Welcome

Welcome

Jumat, 19 Juni 2015

Sekeping Hati yang Tersisa



Ketika aku tengah asik duduk di balkon lantai atas sambil membaca dan menikmati semilir angin sejuk usai hujan yang membasuh kota Serang, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan kehadiran Dina yang sudah berdiri di sampingku.
Astaga! Kapan anak itu datang? Aku sama sekali tidak menyadarinya. Tahu-tahu saja dia sudah ada disini seperti hantu. Tapi melihat wajahnya yang tampak jemu, aku tahu apa yang ingin dibicarakannya. Panji pasti sudah menceritakan dengan gamblang kejadian semalam.
“Fani, mau sampai kapan kamu buat Panji terus menunggu?” Dina terlihat sudah jengkel dengan sikapku yang lagi-lagi menolak Panji.
Ini memang sudah ketiga kalinya Panji menyatakan cinta tapi lagi-lagi aku tolak. Lagian salah sendiri kenapa masih keukeuh aja bilang cinta padahal dari pertama kali Panji bilang cinta aku sudah bilang, “Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi.” Eh, dia masih saja bilang cinta buat yang kedua dan sekarang ketiga kalinya. Emangnya aku sendiri nggak bosan dengarnya?  
“Buat apa sih kamu masih menanyakan soal itu.”
“Aku tuh kesel sama kamu, Stefanie. Aku udah usaha apa aja biar kamu bisa jadian sama Panji tapi kamu ogah-ogahan.”
“Siapa yang nyuruh coba? Aku nggak pernah suruh kamu jadi comblang kok.”
“Tapi aku nggak mau lihat kamu jomblo terus begini, Fani.”
“Nggak punya pacar itu kan nggak dosa, Dina. Biarin aja sih aku yang jomblo kok kamu yang kebakaran bulu ketiak? Heran deh aku jadinya.” Aku kembali menekuri novel Harlequin yang belum beres setengahnya itu.
“Bukannya begitu, Fani, kalau nggak ada cowok yang jadi pacar kamu, tiap hari kamu pasti bakalan terus kepikiran Eki.”
Tersentak aku mendengar Dina menyinggung nama itu lagi. Aku menatap sahabatku dengan perasaan tidak menentu. Kenapa kamu masih harus menyinggung Eki sih? Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Eki, aku…, aku hanya takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta sama Panji, besok-lusa juga aku yakin aku pasti bakalan patah hati. Kalau bukan aku yang patah hati berarti Panji yang akan terluka karena aku nggak bisa membalas cintanya sesuai dengan yang dia harapkan. Daripada itu terjadi lagi mending nggak usah memulai kan?
“Kenapa kamu singgung-singgung soal Eki?” Mau nggak mau aku jadi ingat lagi kejadian yang pernah terjadi lebih dari setengah tahun yang lalu. Yah, dialah yang membuat aku seperti ini. Jatuh terpuruk karena luka. Aku sampai merasa tidak bisa bangkit lagi setelah Eki melukai hatiku. “Padahal aku udah nggak mau ingat-ingat dia lagi.” Butiran bening terasa mengambang di pelupuk mataku membuat penglihatanku terhalang. Tapi aku nggak mau lagi menangis hanya karena Eki.
“Ma…, maaf, Fani, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.” Dina merangkulku lalu membawa aku ke dalam pelukannya. Sepertinya dia menyesal karena sudah membuat aku jadi sedih. Mengingat Eki memang menyakitkan dan hanya akan membuat aku meneteskan air mata.
Setahun aku jatuh bangun mengejar cinta Eki. Tapi bukan cinta yang aku terima malah luka yang nggak pernah ada habis-habisnya. Luka yang dengan seenaknya dia buat sampai aku merintih kesakitan. Menangis semalaman. Aku jadi tidak percaya lagi pada cinta apalagi cinta pada pandangan pertama. Semua itu bullshit. Aku yang satu tahun mencintai Eki saja hanya berhasil menuai luka jadi mana ada yang namanya cinta pada pandangan pertama?
Kenapa aku harus dipertemukan dengan Eki, Kalau akhirnya dialah satu-satunya orang yang ingin kulupakan seumur hidupku? Selalu tanya itu yang mengganggu benakku. Mungkin ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan padaku sehingga Dia mempertemukan aku dengan laki-laki itu.
Memang aku tidak seharusnya menyalahkan Eki, dia hanya bagian dari sepenggal masa laluku. Bukan salahnya kenapa aku jadi trauma jatuh cinta. Ah, tak seharusnya memang aku trauma seperti ini. Tapi aku selalu merasa takut jika aku dengar ada orang yang tertarik padaku. Ingin mengenalku lebih jauh. Atau bahkan ingin mendapatkan sebongkah dari hatiku. Aku takut terluka lagi. Aku tidak mau merasakan sakit itu untuk kesekian kalinya.
Eki memang bukan orang pertama yang pernah kucintai namun tak sanggup kugapai. Aku pernah mengalami luka yang sama. Dan aku adalah orang bodoh yang bisa jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Bahkan sebodoh-bodohnya keledai pun tidak ingin mengalami hal seperti itu, tapi aku?
Eki memang pernah mengatakan dia belum bisa membalas cintaku karena dia ingin fokus pada kuliah dan tidak ingin terganggu dengan pacaran, alasan klise cowok untuk menolak cewek. Tapi kenapa cinta yang selama ini aku suguhkan selalu mendapatkan sambutan darinya? Untuk apa dia menyambutnya jika dia tidak ingin terperosok kembali ke dalam cinta yang pernah memberikan luka padanya? Lantas karena itu semua malah memberikan luka yang baru dihatiku. Baru sekali dan masih sangat basah. Terlalu sakit untuk kukenang lagi kenyataan pahit itu.
“Aku sama sekali tidak pernah merasa memberikan harapan sama kamu, mungkin ini salah persepsi kamu saja.” Kata Eki ketika itu.
Salah persepsi? Begitu menyakitkannya kata-kata Eki terdengar di telingaku. Menusuk jantungku. Apa yang dia anggap salah persepsi itu? Bagaimana dia bisa menganggap aku salah persepsi, kalau yang menganggap Eki juga sebenarnya mencintaiku bukan cuma aku, tapi juga teman-temanku yang lain?
Begitu tulus tampak Eki menyambut cintaku ketika itu. Membuatku terus berharap suatu hari nanti Eki akan membalas cintaku. Mungkin sebenarnya dia sudah mencintaiku hanya saja dia belum berani mengakuinya. Munafik. Tapi kenyataan yang mampir dalam hidupku hanya kata-kata pahit yang diucapkan Eki yang telah menganggap aku hanya salah persepsi.
 “Fani, udahlah kamu lupain Eki, nggak perlu kamu ingat-ingat dia terus, nggak perlu kamu terus sedih begini, Eki emang brengsek! Cowok macam dia nggak pantes kamu tangisi. Masih ada aku, Fani. Aku yang bakal terus ada di samping kamu. Sebenarnya sudah lama aku cinta sama kamu, Stefanie, tapi karena kamu mencintai Eki makanya aku nggak berani terus terang. Aku sayang kamu, Fani.”
Tidak pernah bisa aku lupa kata-kata Panji ketika pertama kalinya Panji menyatakan cintanya padaku. Tapi aku malah merasa sedih mendengarnya. Kenapa Panji bisa mencintai aku? Orang yang begitu aku percaya dan sudah aku anggap sebagai sahabat terbaik. Dan waktu itu aku menolaknya dengan kata-kata yang pasti akan menyakitkan hati Panji.
“Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi”
Panji memang terlalu baik. Biarpun aku sudah menolaknya tapi dia tetap ada buat aku. Kehadiran Panji bukan sekedar sebagai teman biasa. Dia seperti sahabat yang selalu setia mendengar curhat aku. Seperti kakak yang selalu menasehati aku kalau aku sedang bimbang dan melindungi aku setiap waktu. Seperti adik dengan sikapnya yang kadang-kadang manja selalu minta diperhatikan, apalagi kalau sedang sakit manjanya setengah mati. Tapi dia juga memang seperti seorang kekasih yang setia.
                                                                        ***
“Fani, Panji kemana? Udah lama Mama nggak lihat dia main ke rumah?” tanya mama sambil matanya tidak lepas dari tabloid wanita yang sedang dibacanya. Aku lalu menjatuhkan tubuhku ke atas sofa di samping Mama.
“Sibuk sama kerjaan kali, Ma.”
“Tapi kalau nggak ada dia kok rasanya sepi.”
Aku mengangkat alis.
Memang sebulan nggak ada dia kok rasanya sepi sekali. Seperti ada yang hilang, entah apa itu? Panji yang memang sudah kenal baik dengan keluargaku, tidak pernah sungkan-sungkan lagi untuk datang kapanpun dia mau. Karena Mamanya yang wanita karir dan jarang memasak dirumah, kadang dia datang hanya untuk meminta makan. Dan mama yang sudah menganggap Panji seperti anak sendiri, dengan senang hati akan menyediakan tempat untuknya.
Sekarang kemana perginya cowok yang selalu berada disisiku itu? Yang selama ini – tanpa kusadari – telah mengisi kekosongan hatiku. Mungkin perasaan seperti inilah yang dirasakan Mama dengan ketidak-hadiran Panji. Sepi.
“Panji itu tulus mencintai kamu, Fani, tapi kenapa kamu masih menolak dia? Mama senang kalau kamu pacaran sama Panji, Papa juga mendukung.” Aku menggigit bibir.
Aku tahu Mama dan Papa senang jika aku jadi pacarnya Panji, Edwin saja akrab sekali dengan Panji. Mereka sering main PS berdua. Adikku itu pernah berterus-terang,
“Daripada dengan kak Eki, Edwin lebih suka sama kak Panji.”
Sekarang aku baru merasa Panji tidak ada, sangat tidak menyenangkan.
                                                                                    ***
Dari arah depan terdengar suara motor sport Honda Tiger. Mungkinkah Panji? Sontak aku dan Mama menoleh ke arah ruang depan.
“Assalamu’alaikum.” Dari arah depan terdengar suara Panji. Ya, itu Panji. Padahal dia sedang dibicarakan dan aku sedang memikirkannya ternyata dia muncul.
“Wa’alaikum salam, Panji, kami ada di dalam.” Mama menyahut.
Panji berdiri tak jauh dari kami duduk dengan senyumnya yang menawan, yang tanpa kusadari ternyata aku merindukan senyumnya itu.
“Kemana aja, Panji? Baru aja Mama bicarin kamu.”
“Sibuk, Ma, banyak kerjaan di kantor. Oya, Edwin mana?”
“Edwin lagi diajak pergi sama Papa, mungkin dia lagi ke Ramayana, emang kenapa nyariin Edwin, kan disini ada Fani.” Aku menundukkan kepala saat Panji menatapku lalu tersenyum ke arahku. Ya Tuhan… kenapa aku malah jadi deg-degan begini.
“Aku kesini mau ketemu Edwin, Ma, kemarin Edwin SMS minta dibeliin bola, sekarang kan lagi demam piala dunia, Ma, jadi dia pengen ikut-ikutan.”
“Dasar anak itu, belakangan ini dia memang sedang gila-gilanya sepak bola sepertinya ikut-ikutan temannya, dari kemarin dia tanya-tanya soal sepak bola tapi Mama dan Stefanie kan nggak ngerti, jadi nggak tahu harus jawab apa, tapi kalau Edwin punya kakak laki-laki pasti dia senang bisa sharing sama kakaknya.” Ujar Mama seraya melirik padaku.
Aku tahu arti dari lirikan mama yang ‘menawan hati’ itu.
“Ya udah, mama tinggal ya, kamu ngobrol aja dulu sama Stefanie sambil menunggu Edwin pulang.” Mama lalu beranjak dari sofa dan langsung pergi meninggalkan aku dan Panji.
Sekali lagi aku hanya bisa tertunduk tanpa mempersilahkan Panji segera duduk. Kenapa sekarang tiba-tiba saja aku merasa malu saat bersama dengan Panji. Jantungku berpacu dengan cepat ketika Panji lalu duduk di sampingku. Sekujur tubuhku terasa panas dingin. Ya ampun… kenapa aku jadi begini, padahal ketemu Panji kan bukan sekali-dua kali ini.
“Eh, mau minum apa?” bukannya menjawab Panji malah mengangkat alis.
“Tumben, pake nawarin aku minum segala, biasanya juga aku ngambil sendiri kan?”
Aku hanya mengela nafas. Ya Tuhan…, saking gugupnya, aku sampai tidak sadar melakukan hal yang tidak biasa aku lakukan. Habis aku bingung harus bicara apa. Tuhan…, tolong tenangkan jantungku.
“Kamu kemana saja sih, Nji, kok baru nongol sekarang?”
“Aku kan tadi udah bilang, belakangan ini aku sibuk sama kerjaan, kenapa? Kamu kangen ya sama aku?” Panji mengerlingkan matanya jenaka.
Iya sih, aku kangen. Tapi gimana ngomongnya? Apa harus aku ngomong dengan sejelas-jelasnya kalau aku kangen. Bikin grogi saja. Apa dia tidak bisa membaca perasaanku? Aku benar-benar nelangsa sekarang kalau dia nggak ada.
“Iya, aku emang kangen, trus kenapa kalau aku kangen? Nggak boleh? Kalau nggak ada kamu tuh sepi, nggak ada yang tiba-tiba datang ke rumah buat minta makan, tahu.” Aku meledeknya, Panji malah tertawa.
“Iya, ya…, biasanya aku kesini buat minta makan doang.”
“Panji.” Kutarik tangan Panji, sepasang mata elang itu menatapku. “Apa…, ngng…, apa,” Aku menggigit bibir bawah. Kenapa sih susah sekali kalimat itu meluncur dari mulutku ini? Aku bener-bener deg-degan. “Apa pernyataan bulan lalu masih berlaku?” Aah… aku menarik nafas lega, akhirnya keluar juga kata-kata itu.
“Pernyataan? Pernyataan yang mana?” Panji berfikir sambil mengerutkan dahi. Tapi aku tahu dia hanya pura-pura buat menggoda aku. Aku langsung cemberut. bikin jengkel saja aku kan serius. Aku sudah setengah mati mengumpulkan keberanian yang tersisa, dia malah bercanda.
“Panji. Aku serius.” Desakku tak sabar.
“Iya… iya… aku serius, masih berlaku kok, untuk kamu berlaku seumur hidup.”
“Apa boleh aku berharap?”
“Berharap? Kenapa hanya sekedar berharap?”
“Buat aku kamu itu beda dari cowok-cowok lain karena kamu hadir setelah aku mengalami yang namanya mencintai, dicintai, menyakiti dan disakiti, aku nggak mau semua itu terulang sama kamu, Panji, aku sayang kamu makanya aku nggak mau sakitin kamu dan aku mau belajar mencintai kamu tapi kalau sekarang aku baru ngasih sepuluh persen dari hati aku nggak apa-apa?” Panji tersenyum. Senyumnya begitu tulus dan hangat. Senyum yang selalu membuat aku merasa terlindungi.
“Jangankan sepuluh persen, biar cuma satu persen sekalipun aku tetap bakal simpan disini.” Panji menunjuk dadanya sendiri. “Dan akan aku simpan dengan baik lalu aku akan mengambil sembilan puluh sembilan persen sisanya, selama ini aku selalu menunggu dan kalau sekarang aku masih harus menunggu sampai cinta itu seratus persen kamu kasih ke aku, aku rasa, aku masih sanggup.” Aku tercengang mendengarnya sampai-sampai aku merasa speechless. Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum. Betapa bahagia rasanya hati ini.  
Mata elang Panji masih tak lepas menatapku, dia lalu mendekatkan wajahnya membuat aku terbelalak kaget. Apa yang akan dilakukannya? Jemari tangannya lalu mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Jantungku semakin berpacu dengan cepat karena Panji semakin maju mendekati, aku jadi terdesak.
Jangan…, jangan lakukan itu Panji, aku mohon. Ini kan di rumah!
Tapi…
“Assalamu’alaikum, Ma, ada kak Panji yah?”
Kami terperanjat mendengar suara Edwin. Buru-buru Panji menjauh dariku.
Syukurlah Edwin datang.
Aku menarik nafas lega.

(cerita pendek ini pernah di publikasikan di sebuah buku antalogi Gilalova 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar