pada Putra yang dekat dengan putrinya.

“Lia, katakan pada Ibu, siapa yang sudah menghamili kamu?” tanya Ibunya lembut saat hari itu Lia masih meringkuk di kamarnya.
“Tidak salah lagi, Ayah bayi haram itu pasti si Putra, biar Ayah seret dia kemari! Dia harus bertanggung jawab!”
“Jangan, Pak,” pinta Lia pilu. “Jangan kasari Putra.”
“Kenapa? Kamu masih membela pria bejad itu! Dimana dia sekarang, kenapa dia masih belum menemuimu? Apa dia takut untuk bertanggung-jawab?” Ayahnya seolah tak tahu bukan Putra yang tidak pernah datang lagi ke rumahnya, melainkan Pak Gofur. Sampai dua hari yang lalu Putra masih mencarinya karena mencemaskan keadaannya.
“Bukan Putra yang melakukannya, Pak,” ujar Lia kemudian. Akhirnya dia memiliki kekuatan untuk membela kebenaran.
“Lantas siapa? Cuma dia kan yang dekat denganmu?”
“Bukan dia, Pak, bukan Putra, Putra pria yang baik.”
“Kalau menurutmu bukan dia, lalu siapa?”
“Pak Gofur. Dia memperkosa Lia ketika Lia bekerja di rumahnya di hari hujan waktu itu, saat istrinya sedang pergi ke kota untuk merawat Ibunya yang sakit,” jelas Lia. Pak Rahmat tentu terkejut mendengar jawaban putrinya, beliau sama sekali tak menyangka pria terhormat itulah yang telah merusak kehormatan putri sulungnya.
“Itu tidak mungkin! Lia, kamu pasti salah, Pak Gofur itu pria terhormat, dia sangat disegani di desa ini, dia tidak mungkin melakukan perbuatan tercela seperti itu, Ayah sama sekali tak percaya.” Lia terkejut mendengar kata-kata Ayahnya, bukannya membela putrinya beliau malah menganggapnya telah berbohong.
“Jadi Ayah lebih percaya Pak Gofur ketimbang anak sendiri?” bela Ibunya. “Lia tak mungkin bohong, Ayah, Ibu ingat hari itu Lia pulang hujan-hujanan, dia kelihatan putus asa sekali, Ibu yakin hari itulah Pak Gofur memperkosa Lia.”
“Ayah tetap tak percaya, kamu jangan asal menuduh orang karena tak suka, Lia, itu sama saja dengan mencemarkan nama baik orang lain, kamu bisa dibui nanti.” Hati Lia semakin pilu mendengar tuduhan tidak beralasan itu. Mengapa Ayahnya malah membela pria bejad itu dan menuduh putrinya mencemarkan nama baik orang lain, padahal dia yang telah mencemarkan kehormatan Lia.

Pak Rahmat putus asa ketika mengetahui putrinya telah dirusak kehormatannya oleh pria yang selalu dihormati orang-orang itu. Beliau bukannya tak percaya pada Lia, putrinya pasti tak akan berbohong, tapi bagaimana bisa melawan orang seperti Pak Gofur? Hanya akan mencari penyakit saja. Ketakutannya selama ini pun akhrinya terjadi, Lia memang tak jadi dimadu tapi dia berhasil diracun oleh Pak Gofur.

Karena merasa tak punya kekuatan Pak Rahmat tak melaporkan perbuatan Pak Gofur kepada yang berwajib, dia terlalu takut menghadapi pria itu, bagaimana kalau dia di somasi oleh pria itu lalu warga desa menyangkanya sebagai warga tak tahu budi. Selama ini Pak Gofur bukan hanya dikenal karena kedudukannya tapi dia juga dikenal suka menolong terutama menolong orang miskin seperti Pak Rahmat. Akhirnya Pak Rahmat pun menelan kepahitan putrinya seorang diri.

Yang paling sakit dengan peristiwa ini tentu saja Lia, perbuatan bejad pria itu malah tidak dilaporkan pada yang berwajib dan dia sekarang sedang mengandung anak dari pria bejad itu. Lia tidak mau hamil, dia tidak mau mengandung anak dari laki-laki yang sudah memperkosanya. Karena kehamilannya itu Lia pun jadi stress, dia selalu menolak kehadiran bayi dalam kandungannya yang berasal dari laki-laki yang amat dibencinya. Kerena penolakannya itu, Lia pun tak pernah mau merawat bayi dalam kandungannya, dia jarang mau makan apalagi memeriksakan kandungannya. Lia malah sering memukuli perutnya sendiri karena terlalu marah pada Ayah bayinya.

Kepedihan Lia semakin bertambah saat perutnya mulai membesar dan warga yang mengetahui kehamilan itu hanya bisa memaki Lia yang dianggapnya telah melakukan perbuatan mesum tanpa mencari tahu apa yang telah terjadi. Putra yang tidak tahu apa-apa jadi ikut terbawa-bawa, hanya karena sebelumnya dia dekat dengan Lia. Kesal dengan apa yang terjadi pada dirinya, Putra pun melampiaskan kemarahannya pada Lia. Apa salahnya sampai dia dibenci warga begini? Mendapat pelampiasan kemarahan laki-laki yang dicintainya hati Lia pun semakin hancur.

Lia sakit dan tidak ada yang membantunya, gadis yang selalu membantu kesulitan warga dengan tenaganya itu dan tetap tersenyum meski bantuannya hanya dibayar seadanya kini mulai mengalami depresi. Peristiwa yang menimpa dirinya, kehamilan yang tidak diinginkannya, penolakan Ayahnya yang menganggap Lia telah mencemarkan nama baik orang dan kemarahan laki-laki yang dicintainya semakin menambah beban pikirannya.


Lia pun jadi sering melamun, sering marah-marah pada siapapun yang ada didepannya. Terutama dia sering memukuli perutnya sendiri, Lia bahkan pernah mengonsumsi kunyit yang dicampur lada hitam untuk menggugurkan kandungannya dan segala macam obat-obatan, tapi si jabang bayi masih tetap hidup dalam rahimnya. Adik-adik Lia hanya bisa menangisi keadaan Kakaknya yang sekarang seperti telah kehilangan kesadaran itu. Ibunya yang masih mengasihi putrinya pun tak dapat melakukan apa-apa, bagaimana bisa mengobati Lia, untuk makan saja mereka tak punya biaya. Tapi si oknum aparat itu malah pergi dari desa dengan alasan tugas.

Kemudian tiba saatnya Lia melahirkan, dukun beranak pun didatangkan untuk membantu persalinan Lia. Selama persalinan Lia terus berteriak-teriak kesakitan, sebagai seorang Ibu yang tak pernah meninggalkan putrinya barang sedetik pun tentu saja menemani putrinya yang menjalani persalinan. Satu jam berjuang antara hidup dan mati, Lia pun melahirkan tapi yang mengejutkan bayi yang dilahirkan Lia tidak punya tangan. Dukun beranak itu hanya menerka anak Lia cacat karena kena kutuk atas perbuatan mesum yang dilakukan Lia. Tapi Ibu Lia tentu mengetahui kecacatan cucunya karena penolakan yang selama ini dilakukan oleh Ibunya.

Kecacatan putranya membuat penolakan Lia semakin menjadi, dia tidak mau mengakui anak itu juga tidak mau menyusuinya. Meski dibujuk sekalipun, Lia tetap tak ingin melakukannya. Karena terlalu membenci Ayah anaknya dan tidak dapat menerima kenyataan yang menimpanya, Lia bahkan sampai berencana merebus anaknya sendiri andai saja ketika itu Ibunya tidak memergokinya dan segera menyelamatkan cucunya. Lia benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Suatu hari Lia pun pergi dari rumah dan tidak pernah diketahui jejaknya oleh kedua orang tuanya. Mereka mencoba mencari Lia kemana-mana tapi hingga bertahun-tahun Lia tak diketahui keberadaannya. Mereka tak cukup punya uang untuk membuat iklan atau menyebarkan selebaran photo Lia. Mereka hanya bisa pasrah menunggu bantuan tangan Tuhan untuk mengembalikan putri mereka dan membesarkan cucu yang baru dilahirkan itu.

(Cerita ini terinspirasi dari seorang gadis cantik bernama Lia, dia datang ke kotaku ketika aku masih duduk dibangku SMP, dia terlantar dan dikenal gila oleh warga, ketika dia baru datang, dia masih bisa ditanya dan mengaku telah diperkosa sampai hamil oleh seorang oknum aparat, tapi sekarang kesadaran Lia sudah benar-benar hilang, dia berantakan dan benar-benar tak terurus, tak ada keluarga yang mengakuinya karena tidak ada yang mengetahui dari mana dia berasal, tapi satu yang menjadi ciri khasnya dia selalu memaki oknum aparat yang ditemuinya, saat dia sedang berjalan-jalan dia pun menyempatkan berhenti di kantor polisi untuk memaki para polisi dengan mengatakan bahwa polisi itu telah menghamilinya dan tidak bertanggung-jawab).

Rangkasbitung, 21 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar