Welcome

Welcome

Jumat, 19 Juni 2015

Perempuan dan cita-citanya



Diana membaca surat undangan pernikahan mantan kekasihnya dengan perasaan malas. 

Ah, malas sekali aku pergi ke nikahan begini. Gumamnya. 

Diana malas bukan karena Rizal dulu adalah kekasihnya tapi lebih karena bosan menghadapi pertanyaan yang itu-itu saja jika dia datang ke acara pernikahan, 

“Kapan menyusul?” pertanyaan yang sudah sangat basi – bagi Diana – dan tentunya dijawab dengan jawaban basi juga, “Minta do’anya saja.” Walaupun Diana tahu, belum tentu orang yang menanyakannya itu akan mendo’akannya.

“Di, tadi ada undangan dari Rizal, sudah baca? Ibu simpan di meja kerja kamu.” Suara ibu terdengar dari balik pintu kamar Diana.

“Sudah, bu.” Diana menyahut dari dalam sambil memilih pakaian.

Handle pintu bergerak kemudian pintu kamar Diana terbuka. Sang ibu berdiri di balik pintu sambil tersenyum lalu beliau masuk kedalam.

“Jadi, Rizal akhirnya menikah juga dengan Rani? Bukannya kalian putus baru beberapa bulan lalu.” Diana pura-pura tidak memerhatikan pembicaraan ibunya. Dia tahu ibunya sangat berharap putri sulungnya dapat menikah dengan Rizal. Laki-laki itu memang calon menantu dambaan setiap orang tua.

Tapi sayang Diana merasa tidak cocok dengan Rizal dan sekarang putri bungsu pak Haji Gofur lah yang berhasil di pinang Rizal.

“Padahal ibu berharap kamu yang menikah dengan Rizal, Di.”

“Rizal bukan jodoh Diana, bu.”

“Kamu emangnya belum berpikir untuk menikah, Di?”

“Menikah sama siapa, bu? Guling? Ibu kan tahu Diana nggak punya pacar.”

“Loh, si Aldi memangnya bukan pacar kamu?” Diana menyeringai.

Aldi? Staff TU paling aneh yang pernah ditemuinya, dengan dandannya yang nyentrik, ingin mengikuti mode tapi malah jadi korban mode. Ya Tuhan…, bahkan Diana sendiri tidak pernah sedikitpun berpikir untuk pedekate apalagi menjadikannya pacar tapi ibunya mengira mereka pacaran hanya karena cowok itu sering mengantar jemputnya ke Sekolah.

“Tunggulah, bu, nanti juga Diana pasti akan menikah.” Diana lalu mengganti pakaian kerjanya dengan kaos kuning dan celana pendek abu-abu.

“Tapi kan ibu sudah ingin menimang cucu, Diana, kamu anak pertama ibu, mana mungkin kan ibu meminta Riska yang memberikan ibu cucu?” Diana lalu menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur disamping ibunya.

Umur Diana memang sudah saatnya untuk menikah, sudah hampir dua puluh empat tahun. Meski sebagian besar – terutama yang hidup di kota besar – menganggap umur dua puluh tiga tahun masih belia untuk menikah, tapi di Kota Rangkasbitung ini umur dua puluh empat tahun belum menikah sama saja sudah hampir mendekati expired. Perempuan Rangkasbitung – terutama di daerah tempat tinggal Diana – memulai hidup barunya rata-rata di usia delapan belas sampai dua puluh lima tahun.
Dan di umur dua puluh tiga belum menikah apalagi belum punya calon suami bersiap-siaplah menjadi bahan pembicaraan tetangga dan dalam hitungan dua atau tiga tahun ke depan akan segera menyandang status baru, bukan lagi “gadis” melainkan telah berubah jadi “perawan tua”.

“Diana merasa masih terlalu muda untuk menikah, bu.”

“Ibu tidak memaksa kamu harus menikah segera kok, sayang, lakukanlah apa yang memang ingin kamu lakukan.”

Diana malah ingin sekolah lagi, bu. Bisik Diana dalam hati. Tapi hal itu terlalu sulit untuk dia utarakan pada kedua orang tuanya.

Memiliki gelar lebih dari satu bagi perempuan single memang sangat tinggi, meski yang ingin dikejar Diana sekarang bukan gelar magister melainkan masih gelar sarjana. Diana ingin kuliah lagi di fakultas sastra di Bandung atau jurnalistik di Serang, dia bercita-cita ingin menjadi penulis. 

Tapi resiko besar pasti harus ditanggungnya jika dia memiliki gelar lebih dari satu. Laki-laki akan merasa segan padanya, karena dianggap perempuan bergelar lebih dari satu itu terlalu hebat, bukankah laki-laki paling tidak mau istrinya berada diatas, entah dari penghasilan, gelar, kedudukan. 

Meski giliran berada di tempat tidur, laki-laki tetap bersemangat jika istrinya yang berada diatas.
Dan Rizal termasuk salah satu laki-laki yang tidak mau istrinya punya kedudukan lebih tinggi darinya, bahkan mungkin bisa dikatakan Rizal tidak ingin istrinya punya cita-cita. Pikiran kolot Rizal masih tetap menganggap perempuan lebih pantas mengurus dapur, kasur dan sumur dan bukanlah mengejar cita-cita. Sepertinya emansipasi wanita bagi Rizal sangatlah tidak berlaku.

“Sepertinya aku dan kamu tidak akan pernah cocok, Diana.” Ujar Rizal ketika diakhir hubungan mereka. “Kamu perempuan berdikari, tanpa laki-laki pun, aku rasa kamu bisa hidup mandiri.” Diana terhenyak mendengar ucapan Rizal.

Jadi seperti itukah penilaian Rizal terhadapnya? Bagaimana mungkin Rizal bisa berpikir seperti itu. Orang lain boleh menganggapnya sekuat ombak yang mampu memecahkan karang, perempuan mandiri yang punya segudang angan-angan, tapi Diana tetap merasa dirinya perempuan yang lemah dan membutuhkan seorang laki-laki untuk mendampinginya.
                                                                                    ***
“Diana, apa kamu nggak bisa cancel dulu mengejar mimpi kamu itu.” Ujar Maya ketika Diana mengutarakan keinginannya untuk kuliah lagi. “Sekarang kamu fokus aja buat cari cowok, jangan karir sama gelar aja yang kamu kejar, nah kalau udah nikah kamu bisa tuh sana mau kuliah lagi kek atau tetep jadi guru, itu juga kalau masih diizinin suami.”

Itulah yang tidak diinginkan Diana, dia takut jika sudah bersuami malah suaminya tidak mengizinkan dia kuliah lagi apalagi jika melarangnya mengejar impiannya. Impian Diana sudah harga mati. Mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.

“Jodoh bisa datang kapan aja.” Tukas Diana. Dan mimpiku terlalu sulit untuk ditukar dengan calon suami. “Bagimana kalau Allah kasih aku jodoh setelah umur tiga puluh tahun? Trus aku harus nunggu sampai kapan untuk bisa berkarir sesuai dengan yang aku inginkan?”

“Buat jadi pengarang kan nggak harus belajar sastra ke Bandung, Di, toh disini juga ada forum lingkar pena, kamu bisa gabung disana.”

Nggak usah dikasih tahu juga aku udah gabung duluan kok. Gumam Diana jemu.

Yang menjadi permasalahannya sekarang bukanlah sekedar dia ingin mengejar mimpi tapi karena gelar yang sudah disandangnya.

Diana merasa terlalu berat jika dia harus menyandang gelar sarjana ekonomi sedangkan dia tidak bisa menjadi seorang ekonom. Diana malah merasa sudah terjun bebas ke ‘jurang’ fakultas ekonomi hanya karena saat kuliah dia bingung menentukan pilihan lalu ayahnya menganjurkan dia kuliah di fakultas ekonomi.

Diana hanya menurut karena yang terpikirkan olehnya saat itu hanyalah dia ingin kuliah agar bisa bergaya seperti teman-temannya yang lain, tapi tujuannya setelah lulus kuliah dia tidak tahu. 
Akhirnya sekarang dia malah menjadi guru honorer di salah satu SMK Negeri di Rangkasbitung ini.

“Kalau saja kamu tidak terlalu ambisius dengan cita-citamu itu, mungkin kamu dengan Rizal masih berlanjut sekarang malahan mungkin kalian akan segera menikah.”

“Aku malas pacaran sama cowok yang berpikiran kolot kayak dia, memangnya dia pikir istri itu pembantu dirumah apa? Kalau dia mau istrinya begitu, kawin aja sama pembantu sana, makanya dia lebih memilih menikahi Rani, bocah yang baru lulus SMA.”

“Ini bukan masalah cowok kolot tapi kamu harus tahu seperti apa kampung halaman kamu sendiri. Di Rangkasbitung ini masih jarang perempuan single kuliah sampai S2, S3, es teller, es mambo, paling tinggi hanya S1 dan cowok bakalan sungkan berhadapan sama perempuan dengan gelar yang sangat tinggi, kamu sekarang sudah sarjana, seenggaknya kamu pasti ingin punya suami yang sarjana juga kan? Trus kalau kamu sudah punya dua gelar sarjana, kamu mau cari suami seperti apa? kalau kamu jadi perawan tua gimana?”

Ya Tuhan…, apakah cita-citanya benar-benar harus dia pertaruhkan hanya demi mencari calon suami. Dia harus menundanya sampai menikah? lalu jika sudah menikah apakah suaminya akan mengizinkan dia kuliah lagi? Belum lagi jika sudah repot mengurus anak. Menikah itu kan bukan perkara kecil, terlalu banyak yang harus dihadapi dan itu harus dipikirkan dengan matang. Menikah bukan sekedar menjadi ratu satu hari tapi menjadi istri dan ibu di lain hari.

Tapi bukan berarti juga dia tidak ingin menikah, dia ingin menikah. Perempuan mana yang tidak ingin menikah? Hanya saja jodoh itu belum datang, belum menyapanya. Dan selama jodoh itu belum menghampirinya, Diana ingin mengejar cita-citanya. 
                                                                                    ***
Dari arah masjid terdengar suara muadzin tua mengumandangkan adzan ashar. Suaranya yang terpatah-patah karena dia sudah tidak kuat menahan nafas terlalu lama sering membuat Diana merasa kasihan.

Di kampung ini memang hanya orang tua yang diperbolehkan menjadi muadzin, khotib, imam ataupun ketua RT dan RW, bukan berarti tidak ada pemuda yang bisa diandalkan tapi seperti itulah tradisinya. Mereka lebih memercayakan kepemimpinan pada orang tua, yang muda dianggapnya belum bisa apa-apa. Makanya banyak orang muda yang punya potensi memilih mengabdikan dirinya di kota lain, karena di kota lain mereka jauh lebih di percaya sedangkan di kampung halaman sendiri mereka dianggap masih ingusan. Jika terus seperti ini kapan kampung halamannya ini akan maju?

Tapi meski adzan sudah selesai di kumandangkan Diana tak segera mengambil air wudlu, karena dia masih sedang di ‘interogasi’ ayahnya.

“Jadi, kamu serius mau kuliah lagi?” Suara ayahnya terdengar begitu tenang dan berwibawa. Meski agak sedikit takut tapi akhirnya Diana bertekad untuk menyampaikan keinginannya. Dan sekarang dia sudah mantap.

“Iya, ayah. Diana hanya minta ayah pinjamkan Diana uang untuk biaya kuliah semester pertama untuk selanjutnya biar Diana sendiri yang mencarinya, jika Diana sudah bisa mengembalikannya, Diana janji akan mengembalikannya pada ayah.”

“Ayah tidak memaksa kamu harus mengembalikannya, ayah masih mampu membiayai kuliah kamu sampai kamu lulus sekalipun, tapi untuk apa kamu kuliah lagi? kalau kamu ingin mengambil gelar magister, ayah bisa mengerti tapi kenapa kamu malah ingin mengambil gelar sarjana?”

“Diana ingin kuliah Sastra.”

“Kan bisa S2 Sastra?”

“Tapi itu sudah menjadi keinginan Diana, ayah, dan keinginan Diana bukan sekedar keinginan tidak masuk akal, Diana sudah memikirkan matang-matang.”

“Apa kamu sudah siap menanggung resiko yang akan terjadi setelah kamu mengambil keputusan besar ini? tempat tinggal kita bukan kota besar, Diana, umurmu sudah hampir dua puluh empat tahun dan kalau kau harus menunggu Empat tahun lagi sampai kuliahmu selesai….”

“Hidup adalah pilihan ayah, dan ini pilihan Diana, Diana siap dengan segala resiko yang harus Diana tanggung.” Ujarnya mantap.

Dia tahu kemana arah pembicaraan ayahnya. Jika dia harus menunggu sampai kuliahnya selesai empat tahun lagi itu berarti usianya sudah dua puluh delapan tahun dan tidak menutup kemungkinan ‘gelar’ baru akan juga disandangnya. Tapi hal itu tidak menyurutkan keinginannya.

Lagipula bukan berarti selama empat tahun itu Diana akan menutup hatinya untuk laki-laki. Siapa tahu suatu hari nanti dia dipertemukan dengan laki-laki yang satu pikiran dengannya.
                                                                        ***
Kedua orang tuanya, Riska dan Fitri mengantarkan Diana hingga ke terminal Mandala Rangkasbitung. Dengan menggunakan bis ekonomi-AC berwarna kuning, Diana pergi ke Bandung untuk memulai perjalanannya yang baru. Pukul Sembilan pagi bis dengan trayek Pandeglang – Bandung yang akan transit di terminal Serang itu, lalu berangkat. Diana memasang headset lalu menyalakan MP3 berkapasitas 1 Giga yang telah dia isi dengan lagu-lagu kesayangannya.

“Permisi, apa tempat ini kosong?” sapa seorang pria ke bangku kosong sebelah Diana. Rupanya pria itu baru saja naik.

“Iya, kosong, silahkan.” Diana membetulkan posisi duduknya lalu pria itu duduk di sebelahnya. Lalu dia kembali mendengarkan lagu sambil memandang kearah jendela.

“Teteh mau ke Bandung juga?” Diana hanya mengangguk.

“Iya saya juga mau ke Bandung.”  

“Teteh ke Bandung buat kuliah?”

“Iya.”

“S2?”

“Bukan cuma S1.”

“Oh, masih muda ternyata, saya kira teteh ini mau kuliah S2 di Bandung, maaf kelihatannya seperti ibu-ibu sih.” Diana meringis mendengar ucapan laki-laki yang ceplas-ceplos itu. kalau begitu berarti dia sudah tua dong? “Kalau saya mau kuliah S2 di UPI Bandung, oya kenalkan nama saya Hendri.”  Hendri mengulurkan tangannya.

“Diana.” Sambil tersenyum Diana menyambut uluran tangan Hendri bersahabat.

“Kalau boleh saya tahu, kamu kuliah dimana?”

“Sastra.” Diana menjawab ogah-ogahan.

“Sastra? Wah…, hebat. Jarang ada orang berpikir ingin kuliah di Sastra sampai jauh-jauh pergi ke Bandung, pasti itu cita-cita kamu yah? Biasanya anak muda seperti kamu kuliah cuma buat gengsi.”

“Emm…, sebenarnya saya sudah sarjana tapi di Bandung saya masih ingin mengambil kuliah jurusan yang berbeda.”  

“Oya? Saya salut sama kamu, orang lain jangankan mau kuliah dua kali, satu kali aja masih susah, kebanyakan memang ada yang tidak memiliki biaya tapi itu masalah lain yah soalnya masih banyak juga orang tuanya mampu menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi tapi malah anaknya yang malas. Cita-cita itu memang harus diraih bukan sekedar digantungkan diatas langit.”

“Kamu tidak merasa sungkan sama perempuan yang memiliki gelar lebih dari satu.”

“Kenapa harus sungkan, bukankah itu bagus? Saya malah mendukung perempuan yang punya semangat untuk belajar, saya tidak keberatan kalau saya punya istri nanti, istri saya punya gelar lebih tinggi dari saya, karena buat saya perempuan bukan untuk dijadikan perhiasan di rumah.”
Diana merasa senang bisa mengobrol dengan laki-laki yang satu pikiran dengannya. Sepertinya perjalanannya ke Bandung kali ini akan memberikan cerita yang menyenangkan. 

(Cerpen ini pernah di publikasikan di sebuah buku antologi cerpen Kunang Kunang Dalam Pelukan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar