Ketika aku
tengah asik duduk di balkon lantai atas sambil membaca dan menikmati semilir
angin sejuk usai hujan yang membasuh kota
Serang, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan kehadiran Dina yang sudah berdiri
di sampingku.
Astaga! Kapan
anak itu datang? Aku sama sekali tidak menyadarinya. Tahu-tahu saja dia sudah
ada disini seperti hantu. Tapi melihat wajahnya yang tampak jemu, aku tahu apa
yang ingin dibicarakannya. Panji pasti sudah menceritakan dengan gamblang
kejadian semalam.
“Fani, mau
sampai kapan kamu buat Panji terus menunggu?” Dina terlihat sudah jengkel
dengan sikapku yang lagi-lagi menolak Panji.
Ini memang
sudah ketiga kalinya Panji menyatakan cinta tapi lagi-lagi aku tolak. Lagian
salah sendiri kenapa masih keukeuh aja bilang cinta padahal dari pertama kali
Panji bilang cinta aku sudah bilang, “Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari
sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta
lagi.” Eh, dia masih saja bilang cinta buat yang kedua dan sekarang ketiga
kalinya. Emangnya aku sendiri nggak bosan dengarnya?
“Buat apa sih
kamu masih menanyakan soal itu.”
“Aku tuh kesel
sama kamu, Stefanie. Aku udah usaha apa aja biar kamu bisa jadian sama Panji
tapi kamu ogah-ogahan.”
“Siapa yang
nyuruh coba? Aku nggak pernah suruh kamu jadi comblang kok.”
“Tapi aku nggak
mau lihat kamu jomblo terus begini, Fani.”
“Nggak punya
pacar itu kan
nggak dosa, Dina. Biarin aja sih aku yang jomblo kok kamu yang kebakaran bulu
ketiak? Heran deh aku jadinya.” Aku kembali menekuri novel Harlequin yang belum
beres setengahnya itu.
“Bukannya
begitu, Fani, kalau nggak ada cowok yang jadi pacar kamu, tiap hari kamu pasti
bakalan terus kepikiran Eki.”
Tersentak aku
mendengar Dina menyinggung nama itu lagi. Aku menatap sahabatku dengan perasaan
tidak menentu. Kenapa kamu masih harus menyinggung Eki sih? Ini nggak ada
hubungannya sama sekali dengan Eki, aku…, aku hanya takut. Aku takut kalau aku
jatuh cinta sama Panji, besok-lusa juga aku yakin aku pasti bakalan patah hati.
Kalau bukan aku yang patah hati berarti Panji yang akan terluka karena aku
nggak bisa membalas cintanya sesuai dengan yang dia harapkan. Daripada itu
terjadi lagi mending nggak usah memulai kan?
“Kenapa kamu
singgung-singgung soal Eki?” Mau nggak mau aku jadi ingat lagi kejadian yang
pernah terjadi lebih dari setengah tahun yang lalu. Yah, dialah yang membuat
aku seperti ini. Jatuh terpuruk karena luka. Aku sampai merasa tidak bisa
bangkit lagi setelah Eki melukai hatiku. “Padahal aku udah nggak mau
ingat-ingat dia lagi.” Butiran bening terasa mengambang di pelupuk mataku
membuat penglihatanku terhalang. Tapi aku nggak mau lagi menangis hanya karena Eki.
“Ma…, maaf,
Fani, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.” Dina merangkulku lalu membawa aku
ke dalam pelukannya. Sepertinya dia menyesal karena sudah membuat aku jadi
sedih. Mengingat Eki memang menyakitkan dan hanya akan membuat aku meneteskan
air mata.
Setahun aku
jatuh bangun mengejar cinta Eki. Tapi bukan cinta yang aku terima malah luka
yang nggak pernah ada habis-habisnya. Luka yang dengan seenaknya dia buat
sampai aku merintih kesakitan. Menangis semalaman. Aku jadi tidak percaya lagi
pada cinta apalagi cinta pada pandangan pertama. Semua itu bullshit. Aku yang satu tahun mencintai Eki saja hanya berhasil
menuai luka jadi mana ada yang namanya cinta pada pandangan pertama?
Kenapa aku
harus dipertemukan dengan Eki, Kalau akhirnya dialah satu-satunya orang yang
ingin kulupakan seumur hidupku? Selalu tanya itu yang mengganggu benakku.
Mungkin ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan padaku sehingga Dia
mempertemukan aku dengan laki-laki itu.
Memang aku
tidak seharusnya menyalahkan Eki, dia hanya bagian dari sepenggal masa laluku.
Bukan salahnya kenapa aku jadi trauma jatuh cinta. Ah, tak seharusnya memang
aku trauma seperti ini. Tapi aku selalu merasa takut jika aku dengar ada orang
yang tertarik padaku. Ingin mengenalku lebih jauh. Atau bahkan ingin
mendapatkan sebongkah dari hatiku. Aku takut terluka lagi. Aku tidak mau merasakan
sakit itu untuk kesekian kalinya.
Eki memang
bukan orang pertama yang pernah kucintai namun tak sanggup kugapai. Aku pernah
mengalami luka yang sama. Dan aku adalah orang bodoh yang bisa jatuh ke lubang
yang sama untuk kedua kalinya. Bahkan sebodoh-bodohnya keledai pun tidak ingin
mengalami hal seperti itu, tapi aku?
Eki memang
pernah mengatakan dia belum bisa membalas cintaku karena dia ingin fokus pada
kuliah dan tidak ingin terganggu dengan pacaran, alasan klise cowok untuk
menolak cewek. Tapi kenapa cinta yang selama ini aku suguhkan selalu
mendapatkan sambutan darinya? Untuk apa dia menyambutnya jika dia tidak ingin
terperosok kembali ke dalam cinta yang pernah memberikan luka padanya? Lantas
karena itu semua malah memberikan luka yang baru dihatiku. Baru sekali dan
masih sangat basah. Terlalu sakit untuk kukenang lagi kenyataan pahit itu.
“Aku sama
sekali tidak pernah merasa memberikan harapan sama kamu, mungkin ini salah
persepsi kamu saja.” Kata Eki ketika itu.
Salah persepsi?
Begitu menyakitkannya kata-kata Eki terdengar di telingaku. Menusuk jantungku.
Apa yang dia anggap salah persepsi itu? Bagaimana dia bisa menganggap aku salah
persepsi, kalau yang menganggap Eki juga sebenarnya mencintaiku bukan cuma aku,
tapi juga teman-temanku yang lain?
Begitu tulus tampak
Eki menyambut cintaku ketika itu. Membuatku terus berharap suatu hari nanti Eki
akan membalas cintaku. Mungkin sebenarnya dia sudah mencintaiku hanya saja dia
belum berani mengakuinya. Munafik. Tapi kenyataan yang mampir dalam hidupku
hanya kata-kata pahit yang diucapkan Eki yang telah menganggap aku hanya salah
persepsi.
“Fani, udahlah kamu lupain Eki, nggak perlu
kamu ingat-ingat dia terus, nggak perlu kamu terus sedih begini, Eki emang
brengsek! Cowok macam dia nggak pantes kamu tangisi. Masih ada aku, Fani. Aku
yang bakal terus ada di samping kamu. Sebenarnya sudah lama aku cinta sama
kamu, Stefanie, tapi karena kamu mencintai Eki makanya aku nggak berani terus
terang. Aku sayang kamu, Fani.”
Tidak pernah
bisa aku lupa kata-kata Panji ketika pertama kalinya Panji menyatakan cintanya
padaku. Tapi aku malah merasa sedih mendengarnya. Kenapa Panji bisa mencintai
aku? Orang yang begitu aku percaya dan sudah aku anggap sebagai sahabat
terbaik. Dan waktu itu aku menolaknya dengan kata-kata yang pasti akan
menyakitkan hati Panji.
“Panji, buat
aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku
sudah tidak mau jatuh cinta lagi”
Panji memang
terlalu baik. Biarpun aku sudah menolaknya tapi dia tetap ada buat aku.
Kehadiran Panji bukan sekedar sebagai teman biasa. Dia seperti sahabat yang
selalu setia mendengar curhat aku. Seperti kakak yang selalu menasehati aku
kalau aku sedang bimbang dan melindungi aku setiap waktu. Seperti adik dengan
sikapnya yang kadang-kadang manja selalu minta diperhatikan, apalagi kalau
sedang sakit manjanya setengah mati. Tapi dia juga memang seperti seorang
kekasih yang setia.
***
“Fani, Panji
kemana? Udah lama Mama nggak lihat dia main ke rumah?” tanya mama sambil
matanya tidak lepas dari tabloid wanita yang sedang dibacanya. Aku lalu
menjatuhkan tubuhku ke atas sofa di samping Mama.
“Sibuk sama kerjaan
kali, Ma.”
“Tapi kalau nggak
ada dia kok rasanya sepi.”
Aku mengangkat
alis.
Memang sebulan
nggak ada dia kok rasanya sepi sekali. Seperti ada yang hilang, entah apa itu?
Panji yang memang sudah kenal baik dengan keluargaku, tidak pernah
sungkan-sungkan lagi untuk datang kapanpun dia mau. Karena Mamanya yang wanita
karir dan jarang memasak dirumah, kadang dia datang hanya untuk meminta makan. Dan
mama yang sudah menganggap Panji seperti anak sendiri, dengan senang hati akan
menyediakan tempat untuknya.
Sekarang kemana
perginya cowok yang selalu berada disisiku itu? Yang selama ini – tanpa
kusadari – telah mengisi kekosongan hatiku. Mungkin perasaan seperti inilah
yang dirasakan Mama dengan ketidak-hadiran Panji. Sepi.
“Panji itu
tulus mencintai kamu, Fani, tapi kenapa kamu masih menolak dia? Mama senang
kalau kamu pacaran sama Panji, Papa juga mendukung.” Aku menggigit bibir.
Aku tahu Mama
dan Papa senang jika aku jadi pacarnya Panji, Edwin saja akrab sekali dengan
Panji. Mereka sering main PS berdua. Adikku itu pernah berterus-terang,
“Daripada
dengan kak Eki, Edwin lebih suka sama kak Panji.”
Sekarang aku
baru merasa Panji tidak ada, sangat tidak menyenangkan.
***
Dari arah depan
terdengar suara motor sport Honda Tiger. Mungkinkah Panji? Sontak aku dan Mama
menoleh ke arah ruang depan.
“Assalamu’alaikum.”
Dari arah depan terdengar suara Panji. Ya, itu Panji. Padahal dia sedang
dibicarakan dan aku sedang memikirkannya ternyata dia muncul.
“Wa’alaikum
salam, Panji, kami ada di dalam.” Mama menyahut.
Panji berdiri
tak jauh dari kami duduk dengan senyumnya yang menawan, yang tanpa kusadari
ternyata aku merindukan senyumnya itu.
“Kemana aja,
Panji? Baru aja Mama bicarin kamu.”
“Sibuk, Ma,
banyak kerjaan di kantor. Oya, Edwin mana?”
“Edwin lagi
diajak pergi sama Papa, mungkin dia lagi ke Ramayana, emang kenapa nyariin Edwin,
kan disini
ada Fani.” Aku menundukkan kepala saat Panji menatapku lalu tersenyum ke
arahku. Ya Tuhan… kenapa aku malah jadi deg-degan begini.
“Aku kesini mau
ketemu Edwin, Ma, kemarin Edwin SMS minta dibeliin bola, sekarang kan lagi demam piala
dunia, Ma, jadi dia pengen ikut-ikutan.”
“Dasar anak itu,
belakangan ini dia memang sedang gila-gilanya sepak bola sepertinya ikut-ikutan
temannya, dari kemarin dia tanya-tanya soal sepak bola tapi Mama dan Stefanie kan nggak ngerti, jadi
nggak tahu harus jawab apa, tapi kalau Edwin punya kakak laki-laki pasti dia
senang bisa sharing sama kakaknya.” Ujar Mama seraya melirik padaku.
Aku tahu arti
dari lirikan mama yang ‘menawan hati’ itu.
“Ya udah, mama
tinggal ya, kamu ngobrol aja dulu sama Stefanie sambil menunggu Edwin pulang.”
Mama lalu beranjak dari sofa dan langsung pergi meninggalkan aku dan Panji.
Sekali lagi aku
hanya bisa tertunduk tanpa mempersilahkan Panji segera duduk. Kenapa sekarang
tiba-tiba saja aku merasa malu saat bersama dengan Panji. Jantungku berpacu
dengan cepat ketika Panji lalu duduk di sampingku. Sekujur tubuhku terasa panas
dingin. Ya ampun… kenapa aku jadi begini, padahal ketemu Panji kan bukan sekali-dua
kali ini.
“Eh, mau minum
apa?” bukannya menjawab Panji malah mengangkat alis.
“Tumben, pake
nawarin aku minum segala, biasanya juga aku ngambil sendiri kan?”
Aku hanya
mengela nafas. Ya Tuhan…, saking gugupnya, aku sampai tidak sadar melakukan hal
yang tidak biasa aku lakukan. Habis aku bingung harus bicara apa. Tuhan…,
tolong tenangkan jantungku.
“Kamu kemana
saja sih, Nji, kok baru nongol sekarang?”
“Aku kan tadi udah bilang,
belakangan ini aku sibuk sama kerjaan, kenapa? Kamu kangen ya sama aku?” Panji
mengerlingkan matanya jenaka.
Iya sih, aku
kangen. Tapi gimana ngomongnya? Apa harus aku ngomong dengan sejelas-jelasnya
kalau aku kangen. Bikin grogi saja. Apa dia tidak bisa membaca perasaanku? Aku
benar-benar nelangsa sekarang kalau dia nggak ada.
“Iya, aku emang
kangen, trus kenapa kalau aku kangen? Nggak boleh? Kalau nggak ada kamu tuh
sepi, nggak ada yang tiba-tiba datang ke rumah buat minta makan, tahu.” Aku
meledeknya, Panji malah tertawa.
“Iya, ya…,
biasanya aku kesini buat minta makan doang.”
“Panji.”
Kutarik tangan Panji, sepasang mata elang itu menatapku. “Apa…, ngng…, apa,”
Aku menggigit bibir bawah. Kenapa sih susah sekali kalimat itu meluncur dari
mulutku ini? Aku bener-bener deg-degan. “Apa pernyataan bulan lalu masih
berlaku?” Aah… aku menarik nafas lega, akhirnya keluar juga kata-kata itu.
“Pernyataan?
Pernyataan yang mana?” Panji berfikir sambil mengerutkan dahi. Tapi aku tahu
dia hanya pura-pura buat menggoda aku. Aku langsung cemberut. bikin jengkel
saja aku kan
serius. Aku sudah setengah mati mengumpulkan keberanian yang tersisa, dia malah
bercanda.
“Panji. Aku
serius.” Desakku tak sabar.
“Iya… iya… aku
serius, masih berlaku kok, untuk kamu berlaku seumur hidup.”
“Apa boleh aku
berharap?”
“Berharap?
Kenapa hanya sekedar berharap?”
“Buat aku kamu
itu beda dari cowok-cowok lain karena kamu hadir setelah aku mengalami yang
namanya mencintai, dicintai, menyakiti dan disakiti, aku nggak mau semua itu
terulang sama kamu, Panji, aku sayang kamu makanya aku nggak mau sakitin kamu
dan aku mau belajar mencintai kamu tapi kalau sekarang aku baru ngasih sepuluh
persen dari hati aku nggak apa-apa?” Panji tersenyum. Senyumnya begitu tulus
dan hangat. Senyum yang selalu membuat aku merasa terlindungi.
“Jangankan
sepuluh persen, biar cuma satu persen sekalipun aku tetap bakal simpan disini.”
Panji menunjuk dadanya sendiri. “Dan akan aku simpan dengan baik lalu aku akan mengambil
sembilan puluh sembilan persen sisanya, selama ini aku selalu menunggu dan
kalau sekarang aku masih harus menunggu sampai cinta itu seratus persen kamu
kasih ke aku, aku rasa, aku masih sanggup.” Aku tercengang mendengarnya
sampai-sampai aku merasa speechless. Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum. Betapa
bahagia rasanya hati ini.
Mata elang
Panji masih tak lepas menatapku, dia lalu mendekatkan wajahnya membuat aku
terbelalak kaget. Apa yang akan dilakukannya? Jemari tangannya lalu mengusap
air mata yang mengalir di pipiku. Jantungku semakin berpacu dengan cepat karena
Panji semakin maju mendekati, aku jadi terdesak.
Jangan…, jangan
lakukan itu Panji, aku mohon. Ini kan
di rumah!
Tapi…
“Assalamu’alaikum,
Ma, ada kak Panji yah?”
Kami terperanjat
mendengar suara Edwin. Buru-buru Panji menjauh dariku.
Syukurlah Edwin
datang.
Aku menarik
nafas lega.
(cerita pendek ini pernah di publikasikan di sebuah buku antalogi Gilalova 2)
(cerita pendek ini pernah di publikasikan di sebuah buku antalogi Gilalova 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar