Welcome

Welcome

Selasa, 28 Juli 2015

Sesal

Doddy terkejut ketika dia sedang mengendarai mobil Honda Jazz kesayangannya dia melihat sesosok pria tertidur di jalan. Buru-buru dia menginjak rem sebelum mobilnya melindas tubuh yang terbaring itu.
Apa-apaan sih bapak itu tidur di jalanan! Kalau sampai dia tertabrak bagaimana! Rutuknya kesal. Apa dia sudah terlalu mabuk sampai tidak bisa bangun lagi? Atau jangan-jangan dia korban tabrakan dan tidak ada yang menolongnya?
Merasa penasaran Doddy keluar dari dalam mobilnya. Dihampirinya tubuh pria itu. Sekedar untuk mengetahui apa dia masih hidup atau mungkin sudah mati. Mudah-mudahan saja dia masih hidup jadi tidak usah sampai menyusahkan. Harus lapor polisi lah, menghubungi rumah sakit lah, jangan-jangan malah nanti dia jadi terseret-seret masalah lagi.
Perlahan Doddy membalikkan tubuh yang tertelungkup itu dan dia tersentak kaget. Hampir saja jantungnya melompat keluar. Keadaannya mengenaskan. Darah terus mengalir keluar membanjiri tubuhnya. Tubuh Doddy langsung gemetaran. Dihempaskannya kembali tubuh yang sudah terbujur kaku itu ke jalan lalu dia melangkah mundur selangkah demi selangkah.
Kedua tangannya sudah dibasahi darah. Pakaiannya juga. Darah itu tidak mau hilang. Padahal orang itu sudah mati kenapa darahnya masih terus mengalir? Doddy semakin ketakutan. Dia ingin pergi dari tempat itu tapi dia tidak bisa, kakinya seperti terpaku ke dasar bumi. Jangan kan untuk lari bahkan untuk melangkah pun sulit.
Wajah Doddy semakin memucat, seperti tidak dialiri darah. Dan kemudian dia tersentak kaget ternyata semuanya hanya mimpi. Dia lalu terbangun, di pegangi dahinya yang mengeluarkan banyak keringat. Bergegas Doddy turun dari tempat tidurnya segera pergi ke kamar mandi untuk mencucinya.
Hampir setiap malam sejak hari itu, dia terus memimpikan mayat laki-laki berlumuran darah. Mimpi itu selalu mengusik tidurnya. Membangunkannya. Tepatnya setelah dia menabrak laki-laki paruh baya yang menggunakan motor bebek tua. Dan ironisnya Doddy takut untuk bertanggung jawab. Dia lari tunggang-langgang usai mobilnya dengan kejam menabrak motor bebek itu. Pengemudinya jatuh terseret dan anak gadis yang menjadi penumpang terjatuh tak jauh dari motornya.
Doddy terlalu takut disuruh bertanggung jawab. Dia tidak mau menghabiskan hidupnya didalam penjara. Masa depannya masih panjang, jika dia menghabiskan separuhnya dalam penjara hanya akan menghancurkan masa depannya. Karena itu dia meminta bantuan ayahnya untuk menyembunyikannya. Tapi sekarang karena dia telah menjadi seorang pengecut. Dosa itu malah terus menghantui hidupnya. Membayang-bayangi sepanjang hidupnya. Rasa takut dan mimpi buruk tidak pernah dapat dihindarinya.
                                                                        ***
“Dod, kamu mau kemana?” Ibunya menyapa ketika melihat putranya menuruni tangga sambil mengenakan jaket bersiap hendak pergi. Anak itu kalau tidak ditanya tidak akan memberitahu kemana dia akan pergi.
“Doddy mau menemui Feni, Ma.”
“Menemui gadis itu lagi? Setiap hari kamu tidak pernah absen menemuinya.”
“Habis, dia anak yang menyenangkan, Ma, kalau sudah sama dia berjam-jam juga tidak pernah membosankan.”
Ibu Doddy tersenyum. Sudah dapat diperkirakan olehnya. Putra sulungnya ini sedang jatuh cinta. Dia pasti telah jatuh cinta pada gadis itu. Jarang-jarang Doddy berwajah begitu ceria meski hanya menyebutkan namanya.
“Kapan kamu mau mengenalkan dia pada Mama dan Papa?”
“Aku ragu apa mama akan menyukai dia, apalagi papa.”
“Loh kenapa? Kalau anak Mama menyukai gadis itu, kenapa Mama harus tidak menyukainya? Kalau soal papa, Mama bisa membujuk Papa.”
“Karena dia bukan anak orang kaya dan terpandang seperti yang Papa sukai, dia hanya anak pegawai negeri, ayahnya sudah meninggal dan ibunya yang janda harus membiayai hidupnya dan kakaknya dengan bekerja di perusahaan finance selain itu dia juga tuna netra.”
Ibu Doddy terkejut mendengar penjelasan putra sulungnya. Bukan karena gadis itu hanya anak seorang karyawan swasta yang sudah yatim tapi dia buta. Kenapa Doddy bisa menyukai gadis buta? Tanpa perlu dikenalkan pada ayahnya sudah pasti beliau menolak. Jangankan menyukai gadis buta, menyukai gadis yang tidak sederajat dengan mereka saja pasti Doddy akan ditentang.
Tapi ibu Doddy tidak bisa melarang putranya jatuh cinta. Kalau sudah ingin Doddy seperti itu pasti tidak akan bisa dilarang apalagi dalam urusan cinta. Melarang Doddy jatuh cinta sama saja menyuruh matahari esok terbit di barat. Lantas kalau sudah begitu bagaimana caranya memberitahu pada ayahnya? Doddy dan ayahnya sama-sama keras kepala.
                                                                        ***
“Doddy!” Wajah Feni berseri-seri mengetahui tamu yang datang adalah orang yang sejak tadi dinanti kehadirannya. Yang hampir setiap malam selalu hadir dalam mimpinya. Dan yang sudah membuatnya sering tidak bisa tidur karena terlalu banyak memikirkannya.
Doddy hanya tersenyum melihat Feni bisa menebaknya padahal dia tidak bisa melihat.
“Kok tahu sih aku yang datang?”
“Dari baunya juga sudah bisa ketebak, ini pasti Doddy.”
“Dari baunya atau kamu sudah memperkirakan kedatangan pujaan hatimu ini?” memerah wajah Feni di goda seperti itu oleh Doddy. Membuat Doddy jadi gemas ingin sekali mencubitnya dan ingin mengecupnya. Tapi tidak ingin dia melakukan hal seperti itu pada Feni. Gadis ini tidak pantas hanya sekedar untuk diambil sarinya lalu dibuang ampasnya. Dia gadis istimewa dan terlalu berarti untuk Doddy.
“Ayo masuk, Dod.” Feni menggerak-gerakkan tongkatnya meraba-raba sekitarnya.
Miris hati Doddy setiap kali melihat Feni yang seperti itu. Gadis itu cantik tapi kenapa harus buta? Feni memang tidak buta sejak lahir, dia hanya korban tabrak lari dua tahun silam. Kedua matanya menjadi korban karena kornea matanya rusak terkena pecahan kaca spion. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan itu. Feni terpaksa harus menunggu donor yang bersedia memberikan sepasang mata padanya jika dia ingin melihat lagi.
Doddy mengenal Feni setengah tahun lalu di sebuah taman ketika dia sedang jalan-jalan mencari udara segar. Tidak seperti biasanya memang Doddy sudi mampir ke taman. Di taman itu dia melihat seorang gadis sedang duduk sendirian, pandangannya lurus kedepan dan dia tidak bergerak sama sekali. Doddy merasa heran melihat gadis itu. Kenapa dia terus berada dalam posisi seperti itu selama bermenit-menit? Sekalipun sedang duduk biasanya dia akan melakukan gerakan-gerakan kecil seperti mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.
Barulah Doddy tahu dia buta saat seorang jambret merampas kalungnya. Begitu paniknya dia menyadari kalungnya hilang, tangannya berusaha menggapai-gapai mencari sesuatu namun yang tertangkap olehnya hanya angin. Dia berteriak meminta tolong lalu menangis. Tak ingin Doddy membiarkan gadis itu bersedih, dia lalu menghadang jambret yang berlari kearahnya. Untung saja dia karateka jadi dia bisa dengan mudah melumpuhkan jambret itu. Di kembalikannya kalung itu pada gadis tadi. Dari sanalah mereka berkenalan.
Hari itu ternyata Feni sedang membiasakan dirinya sendirian sambil menikmati sejuknya udara taman. Dia tidak ingin terus menyusahkan kakaknya, menjadi tongkat dalam hidupnya yang membuatnya akan terus membutuhkannya untuk berpegangan. Terharu Doddy mendengar penjelasan itu, dia jadi merasa penasaran ingin mengenal lebih jauh gadis ini. Dan sekarang mereka sudah mulai akrab bahkan Doddy sudah berani menyatakan cintanya dua minggu lalu. Feni memang belum menjawabnya tapi Doddy tahu perasaan mereka sama.
“Kamu mau minum apa, Dod, biar aku buatkan.”
“Nggak usah repot-repot.”
“Tenang saja, aku sudah bisa buatkan minuman buat kamu kok, mau kubuatkan es jeruk, panas-panas begini pasti segar kalau meminum es jeruk.”
“Boleh kalau begitu.”
Feni lalu pergi ke dapur. Doddy mengikuti langkahnya. Dia juga ingin tahu sampai sejauh mana Feni bisa bekerja sendiri. Diperhatikannya Feni yang sedang menyiapkan es jeruk dari sirup rasa jeruk. Dia tidak salah menakar banyaknya sirup dan air kedalam gelas yang sudah dipersiapkannya. Dia juga menuangkan es ke dalam gelas dengan tepat, tidak sampai menumpahkan isinya. Tidak ragu juga dia membawa es jeruk dengan sebelah tangannya.
Bergegas Doddy kembali ke ruang tamu sebelum Feni mengetahui dia sudah mengintipnya. Feni melakukan semua pekerjaannya seolah kedua matanya dapat melihat dengan normal. Dia sudah membiasakan dirinya dengan kegelapan padahal menurut ibunya sejak kecil Feni paling takut dengan gelap. Terbayang olehnya bagaimana hari-hari pertama yang dijalani Feni dalam kegelapan yang selalu ditakutinya.
“Nah, kamu lihatkan aku berhasil membuatnya?” Doddy tersenyum. Meski dia tahu Feni tidak akan bisa melihat senyumnya tapi tidak dia sesali senyum itu.
“Terima kasih.”
Kedatangan Doddy kerumah sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Meski terkadang Feni bingung mau mengajak Doddy mengobrol apa tapi kebersamaan mereka tidak pernah menjadi sia-sia. Doddy selalu punya bahan pembicaraan yang mengasyikan.
“Dod, boleh aku meraba wajah kamu?” sesaat Doddy terdiam. Dibawanya kedua telapak tangan Feni ke wajahnya. Hanya dengan cara meraba wajah oranglah Feni bisa mengenali orang lain. “Kalau aku ingin melihat lagi, orang pertama yang ingin sekali kulihat adalah kamu, Dod, aku ingin melihat wajah ganteng kamu.”
“Tapi aku jelek loh, Fen, mukaku bopengan, punya tompel besar di pipi, hidungku pesek, mataku bulat seperti ikan koki, pokoknya aku nggak seganteng yang kamu kira.”
“Jangan suka menyumpahi diri sendiri, Dod, nanti kuwalat baru tahu rasa.” Feni mengucapkannya sambil tersenyum tapi Doddy sama sekali tidak memperlihatkan senyum di wajahnya.
“Tapi aku memang tidak sebaik yang kamu kira.” Feni tertegun.
Apa maksud ucapan Doddy? Dia sama sekali tidak dapat mengiranya. Pasti maksudnya bukanlah wajahnya yang jelek. Doddy tidak jelek kok, Feni dapat merasakannya. Wajahnya tidak seburuk yang dia katakan.
Doddy memang menyimpan satu rahasia. Rahasia yang sama sekali dia tidak ingin Feni mengetahuinya. Dia tidak mau jika sampai Feni mengetahui rahasia itu, gadis itu jadi menjauhinya. Membencinya dan tidak ingin menemuinya lagi. Karena kehadiran gadis inilah Doddy jadi merasakan gairah hidup kembali.
Dari Feni dia dapat melihat, ketegaran seorang gadis. Meski dia hidup dalam kegelapan yang mungkin seumur hidupnya, kehilangan orang yang paling disayangi dalam waktu bersamaan, tapi dia tetap berdiri diatas kakinya sendiri. Bahkan Feni tidak ingin menyusahkan orang lain meskipun dia buta. Dan dia ingin tetap bersemangat seperti Feni.
Selama ini hidupnya selalu bergelimangan harta. Doddy tidak pernah kurang suatu apapun. Ayahnya yang seorang pedagang besar dapat memenuhi segala permintaannya. Bahkan untuk membebaskannya dari balik jeruji besi pun tangan ayahnya lah yang bergerak. Doddy di sembunyikan diluar kota, mobil yang pernah menabrak orang itupun dibuang dan menggantinya dengan mobil baru.
Demi melindungi anak laki-laki semata wayangnya ayah Doddy memang rela melakukan apapun. Tapi dosa itu tetaplah tidak bisa dihindari oleh Doddy. Meski ayahnya punya uang miliyaran sekalipun mimpi buruk itu tetap tidak mau enyah menghantui hidup Doddy.
                                                                        ***
Ibu Feni merasa senang melihat putri bungsunya sudah dapat lebih bersemangat lagi dari sebelumnya. Karena kehilangan ayah yang paling disayanginya dan cahaya hidupnya, Feni pernah berniat ingin bunuh diri. Feni memang paling dekat dengan ayahnya dan ketika ayahnya pergi dia seolah tidak memiliki sandaran hidup lagi.
Tapi ketika Feni melihat ketegaran ibunya yang tetap berjuang menghidupi kedua putrinya sebagai single parent Feni jadi merasa tidak ingin terus terpuruk dalam kesedihan. Dan sekarang dengan kehadiran Doddy semangat Feni untuk bisa berdiri diatas kakinya sendiri semakin menyala. Dialah yang sekarang menjadi cahaya untuk Feni. Cinta Doddy lah yang menunjukkan jalan kehidupan baru untuk Feni.
“Nak Doddy, tante berterima kasih karena selama ini Nak Doddy mau menemani Feni, sejak dia tuna netra, teman-temannya menjauhi Feni, tidak ingin ada yang menemaninya lagi tapi Nak Doddy meski tahu Feni tidak dapat melihat, Nak Doddy tetap berada di sampingnya. Tante merasa senang sekali melihat Feni bersemangat lagi.”
“Tante tidak usah berterima kasih sama Doddy, justru karena Feni, Doddy dapat menemukan hidup Doddy lagi. Dulu sebenarnya Doddy bukan anak baik, tante, Doddy hanya anak berandalan, teman-teman Doddy tidak jauh dari alkohol, narkotik, dua kali Doddy pernah hampir mati karena OD, Doddy malah sudah putus asa, tante, Doddy tidak tahu apa Doddy bisa berubah dan lepas dari narkotik tapi waktu Doddy lihat semangat Feni untuk bisa berdiri dengan mengandalkan kaki sendiri meski dia tidak bisa melihat, Doddy sadar selama ini Doddy hanyalah anak manja dan sedikit demi sedikit Doddy sudah mulai bisa lepas dari barang-barang haram itu.”
Doddy salah mengambil jalan pun karena selama ini dia kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan anaknya. Doddy hanyalah salah satu dari sekian anak korban broken home.
“Sebenarnya kamu ini anak baik, Doddy, hanya saja karena pergaulan kamu jadi salah memilih jalan, syukurlah kalau kamu akhirnya sadar.”
“Doddy bukan anak baik, tante, Doddy tidak sebaik yang tante kira.”
Doddy menundukkan kepalanya membenamkan wajahnya dibalik kedua lututnya. Tubuh Doddy bergetar. Dia tampak sedang menyembunyikan suatu masalah besar tapi tak sanggup untuk diungkapkannya. Dan Doddy pun tidak kuasa lagi menyimpannya lebih lama. Apa yang terjadi pada anak remaja ini?
“Dod, kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja, jangan kamu pendam seperti ini. Beban akan terasa lebih ringan kalau kita mau berbagi cerita dengan orang lain meskipun Tante mungkin tidak bisa memecahkan masalahmu tapi Tante bersedia menjadi pendengar Doddy yang baik.”
“Doddy… Doddy….” Tenggelam kembali kata-kata yang sudah hampir meluncur dari bibirnya. Dia takut ibu Feni marah jika dia mendengar pengakuannya ini. “Tante, Doddy lah yang telah menabrak Feni dan ayahnya malam dua tahun yang lalu, maafkan Doddy, Tante, Doddy memang salah.”
Ibu Feni terkejut mendengar pengakuan pemuda ini. Dia tidak mengira ternyata Doddy lah pelaku yang telah menabrak suami dan anaknya lalu kemudian melarikan diri. Tapi kenapa dia harus melarikan diri dan tidak menolong korbannya? Dokter pernah mengatakan, andai saja korban ini dibawa ke rumah sakit lebih cepat mungkin masih bisa tertolong. Ayah Feni meninggal karena kehabisan banyak darah.
“Waktu itu Doddy takut sekali, tante, waktu melihat darah bercecaran di jalan, Doddy benar-benar takut, Tante, Doddy tidak mau masuk penjara, Tante, tapi Doddy sudah membunuh ayah Feni dan membuat Feni jadi buta, Doddy jadi merasa sangat bersalah, selama ini dosa itu terus menghantui Doddy, Tante, Doddy juga tidak mengira kalau akan bertemu lagi dengan Feni, tadinya Doddy juga tidak tahu kalau dia korban yang sudah Doddy tabrak lalu setelah mendengar cerita dari Feni tentang matanya yang buta, barulah Doddy sadar Feni adalah orang yang pernah ditabrak Doddy.”
Ibu Feni tidak mampu berbicara apa-apa lagi. Doddy hanya diam tertunduk menahan kesedihannya. Dan diantara keheningan mereka, dari jarak yang tidak begitu jauh terdengar suara benda terjatuh.
“Feni.” Terkejut Doddy dan ibu Feni melihat gadis itu berdiri tak jauh ditempat mereka. Tongkat Feni terjatuh, dia pasti sudah mendengar semua pengakuan dosa Doddy.
“Jadi… Jadi… kamu pelakunya?! Kamu yang sudah buat Ayah meninggal dan mataku buta! Aku nggak nyangka, Doddy, jadi selama ini kamu dekati aku cuma buat menembus dosa! Kamu jahat, Doddy! Kamu udah mempermainkan aku!” airmata Feni jatuh mengalir.
“Feni, dengarkan dulu penjelasan aku.”

“Apa yang perlu dijelaskan lagi? Semuanya sudah jelas, kamu nggak pernah sayang aku kan? kamu nggak pernah cinta aku, kamu melakukan semua ini karena kamu merasa bersalah sama aku. Kamu cuma pengen menebus dosa kamu kan?”
“Aku cinta sama kamu, Fen, tulus. Aku dekati kamu bukan sekedar buat menebus dosa, aku bener-bener sayang kamu.”
“Kamu tuh orang yang nggak punya hati, Dod, kalau kamu emang punya hati, nggak mungkin kamu biarin Ayah aku mati begitu saja, aku nggak keberatan sekalipun mata aku buta untuk selamanya, tapi kamu udah bunuh Ayah, Dod… kamu tahu berartinya Ayah buat aku seperti apa?”
“Aku tahu ini salah aku, aku minta maaf, aku juga tersiksa karena terus menanggung beban dosa ini, aku mengaku awalnya aku deketin kamu cuma buat menebus dosa, seenggaknya untuk meringankan beban di hati aku tapi selama dekat sama kamu, kenal sama kamu, semakin lama perasaan cinta yang awalnya cuma pura-pura membuat aku benar-benar cinta sama kamu, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengakui cinta, tapi aku nggak bisa berbohong lagi, kamu tahu sendiri kan cinta datang tidak diundang, kamu juga pernah merasakan jatuh cinta, kamu pasti tahu seperti apa rasanya.”
Feni terdiam sejenak. Dia mengerti seperti apa rasa sakit menanggung beban dosa seperti yang dialami Doddy sekarang. Dan dia tidak mau menjadi orang yang telah menyiksa hati orang lain, meskipun masih berat baginya menerima kenyataan, orang yang dicintainya adalah pembunuh Ayahnya.
“Okey, aku maafin kamu, aku juga nggak mau jadi orang jahat yang menyiksa perasaan orang lain dengan nggak memberinya maaf. Tuhan saja bisa memaafkan, kenapa aku manusia nggak?” Doddy tersenyum senang mendengarnya. Dibalik kekesalan Feni masih ada kata maaf dihatinya. “Tapi aku ingin kita seperti dulu lagi, anggap aja diantara kita nggak pernah ada apa-apa, yah mungkin hanya sekedar teman, ketemu selewat, udah nggak ada kejadian apa-apa diantara kita, nggak ada hubungan apa-apa karena terlalu sulit buatku jadi pacar kamu.”
“Ok, aku terima, aku senang kamu sudah maafin aku, tapi tadi kamu bilang anggap aja kita sekedar temen atau ketemu selewat lalu kenalan, kalau gitu berarti kamu memperbolehkan aku buat mendekati kamu sekali lagi, mengambil hati kamu sekali lagi dan dari teman bisa menjadi pacar lagi.”
Feni terkesiap mendengarnya. Maksud hatinya dia ingin mengusir Doddy dengan cara halus, tapi Doddy malah mengatakan akan mengambil hatinya lagi. Seenaknya saja dia mengambil keputusan.

“Terserah kamu.” Feni berlalu tanpa menoleh lagi. Dan Doddy hanya bisa tersenyum senang melihat kesediaan Feni membuka hatinya lagi untuknya, dia bertekad akan memenangkan hati Feni kembali.

Minggu, 26 Juli 2015

Kisah singkat tentang cinta pertama

Ketika Saskia tengah duduk di sebuah kursi rotan yang diletakkan di teras rumahnya, dia melihat sesosok punggung cowok tinggi tengah bermain bulu tangkis di halaman rumahnya bersama dengan abangnya, Reza. Dahi Saskia berkerut heran, teman abangnya kah cowok itu? Rasanya dia tidak terlalu mengenalnya, meski hanya terlihat punggungnya biasanya dia bisa langsung mengenali teman abangnya yang sering datang ke rumah.
Sebuah kok jatuh tak jauh dari tempatnya duduk, cowok berpostur kurus itu lalu berbalik untuk mengambilnya, dalam hati Saskia berdoa, berharap cowok itu menoleh kearahnya. Dan hanya selang beberapa detik, usai cowok itu mengambil koknya, dia lalu menoleh, bukan hanya sekedar menoleh tapi menatap lalu dia menyunggingkan seulas senyum menawan. Saskia terhenyak, karena terlalu terpesona pada senyumnya, dia sampai lupa bagaimana cara menyetel senyum manis di bibirnya, Saskia hanya mampu membalas dengan senyum kaku. Si cakep lalu kembali pada permainannya.
Saskia memegangi dadanya sendiri, kenapa dentuman jantungnya terasa begitu kencang? Nafasnya pun terasa sesak, apa ada yang telah menyumbat paru-parunya? Dia pun merasa pipinya panas, rasanya seperti baru saja direbus dalam dandang besar, pasti warnanya pun sudah memerah. Saskia sama sekali tidak memahami, ada apa dengan dirinya? Mengapa dia jadi salah tingkah seperti ini.
Saskia lalu beranjak dari tempat duduknya kemudian dia berlari ke kamarnya yang berada di lantai atas. Dengan cepat dia berlari lalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat, disandarkannya punggungnya di balik pintu kamar, Saskia tersenyum sendiri saat kembali terbayang olehnya pesona senyum cowok tadi yang begitu rupawan.
Ingin sekali tadi dia menyapa lalu mengajak berkenalan, tapi Saskia sama sekali tidak berani. Bagaimana dia bisa menyapa lalu mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan, kalau dia sendiri sama sekali tidak bisa menenangkan jantungnya yang hingga kini masih berdetak tidak karuan.
Dipandangnya telapak tangannya yang masih menyisakan gemetaran, dia lalu melompat ke atas tempat tidur. Memeluk gulingnya erat-erat kemudian membenamkan wajahnya ke guling dan berteriak sekuatnya.
Inikah yang namanya cinta pertama? Rasanya begitu indah, seperti tengah menikmati keindahan taman bunga, menyebarkan harum ke seluruh penjuru dunia dengan hamparan rumput hijau yang menyejukkan. Keindahannya selalu membuat wajah ingin tersenyum.
                                                                                    ***
“Sasi! Dipanggil Mama!” Reza berteriak dari ujung tangga.
Mendengar panggilan abangnya, sontak Saskia melompat dari tempat tidur. Dirapikannya rambut panjangnya yang tergerai menutupi punggung dengan sisir, agar tampak manis dia menyematkan sebuah jepit. Karena yakin teman Reza masih ada dibawah, Saskia tidak ingin wajahnya terlihat tampak pucat, dia lalu memupuri wajahnya dengan bedak dan memoles bibirnya dengan lip gloss. Setelah rapi dia lalu turun.
Dengan langkah riang Saskia menuruni anak tangga, tapi sejenak kemudian dia tertegun melihat Hamzah bolak-balik didalam rumahnya. Lalu dengan tidak sopannya dia duduk di sofa ruang tengah bersila lalu dia menonton televisi.
Tidak sopan sekali cowok ini? Saskia mendumal kesal. Tampang sih boleh ganteng tapi sikapnya di rumah orang kok kurang ajar!
“Hamzah, dicoba tuh kuenya, buatan Sasi loh.” Mama mempromosikan.
“Oh, iya tante, wah enak nih.”
“Ma, siapa sih dia, kok dusun* banget.”
“Loh, masa Sasi nggak kenal sama A Hamzah, kakaknya Vivi, anak sulung Bi Hani.”
Mata Saskia membalalak dengan mulut menganga. Dia sama sekali nggak kenal dengan abangnya Vivi yang sekarang sedang bersekolah di Serang itu. Saskia kecewa berat, kiranya dia teman Reza. Tapi meski begitu Saskia tetap menikmati keindahan pesona Hamzah dan getaran ketika dia tengah jatuh cinta meski hanya sekejap saja.
(Cerita ini sekilas kisah pertama kali aku merasa berdebar-debar saat bertemu cowok yang ternyata sepupuku sendiri dan hanya Tuhan yang tahu siapa sepupuku itu)




* Dusun = gak sopan

Lembar Pertama : Birunya Langit Cinta (Senangnya menjadi calon mahasiswi)

Ilustration of Annisa
“Kamu nggak ingin masuk IAIN atau STIA, mengambil jurusan tarbiyah begitu?” tanya Ayahnya pada si bungsu untuk yang kesekian kalinya, dengan harapan kali ini si bungsu mau meraih gelar S.Ag seperti yang diharapkannya pada salah satu anaknya, kemudian ia mengajar di salah satu madrasah dan mengabdikan dirinya menjadi seorang Ustadzah.
Putra sulungnya Ahmad malah memilih menjadi sarjana ekonomi sementara Salma mengambil jurusan Perbankan dan sekarang Annisa ingin kuliah ditempat yang sama seperti kedua Kakaknya dan mengambil jurusan komputer.
“Annisa ingin kuliah ditempatnya Kak Salma, Bi. Boleh yah?” Annisa pun mulai mengeluarkan jurus merajuknya. 
Biasanya Annisa memang selalu menuruti keinginan Ayahnya, apapun itu tanpa pernah membantah.
Tetapi kali ini entah mengapa dia ingin sekali kuliah di kampus yang sama dengan Kakaknya. Kampus itu telah menjadi impian Annisa sejak Kakak sulungnya berkuliah disana. Kampusnya sangat besar dan banyak orang-orang hebat seperti menteri dan pejabat tinggi lainnya berasal dari kampus Kakaknya. Sekarang setelah Kakak perempuannya juga terdaftar sebagai mahasiswa disana, keinginan Annisa untuk masuk kampus hijau itu semakin besar.
“Ya sudah, kamu daftarlah kesana, biar nanti Kak Ahmad yang mengantarkanmu.” Akhirnya Ayahnya kali ini mau mengalah.
Walaupun harapannya agar salah satu dari anaknya bersedia mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar agama telah pupus, tapi beliau tetap percaya anak-anaknya suatu hari akan menjadi orang yang berguna. Mereka tentu memiliki masa depan masing-masing yang telah ditakdirkan bagi mereka dan sebagai seorang Ayah, Pak Usman tidak bisa memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya.
“Hore! Terima kasih ya, Bi.” Dengan perasaan gembira, Annisa lalu memeluk dan mengecup pipi Ayahnya.
Usai perdebatan yang lumayan panjang itu, Annisa kembali ke kamarnya yang berada dilantai atas. Dia menari-nari gembira setelah mengantongi izin dari Ayahnya untuk bisa berkuliah ditempat yang sama dengan kedua Kakaknya. Akhirnya impiannya untuk kuliah disana terwujudkan juga, sebentar lagi dia akan menyandang status mahasiswa. Apalagi dua sahabatnya, Saskia dan Sarah, juga masuk universitas yang sama, tentu saja Annisa merasa gembira.
“Annisa.” Suara Salma terdengar dari kamar yang dilewati Annisa.
“Apa, Kak?” Annisa menyahut.
“Sini masuk,” perintah Salma. Annisa menurut saja. Dia lalu masuk ke kamar yang pintunya tidak tertutup itu.
Ilustration of Salma
Kamar Salma yang bernuansa hijau terasa sejuk dimata saat Annisa memasukinya. Buku-buku tentang ekonomi dan perbankan tampak tersusun rapi di rak. Sudah lama juga dia tidak memasuki kamar ini, karena Salma akan marah jika kamarnya dimasuki tanpa seizinnya. Annisa tentu menghargai hal itu, karena dia pun akan merasa marah jika kamarnya dimasuki orang lain tanpa seizinnya.
Salma sedang duduk didepan meja belajarnya dan membelakangi Annisa, si bungsu lalu duduk diatas tempat tidur samping meja belajar Kakaknya.
“Kamu serius mau masuk kampus itu?”
“Serius dong!" seru Annisa bersemagat. "Annisa sudah mohon-mohon sama Abi.”
“Hati-hati loh, dikampus Kakak ada penjahat wanita, nanti kamu jangan sampai tergoda rayuannya ya.”
Dahi Annisa menaik. “Penjahat wanita? Apa itu?” tanya Annisa polos. Salma hanya menepuk dahi. Bagaimana dia harus menjelaskan pada adiknya yang polos ini tanpa harus membuat adiknya berpikir yang tidak-tidak.
“Penjahat wanita itu, laki-laki yang suka menggoda, merayu dan mempermainkan perempuan, pokoknya orang yang jahat sekali sama perempuan.”
“Oh, tenang saja… Annisa nggak akan tergoda sama laki-laki seperti itu,” lagipula aku memang tidak tertarik mendekati laki-laki. Untuk apa? Tidak penting. Pacaran itukan tidak boleh dalam agama Islam, dan juga hanya buang-buang waktu saja. Tujuannya kuliah adalah untuk menuntut ilmu dijenjang yang lebih tinggi, bukan untuk pacaran.
Salma memang seharusnya tidak usah khawatir pada adiknya yang dikenal kaku pada laki-laki ini, tapi sebagai Kakak dia tetap harus mengingatkan adiknya. Annisa memang persis seperti Kakak sulungnya yang dingin pada perempuan. Makanya sampai sekarang Kak Ahmad masih belum menikah juga, boro-boro menikah, calon istri saja dia tidak punya padahal umurnya sudah tiga puluh tahun.
Kedua orang tuanya sampai merasa khawatir padanya dan mulai sibuk mencarikan jodoh untuknya. Banyak perempuan yang dikenalkan padanya tapi dasar laki-laki kaku, belum ada satupun perempuan yang bisa menarik hati Kakaknya. Padahal banyak perempuan yang tergila-gila padanya. Salma sampai bertanya-tanya perempuan seperti apa kiranya yang dapat meluluhkan hati Kakaknya.
“Yah, pokoknya kamu harus hati-hati saja, Ok.”
“Sip!” Annisa mengacungkan ibu jarinya.
                                                                        ***
Saat masa pendaftaran, Ahmad mengantarkan adiknya sesuai dengan instruksi Ayahnya. Karena dia merupakan alumnus kampus ini, dia telah hapal seluk-beluk kampusnya. Sambil berjalan dari gerbang utama menuju sekretariat penerimaan mahasiswa baru, Ahmad mengenalkan sedikit tentang kampusnya.
“Silahkan duduk,” tawar perempuan muda yang menjadi panitia PMB.
“Aisyah,” sapa Ahmad yang mengenali gadis muda itu. “Kamu jadi panitia PMB?”
“Eh, Kak Ahmad.” Tersipu malu Aisyah saat disapa oleh alumni yang dikenalnya. “Begitulah, Kak. Kakak mau daftarkan siapa?”
“Nih, Annisa. Katanya dia mau kuliah disini.”
“Oh, Annisa sudah mau kuliah yah, lama tidak bertemu? Terakhir ketemu kamu kan baru kelas satu SMA.”
“Iya dong, aku kan sudah besar sekarang,” ujar Annisa bangga. 
Usianya kan sudah hampir delapan belas tahun. Sebentar lagi menjadi mahasiswa bahkan dia berencana akan membuat KTP, lalu dia bisa ikut pemilu. Rasanya menyenangkan sekali menjadi gadis remaja. Kata orang masa remaja adalah masa yang paling indah dan Annisa sangat menantikan masa-masa itu. 
“Kak Aisyah kemana saja, kok nggak pernah main lagi ke rumah?”
Aisyah hanya mengulas senyum tipis. Dia kan hanya pelanggan toko Abi Annisa, tapi karena kebetulan pernah sekelas dengan Salma saat SMA, dia jadi sering mampir ke rumah Annisa untuk belajar bersama. Hanya saja sejak dia kuliah di kampus yang sama dengan Ahmad, dia jadi jarang main ke rumah Annisa lagi.
“Insya Allah, kapan-kapan deh Kak Ai mampir, Annisa mau masuk fakultas apa? Ekonomi seperti Kak Ahmad?” Aisyah lalu memberikan formulirnya pada Annisa.
“Nggak deh, Annisa mau masuk fakultas informatika saja, ekonom itu biasanya pelit.” Aisyah hanya tersenyum mendengar komentar Annisa. “Mengeluarkan modal sekecilnya untuk mendapatkan untung sebesarnya, apa namanya kalau bukan pelit coba?”
“Terserah kamu saja deh, cepat isi formulirnya,” tukas Ahmad sambil menarik pelan telinga adiknya. Annisa hanya menyeringai lalu dia mulai mengisi formulir pendaftarannya.
Ilustration of Ahmad
Karena Ahmad sudah memberitahukan berkas apa saja yang diperlukan oleh Annisa saat mendaftar, dia pun telah menyiapkan semuanya. Satu persatu data diisinya untuk memenuhi syarat pendaftaran masuk kampus impiannya.
Aisyah pun tidak perlu menunjukkan brosur kampus karena Annisa sudah hapal betul dengan kampus ini. Beberapa kali dia pernah mendatangi kampus saat dia masih duduk dibangku SMA dan tentu sempat bertanya-tanya pada Kakak-kakaknya mengenai kampus impiannya sebelum dia mendaftarkan diri. Usai mengisi formulir dia lalu memberikan formulir beserta berkas yang diperlukan dan uang pendaftaran.
“Terima kasih, Annisa.” Aisyah lalu menginput data Annisa ke dalam komputer dan hasil outputnya merupakan kartu kepesertaan test dan tak lupa Aisyah juga memberikan souvenir berupa stiker dan juga mug dengan logo kampus mereka sebagai kenangan. “Untuk test masuknya kamu tahu kapan kan?”
“Iya, tanggal dua delapan kan? Masih lama, masih ada waktu buat aku belajar.”
“Sukses ya, Annisa. Kamu harus lulus test, menyenangkan loh kuliah disini.”
“Terima kasih, Kak.”
Annisa tersenyum senang saat menerima kartu peserta test masuk. Kebahagiaannya mendapatkan kartu ini seperti dia baru saja mendapatkan lotre dengan hadiah miliyaran rupiah saja, sampai-sampai Annisa tidak mau berpaling dari kartu pesertanya. Dipandanginya terus kartu ujian itu dengan saksama sambil mengikuti langkah kakanya. Karena terlalu serius memerhatikan kartu pesertanya dia sampai tidak melihat sekitarnya.
“Aduh!” pekik Annisa kesakitan saat dia menabrak tubuh seseorang, dia pun jatuh terduduk dilantai.
“Maaf, kamu nggak apa-apa?” Rupanya seorang laki-laki yang menabrak Annisa. Tapi saat laki-laki itu hendak membantunya bangun, dia menolak.
“Terima kasih, saya bisa bangun sendiri.” Seperti daun putri malu yang langsung mengerut saat disentuh tangan manusia, Annisa jadi serba salah sendiri saat bertemu dengan laki-laki.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya sekali lagi.
“Saya baik-baik saja.” Tanpa permisi dia pun bergegas lari menghampiri Kakaknya yang tidak menyadari dia terjatuh dan terus berjalan di depan.
“Faisal, sedang apa kamu disitu? Sini temani aku.” panggil Aisyah saat dia melihat temannya sedang berdiri mematung ditengah-tengah jalan. Faisal pun segera menghampiri.
“Ai, siapa tadi?”
“Itu adiknya Salma.”
“Masa? Kok nggak mirip.”
“Dia mirip Abangnya.”
Adiknya Salma berarti adiknya Ahmad juga. Tapi adiknya yang satu ini lebih cantik dan kelihatannya sangat pemalu. Faisal malah jadi tersenyum-senyum sendiri sambil mengingat kembali wajah cantik Annisa.

Kamis, 16 Juli 2015

Lembar Pembuka : Birunya Langit Cinta

Annisa memerhatikan anak laki-laki berbadan kurus yang berdiri tak jauh darinya. Dia memakai T’ Shirt dan bersyal yang dipadankan dengan celana cargo. Annisa tahu anak laki-laki itu merupakan anak Paman yang tadi ditabraknya, dan Annisa tidak menyukainya karena Ayahnya sangat galak, karena tadi dia habis dimarahi.
Tapi sebenarnya itu juga karena kesalahannya sih. Dia lari-lari saat memasuki kantor Pamannya sehingga menabrak Bapak-bapak yang sedang berdiri. Bapak itu juga sebenarnya tidak memarahi, hanya mengingatkan agar Annisa jangan lari-lari tapi karena suaranya besar jadi Annisa merasa dimarahi dan dia jadi terlanjur kesal pada Bapak itu.
Annisa kemudian menyeringai. Sebuah ide jahil muncul dalam benaknya. Dengan langkah mengendap dia lalu mendekati anak laki-laki yang diperkirakan usianya lima tahun lebih tua darinya. Saat dia berada tepat dibelakang anak laki-laki yang sedang berdiri tegak itu, dengan iseng Annisa menendang kakinya sekencang mungkin agar terjatuh.
Anak laki-laki itu kontan terkejut, dia sama sekali tidak mengira akan dijahili orang yang tidak dikenalnya. “Hei, awas kamu!” teriaknya sambil bersusah payah berdiri. Tapi yang diteriaki anak laki-laki itu sudah keburu lari kocar-kacir.
Karena anak laki-laki itu mengejarnya, Annisa terus lari dan lari sekuat tenaga diantara sekerumunan orang-orang dewasa yang berada di kantor Pamannya. Karena tak ada jalan lagi Annisa pun masuk ke dalam sebuah lift dan bergegas menutupnya. Tapi tak disangkanya anak laki-laki itu larinya kencang dan dia cukup gesit untuk masuk di sela pintu lift yang nyaris tertutup.
“Ha-ha… kena kamu yah! mau kemana kamu sekarang?” ancam anak laki-laki itu. Lalu dia memencet tombol lantai 12 agar lift segera berjalan. Annisa pun pasang kuda-kuda untuk membela diri.
“Aku nggak takut,” tantangnya. “Asal kamu tahu aja, aku pernah mukul cowok yang badannya lebih besar dari kamu,” ujarnya bangga.
“Siapa kamu? Kenapa kamu iseng sekali?” suara anak laki-laki itu pun melunak. Mungkin karena dia merasa untuk apa melawan anak perempuan yang usianya lebih muda dan badannya lebih kecil darinya, bukankah itu hanyalah tindakkan pengecut.
“Ayah kamu tuh tadi yang marahi aku, huh!”
Anak laki-laki itu mengerutkan dahi. Loh memangnya apa hubungannya dengan dia? Ayahnya yang memarahi kenapa jadi dia yang diisengi? Apa anak perempuan ini bermaksud membalas dendam padanya? Tapi belum sempat terjadi apa-apa diantara dua bocah yang sedang berada dalam lift itu. Tiba-tiba lift bergetar dan mendadak berhenti.
“Eeehh… kok berhenti? Kamu yang berhentikan yah?” tuduhnya.
“Liftnya berhenti sendiri, mungkin mati listrik atau ada kerusakan.” Bocah itu segera menekan beberapa tombol disana dengan harapan lift akan bergerak tapi percuma, lift tetap tidak bergerak.
Annisa lalu mendekati pintu lift, dengan gerakan seolah ingin meninju seseorang dia malah memarahi lift. “Heh, lift! Kenapa kamu berhenti? Kita semua masih ada di dalam tahu!” teriaknya dengan kencang.
“Dasar anak bodoh, untuk apa kamu memarahi lift? Memangnya lift mengerti omongan kamu?” Dengan wajah cemberut, Annisa lalu kembali ke belakang bocah tadi dan duduk bersandar di lift.
“Sampai kapan liftnya jalan lagi?”
“Mana aku tahu, aku kan bukan tukang service.” Anak laki-laki itu lalu ikut duduk disebrang Annisa.
“Kamu tahu nggak, aku pernah memukul anak yang badannya sangat besar, habis dia sudah buat Kak Salma menangis, jadi kupukul saja dia. Sudah begitu dia menangis, padahal badannya kan besar tapi dia cengeng.” Annisa lalu tertawa usai dia mengisahkan kehebatannya.
“Anak perempuan kok suka memukul? Itukan tidak boleh.”
“Habis aku sebal, berani sekali dia memukul Kakakku, makanya kubalas saja biar dia tahu kalau dipukul itukan sakit.”
“Memang kamu membalas dia agar dia merasakan kalau dipukul itu sakit, tapi anak perempuan tetap saja tidak boleh kasar dan jahil, seharusnya anak perempuan itu bisa bersikap manis.”
Annisa terdiam mendengar nasihat anak laki-laki yang baru dikenalnya ini. sekarang dia jadi berpikir, kenapa tadi dia menjahili anak yang tidak kenal ini? Hanya karena Ayahnya sudah memarahinya tadi lalu dia lampiaskan padanya.
“Nama kamu siapa?”
“Namaku Annisa. Lengkapnya Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, baguskan namaku,” jawabnya bangga. Dia memang sangat menyukai namanya yang indah. Orang tuanya bilang, nama indah pemberian orang tua adalah doa karena itu dia bahagia orang tuanya memberikan nama indah padanya.
“Namamu bagus sekali, Khumaira itukan panggilan kesayangan Rasulullah untuk istrinya Aisyah Ra.”
“Itu betul. Kamu tahu tahu juga yah?”
“Tentu saja aku tahu, karena aku sangat menyukai Aisyah, Ra. Annisa, kamu kesini sama siapa?”
“Sama Paman Abdullah.”
“Oh, Om Abdullah itu Paman kamu? Dia orangnya baik loh.”
picture by devianart
“Iya dong…. Paman orang paling baik sedunia.” Annisa menggerakkan tangannya membentuk sebuah lingkaran besar. “Sebentar lagi Paman mau menikah, nanti aku mau pakai jas saat Paman menikah.”
“Kok pakai jas, harusnya kan gaun.” Bocah itu lalu memerhatikan Annisa yang berpakaian layaknya anak laki-laki, potongan rambutnya pun persis seperti anak laki-laki. “Kalau kamu pakai rok pasti cantik.” Annisa memberengut lalu dia menunduk.
“Tidak ada yang pernah bilang aku cantik, kata teman-teman aku ini galak seperti preman pasar, katanya sudah besar aku pasti tidak akan ada yang suka nanti nggak bakal nikah-nikah dan jadi perawan tua.”
“Siapa yang bilang begitu? Tidak ada yang boleh berkata kasar seperti itu. Masa depan orang kan rahasia Allah, mungkin saja nanti Annisa bertemu dengan laki-laki yang menyukai Annisa lalu menikah.” Senyum manis terkembang dari bibir Annisa. Rasanya dalam hidupnya selama tujuh tahun ini, baru kali ini ada yang menyebutnya cantik selain kedua orang tuanya.
Biasanya oleh teman-temannya dia dikatai jelek, oleh Kakak perempuannya pun dia dibilang tampan bukan cantik. Karena Annisa selalu berpenampilan seperti anak laki-laki dan tingkahnya pun benar-benar tomboy. Apalagi dia dekat dengan Kakak laki-lakinya dan selalu meniru tingkah Kakak laki-lakinya.
“Liftnya kok nggak jalan-jalan sih? Rusak yah? Panas nih. Kalau kita kehabisan udara gimana? Masa kita bakal mati disini.”
“Iya ya, lama sekali. Ada apa ya, mungkin kerusakannya parah atau jangan-jangan tidak ada yang tahu kalau kita berada disini. Kita berdoa saja semoga liftnya cepat jalan lagi.”
“Tapi aku takut.” Suaranya mulai berubah menjadi isak.
“Jangan takut, sama anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar saja kamu berani masa sekarang kamu takut?”
“Tapi kan… tapi kan disini nggak ada siapa-siapa, aku takut.” Annisa mulai menampakkan wajah sedih dan takut lalu dia pun menangis. Karena merasa kasihan anak laki-laki itu menghampiri Annisa lalu duduk disampingnya. “Ummi. Abi. Paman. Kak Ahmad. Kak Salma.” Tangis Annisa semakin kencang saat dia menyadari tidak ada siapa-siapa didekatnya.
“Ssst… jangan takut.” Dipeluknya Annisa untuk menenangkannya. “Masih ada aku kok, kalau kamu takut kamu bayangkan saja sesuatu yang menyenangkan nanti nggak akan takut lagi.” Annisa menuruti saran anak laki-laki itu lalu dia memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Dan dia teringat saat dia menjahili anak laki-laki yang duduk disebelahnya ini, dia ingat wajahnya yang memerah setelah terjatuh lalu Annisa pun tertawa. “Nah, kamu tertawa lagi, kamu ingat apa?”
“Ingat saat kamu jatuh tadi,” jawab Annisa lugas. Tak lama kemudian lift dapat kembali bergerak, lalu pintu lift terbuka. Saat Annisa melihat Pamannya berdiri dibalik pintu serta-merta Annisa langsung memeluk Pamannya lalu dia menangis. Digendongnya Annisa lalu ditepuk-tepuknya punggung keponakannya.
“Sudah-sudah jangan menangis, untung saja liftnya bisa jalan lagi, Paman tadi cemas sekali dengar kamu ada didalam lift yang mati, Annisa. Lain kali jangan masuk ke dalam lift sendirian yah.”
Dari bahu Pamannya Annisa melihat anak laki-laki itu bersama dengan Ayahnya. Dia juga mendapat pelukan dari Ayahnya. Ayahnya pasti juga mencemaskannya seperti Paman Abdullah. Annisa lalu meminta Pamannya untuk menurunkannya, dia harus mengucapkan terima kasih pada anak laki-laki itu.
“Hei.” Annisa menepuk bahu anak laki-laki tadi. “Terima kasih ya,” ujarnya seraya dia berjinjit lalu mengecup pipinya. Anak laki-laki itu tersenyum lalu dia melepaskan cincin yang ada dijarinya dan disematkannya di jari tengah Annisa.
“Ini hadiah dariku, aku suka kamu, kalau sudah besar nanti harus jadi istriku yah.”
“Iya, janji yah, kalau sudah besar nanti kita akan menikah.” Annisa memperlihatkan jari kelingkingnya, lalu dikaitkannya jari kelingkingnya dengan jari kelingking anak laki-laki itu. Walaupun dia sendiri tidak tahu apa arti dari janji yang diucapkannya.
Sejak itu Annisa pun tidak menjadi anak yang jahil dan galak lagi. Dia pun jadi senang mengenakan rok, tak pernah lagi mau mengenakan celana panjang. Dia juga tak pernah lagi memanjat pohon ataupun naik keatas genting. Rambutnya yang selalu dipotong pendek sudah mulai di panjangkan. Meski kedua orang tuanya heran karena si bungsu tiba-tiba berubah jadi feminin tapi mereka tak pernah bertanya apa yang membuat Annisa ingin berubah. 

Tapi pertemuannya dengan anak laki-laki yang belum sempat dia tanya namanya itu, tak pernah terjadi lagi. Bahkan Annisa pun perlahan-lahan mulai melupakan kejadian dalam lift itu.

Rabu, 15 Juli 2015

Valentine manis untuk Eka

“Valentine ntar lu bakal rayain ama siapa, K, Nick bakal pulang ga?” Ina memerhatikan Eka yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Eka mendesah.
Kurang dari seminggu lagi tanggal 14, hari yang dinanti-nanti oleh ABG terutama anak perempuan, apa lagi kalau bukan valentine tentunya. Hari kasih sayang. Ah, konyol sekali rasanya jika kasih sayang hanya diperingati sekali dalam setahun, kalau kita mau, kasih sayang bisa saja diperingati setiap hari. Hanya karena St. Valentine sering menjodoh-jodohkan orang lantas hari lahirnya diperingati sebagai hari Valentine.
Tahun ini Maya, teman satu kost-nya, akan melewatkan Valentine-nya lagi dengan Dimas, dan mereka pasti akan merayakan Valentine sambil merayakan hari jadian mereka. Siapa yang akan menyangka kalau Maya dan Dimas bisa bertahan sampai setahun, Maya yang biasanya cepat bosan ternyata bisa awet juga sama si kutu komputer – Dimas demen banget berselancar dengan internetnya, makanya teman-teman menjulukinya kutu komputer. 
Sementara Ina yang dua bulan lalu masih jomblo, ternyata berhasil juga ngegebet kapten tim basket sekolah mereka. Bikin para penggemar si duta sekolah patah hati. Habis syarat untuk menjadi pacar Ina itu susah, dia ingin pacar yang tingginya sepuluh senti diatasnya sedangkan Ina sendiri tingginya mencapai 170, makanya yang berhasil ngegebet Ina cuma Tyan, cowok paling jangkung di sekolah.
Tapi Eka sama sekali nggak punya rencana untuk menghabiskan malam valentine ini dengan siapapun, termasuk Nick. Walaupun cowok yang sedang kuliah di Aussie itu telah menjadi kekasihnya sejak tahun lalu.
“Nggak mungkin Nick bakalan pulang, gue ga yakin.” Eka masih meneruskan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk. Nggak ada hairdryer di tempat kost, kerena mereka harus menghemat pengeluaran.
“Tahun lalu Nick pulang kan? Elu bersenang-senang sama dia.” Maya ikut nimbrung.
“Iya, tahun kemarin dia datang, gue pikir dia ga bakalan balik.”
“Siapa tahu sekarang juga dia bakal kasih surprise lagi buat lu dengan pura-pura nggak pulang… ah, nyesel gue waktu dia pulang ga sempet lihat padahal gue penasaran pengen lihat mukanya kayak apa, dari situ dia ga pernah pulang lagi ya, apa lu ga papa ditinggalin terus sama cowok lu begini?”
“Kado dan bunga dari Nick kan selalu datang.” Maya malah yang menjawab.
Lalu belum sempat Eka memberikan pendapatnya tentang cowoknya yang berada diluar negeri, pintu rumah kontrakan mereka ada yang mengetuk. Ina lalu berjalan ke depan untuk membukakan pintu.
“Gue ga butuh kado karena gue ga pacaran sama kado,” tukas Eka kesal.
“Duh… datang lagi nih bingkisan dari Nick.” Ina menyela dua menit kemudian. “Tadi ada kurir yang kirim kado ini.” Diserahkannya kotak berpita soft pink pada Eka.
Eka mengangkat alisnya, digantungkannya handuk basahnya di tempat jemuran. Kemudian dia meraih sisir untuk merapikan rambutnya. “Buka gih,” ujarnya pada teman-temannya.
Mereka lalu membantu Eka membuka bingkisan dari Nick. Tidak ada alamat pengirim dan bingkisan diantar jasa kurir, tidak beralamatkan dari Aussie seperti yang biasanya. Ina dan Maya terkejut ketika melihat isinya, sebuah dress berwarna gading. Dress cantik yang pernah mereka lihat di salah satu etalase toko, bagaimana mungkin Nick yang berada di Aussie tahu baju ini pernah menghipnotis Eka sesaat.
“Cindy,” desis Eka. “Dia pasti yang kasih tahu Nick kalo gue suka baju ini.”
“Adiknya Nick itu? Elu cerita sama dia?”
“Gue pernah jalan ama dia beberapa kali dan lihat gue sering berhenti depan etalase toko baju ini.”
Wuih, perhatian sekali adiknya Nick itu sampai tahu apa yang disukai pacar Kakaknya, lalu menyampaikannya pada Nick agar mau membelikan dress ini untuk kekasihnya yang berada jauh di Indonesia. Mereka tadi sempat berpikir Nick ada di Indonesia, mungkin dia sudah pulang tanpa sepengetahuan Eka, buat surprise.
“Jangan-jangan Nick pengen elu pakai baju ini ke suatu tempat, lalu kalian berdua merayakan valentine, siapa tahu dia ngajak elu ke resto, K.”
“Ga mungkin, My, dia ga bakalan seromantis itu.”
“Eh, kata siapa, ini ada kartu dari Nick, katanya ‘valentine nanti, aku tunggu kamu di kafe Casabalanca, pakai dress ini ya’.” Dengan suara keras Ina membacanya. “Tapi kok dia ga jemput sih?”
“Nah itu yang gue ga suka, makanya gue ga bakalan datang, lagian kan tadi gue udah bilang, gue ga butuh kado karena gue ga pacaran sama kado.” Tapi meski Eka mengatakan itu, dia tetap merampas bingkisan itu dari tangan Ina.
“Tahun kemarin katanya Nick datang bawa Jazz, emang Nick kayak apa sih?” Ina melirik Maya. “Apa dia cowok tajir?”
“Mana gue tahu, kan kita sama-sama belum pernah ketemu Nick, kita cuma denger Nick dari cerita si Eka aja, kayaknya sih emang tajir, kalau ga mana mungkin sih dia utus adiknya buat beliin dress? udah gitu pasti ganteng deh, hem… tipe tukang selingkuh, jangan-jangan di Aussie sana dia emang udah selingkuh.”
“Hush. Jangan gitu, My, masa lu doain temen sendiri?”
“Gimana kalau kita ke kafe Casablanca aja malam nanti buat lihat Nick.”
Usul yang bagus.
                                                                                    ***
sumber gambar : Indopos.co.id
Taburan warna pink semakin menebarkan pesonanya di beberapa tempat, pernak-pernik valentine sudah dijual di berbagai toko sejak akhir Januari. Toko yang menjual bunga pun sepertinya kebanjiran pembeli di hari valentine ini. Dari tadi, sepanjang dia jalan dari gerbang menuju kelasnya, beberapa kali Eka mendengar dari anak-anak cewek yang berpapasan dengannya sibuk membicarakan rencana mereka. Eka hanya menarik nafas panjang.
Apa malam valentine ini akan dia lewati seorang diri lagi? Bikin jemu saja. sementara teman-temannya menghabiskan malam valentine mereka bersama dengan kekasihnya, sedangkan dia? Malam valentine hanya tinggal beberapa jam lagi, tapi tidak ada rencana yang dibuatnya untuk melewatkan malam valentine, andai saja Nick tiba-tiba muncul di depannya memberi kejutan… tapi jelas itu nggak mungkin!
Kenapa sih harus ada hari valentine segala, dan kenapa harus dirayakan. Padahal sudah ada larangan merayakan valentine tapi masih ada aja yang merayakannya. Kasihan yang jomblo kan? Emang sih valentine ga harus dirayakan sama pacar, tapi buat Eka yang jauh dari orang tua, dia nggak bisa merayakan valentine dengan keluarganya, sedangkan teman-teman dekatnya merayakan valentine dengan pacar masing-masing, lalu pacar? Hem…. Rasanya lengkap sudah penderitaan Eka valentine ini.
Kalau saja ada lubang atau gua, Eka ingin sekali setiap hari valentine atau malam minggu, dia sembunyi di gua untuk menenangkan dirinya, biar nggak iri sama cewek-cewek yang bisa melewatkan malam minggu sama pacar. Atau andai saja di dunia ini ada undang-undang yang melarang pacaran di depan jomblo (mau jomblo karena ga punya pacar atau jomblo karena pacarnya jauh jadi ga bisa sering menemani). Pasti ga bakal ada yang merasa iri lagi. Tapi yah, itu sama saja ama merampas hak asasi orang berpacaran.
Atau sekalian saja dia bikin komunitas, perkumpulan para jomblo atau ikatan para jomblo. Tapi, ah… mana ada orang yang mau daftar jadi anggota, mana ada sih yang mau mengakui kalau dirinya jomblo, pasti gengsi.
“Eka!” suara khas Jono yang cempreng macam cewek memanggilnya. Eka lalu menoleh. Cowok kurus berkacamata dengan penampilan rambut harajukunya berlari menghampiri.
“Hai, Jon! Tumben jam segini baru muncul.” Eka meninju lengan Jono pelan. Biarpun agak nyentrik tapi Jono termasuk cowok yang rajin dan pintar di sekolah.
“Aku nunggu kamu.” Alis Eka menaik. Jono menunggunya, ada apa? “Malam ini….”
Eka sama sekali tidak bisa mendengar kelanjutan pembicaran Jono karena tiba-tiba deru suara motor Yudi membelah halaman sekolah. Sesaat Eka menoleh ke samping memerhatikan motor sport Yudi melaju dengan sombongnya. Dasar anak orang kaya, motornya aja sampai ikut-ikutan sombong.
“Jam delapan ya, K.” Eka tertegun mendengar akhir pembicaraan Jono. Dia hampir lupa sedang berbicara dengan si nyentrik gara-gara perhatiannya teralihkan dengan kemunculan Yudi. “Eka, jawab dong….” tuntut Jono.
“Oh, iya… iya…” Tidak punya pilihan lain, Eka hanya bisa mengiyakan.
Jono tersenyum senang. “Thank’s, K.” kemudian dia berlari pergi meninggalkan Eka yang masih tertegun.
                                                                        ***
“K, tadi Yudi nelepon nyariin elu.” Tiba-tiba Ina memberi berita yang mengejutkan ketika Eka baru saja muncul ditempat kost. “Katanya dia udah SMS dari tadi tapi ga dibales.” Eka baru ingat, hapenya sejak tadi memang dia silent biar dia nggak usah dengar ocehan teman-temannya yang sengaja menelepon untuk memberitahukan dengan siapa mereka kencan.
Pasti ujung-ujungnya juga mereka pasti akan menyinggungnya dengan mengatakan. “K, kapan sih elu berenti jadi jomblo.” atau “K, emang Nick itu nyata ya, kok elu ga pernah kenalin sih sama kita-kita?” atau yang lebih parah lagi, mereka bilang. “K, kapan elu baligh kok sampe sekarang elu ga punya pacar aja, jangan-jangan hormon elu kebalik.” Buset deh, emangnya hormon terbalik itu macam apa yah?
Tapi meski Ina sudah memberikan kabar mengherankan itu, Eka tetap tidak memerdulikannya. Apa sih maunya si Yudi, paling-paling mau nagih hutang yang entah kapan pernah dia lakukan. Si Yudi emang sarapnya suka kumat, suatu hari tiba-tiba saja dia pernah bilang, “Eka, elu punya utang sama gue, suatu hari gue pasti bakal nagih utang lu.” Emangnya kapan juga lagi dia pernah minjem uang sama cowok sombong itu? Mentang-mentang anak ketua yayasan!
“Dia bilang elu punya utang sama dia, utang apaan sih? Dia bilang malem ini elu harus bayar, ngapain juga sih berurusan sama Yudi?”
“Gue aja sendiri ga inget pernah berurusan sama dia, jadi kapan gue pernah punya utang sama dia ya gue ga inget, kalo emang gue punya utang, ga mungkin sih gue lupa.” Ina hanya mengangkat bahu karena dia sendiri juga nggak mengerti.
                                                                        ***
Dari jam empat sore, Maya dan Ina sudah sibuk mempersiapkan segalanya dengan sesempurna mungkin. Tapi Eka malah acuh tak acuh saja, dia asik baca novel sambil telungkup.
“K, minta perfume dong, punya gue abis nih.” Ina menerobos masuk.
“Ambil.” Eka menyahut tanpa melepaskan matanya dari novel.
“Lu serius ga bakalan temuin Nick, K?”
“Gue kan pernah bilang.”
“Jangan gitu dong… emang lu ga kangen sama Nick, kalian kan udah lama ga ketemu.” Maya muncul diambang pintu. “Ayo sini gue dandanin lu, mumpung masih ada waktu.”
Eka benar-benar tidak bisa terus-terang sebenarnya tidak ada Nick. Semua itu hanya khayalannya semata, dia memang telah terlalu berlebihan menceritakan kisah cintanya yang tidak pernah terjadi bersama Nick.
Nick emang bukan hanya sekadar cowok imajinasinya semata, sosok nyatanya memang ada. Cowok itu teman SMA Ivan, Kakak cowok Eka, cinta terpendamnya yang ga pernah bisa tersampaikan. Dulu Eka masih kecil dan sangat pemalu untuk berterus-terang pada Nick, sampai cowok itu pergi ke Melbourne karena mendapat beasiswa kuliah disana. Lagipula Ivan juga sangat melarang dia dekat dengan teman-temannya.
Sejak dulu Eka sering berkhayal andai Nick menjadi pacarnya, dan sering berimajinasi menghabiskan waktu berdua dengan Nick. Sampai tidak terasa khayalannya itu meresap ke dalam hatinya, dan dia selalu merasa Nick sebagai kekasihnya. Kiriman kado, bunga, dan termasuk dress yang dikirimkan Nick untuknya berasal dari kantongnya sendiri. Dia berpura-pura seolah Cindy yang membelikan.
Dia sampai sengaja meminta Kakak perempuannya yang juga tinggal di Melbourne untuk mengirimkan barang-barang itu dari sana, hanya untuk menyakinkan teman-temannya bahwa kiriman itu memang berasal dari Nick. Dia selalu mengarang cerita apapun soal kisah asmaranya dengan Nick, sepertinya dia berbakat jadi pengarang.
Dia melakukan itu semata karena tidak mau disebut jomblo, dari SMP sampai dia kelas dua SMA, Eka nggak pernah punya pacar. Dia merasa malu sekaligus iri sama teman-temannya, terkadang dia pun berandai-andai tiba-tiba saja banyak cowok yang mengajaknya kencan. Sekarang Eka tidak bisa berterus-terang pada Maya dan Ina dengan kebohongan itu.
                                                                        ***
Eka terkesiap melihat bayang wajahnya dibalik cermin, kedua temannya sudah menyulapnya sedemikian rupa hingga dia terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya yang sudah dikeriting, diikat dengan rapi. Wajahnya yang jarang sekali bersentuhan dengan kosmetik selain bedak dan pelembab, telah diberi warna sana-sini hingga tampak beda. Tubuhnya pun sudah berbalut dress – pemberian Nick. Benarkah bayangan cermin ini dirinya?
Ina tersenyum puas melihat hasil karya keroyokannya bareng Maya. Eka yang selalu tampil apa adanya ini berubah jadi sangat feminin. Memang hebat efek kosmetik buat cewek. Tapi Eka sudah tidak dapat menahan air matanya lagi, dia merasa sangat bersalah pada kedua sahabatnya ini. Kebohongannya sudah benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi.
“Ina…! Maya…! Maafin gue….” Seketika Eka menangis sesegukan. Membuat Ina dan Maya tertegun melihatnya.
“Elu kenapa, K? kok nangis sih? Elu ga perlu merasa terharu sampe nangis begitu,” bujuk Ina sambil menepuk bahu Eka.
“Maafin gue… gue selama ini udah bohong sama kalian.” Air mata Eka masih mengalir deras.
Dengan berat hati Eka pun akhirnya berterus-terang. Dia sudah tidak perduli lagi meski nantinya Maya dan Ina akan menertawakannya, akan lebih baik jika dia tidak terus menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang baru lagi. Bukankah keterus-terangan malah akan lebih indah. Dan Eka pun sudah tidak perduli meski nantinya Ina ataupun Maya berbalik jadi benci padanya, karena dia sudah berbohong.
“Udahlah, K… elu ga perlu nangis gitu, gue ngerti kok perasaan elu.” Maya memberikan pelukan pada Eka, meyakinkan sahabatnya bahwa dia tidak akan marah meski sahabatnya sudah berbohong.
Memang sangat tidak menyenangkan dibohongi teman sendiri, tetapi akan lebih tidak menyenangkan lagi jika harus memusuhi teman. Toh kesalahan Eka hanyalah karena dia tidak bisa berterus-terang dengan kejombloannya, dan mereka pun merasa terhibur setiap kali mendengar dongeng-dongeng Eka yang selalu indah tentang kisah cintanya dengan Nick.
“Udah… udah… stop nangisnya, gue buka pintu dulu ya.” Ina lalu keluar setelah terdengar bunyi ketukan pintu yang bersahut-sahutan.
Kurang dari dua menit Ina sudah kembali ke kamar Eka yang berada di tengah-tengah rumah dengan tergesa-gesa, membuat Maya dan Eka keheranan melihatnya.
Ada apa, Na, kaya abis lihat maling aja.”
“Diluar ada Yudi sama Jono lagi berantem.”
“Yudi sama Jono berantem?” Eka dan Ina menyahut kompak sambil saling bertatapan. Kemudian bergegas mereka bertiga keluar untuk melihat situasi.
“Eh, apa-apaan ini.” Secepatnya Eka melerai mereka yang lagi saling jambak kerah sok jagoan. Ditangan mereka sudah menenteng buket bunga. “Elu berdua pada ngapain sih berantem di depan rumah orang, malu sama tetangga, kalau ada yang ngelapor sama induk semang, kita yang bakal dimarahin tahu.”
“Kamu juga sih, tadi pagi kan kita udah janji kencan malam valentine ini, aku udah bilang malam ini aku pengen kencan sama kamu, aku jemput kamu jam delapan, tapi kenapa kamu malah janjian juga sama si brengsek Yudi padahal kamu tadi udah bilang iya.” Jono merutuk kesal.
“Oh, jelas elu yang kegeeran, Jon, Eka udah bikin janjinya sama gue dari bulan Agustus lalu.”
“Stop! Kalian udah gila ya, gue nggak ngerasa pernah janjian ama kalian, emm…” Sejenak Eka terdiam. “Sorry Jon, sebenarnya tadi pagi gara-gara motor Yudi yang muncul tiba-tiba, gue sama sekali nggak denger elu ngomong apa, gue cuma denger elu ngomong. ‘malam ini jam delapan’ tapi kelanjutannya gue nggak tahu, gue bilang aja iya biar cepet beres tapi gue nggak ngira kalau elu bakal jemput gue buat kencan malam ini.”
Jono terhenyak. Ditatapnya Eka dengan perasaan kecewa. Tidak disangkanya pagi tadi Eka sama sekali tidak memerhatikan kata-katanya, padahal dia sudah berbunga-bunga bahagia karena bisa berkencan dengan Eka.
“Dan elu juga, Yud, emang bulan Agustus dulu gue pernah janji apa sama elu?”
“Kamu lupa, K?” Yudi menatap Eka tidak percaya. “Bulan Agustus lalu kamu kan pernah kecelakaan dan aku yang udah nolong kamu, trus kamu bilang mau mengucapkan terima kasih, dan aku bilang 14 februari ini kamu harus kencan sama aku kalau mau kasih ucapan terima kasih.”
Eka menatap Yudi dengan tertegun. Dia sama sekali tidak ingat dengan janji itu, bukan karena dia sengaja ingin melupakan tapi dia nggak serius menanggapi ucapan Yudi. Fikirnya Yudi yang sombong itu nggak bakalan mungkin mau berkencan dengannya. Cewek Yudi itu kan berjibun.
“Ke,kenapa elu mau kencan ama gue, Yud?”
“Apa salah kalau gue pengen kencan sama cewek yang gue suka dari Agustus lalu?”
Eka termangu. Dia tidak pernah menyangka, Yudi akan tertarik padanya saat dia sedang ditimpa musibah. Memangnya darimana Yudi melihat pesona Eka sampai dia jatuh cinta, padahal saat itu suasana sedang tegang.
Eka yang sedang mengendarai motor pinjaman dari teman diserempet orang hingga dia terjungkal dari motornya, karena kebetulan Yudi berada tidak jauh dari lokasi dan merasa mengenal korban, Yudi menolongnya. Eka menganggap itu sikap wajar dari seorang teman. Pantas saja saat di rumah sakit, Yudi rajin menjenguknya.
Disaat Eka sedang merasa kebingungan, muncul Damar dan Tyan yang hendak menjemput pacar mereka. Mereka tidak heran melihat Jono berada disana, karena seingat mereka Jono memang sudah lama tertarik pada Eka, hanya dia tidak berani menyampaikan, mungkin kali ini Jono sudah mulai berani. Tetapi melihat si tengil Yudi, tentu saja mereka merasa aneh.
“Kalian pada ngapain?” Yudi gelagapan bertemu muka dengan Damar dan Tyan. Dia tidak mau terlihat mengejar-ngejar cewek didepan dua saingannya.
“Mereka ini mau ngajak kencan Eka,” jawab Maya.
“Yudi?” Damar dan Tyan menatap Yudi berbarengan.
“Iya, si tengil ini juga tahunya udah lama naksir Eka, Padahal dia biasanya selalu bersikap sombong didepan Eka.”
Damar dan Tyan hanya mengulum senyum. Sikap Yudi memang tidak meyakinkan.
“Trus kamu mau kencan sama siapa, K?” Tyan merasa penasaran.
Maya dan Ina memandang Eka bersamaan. Berharap Eka memberi jawabannya saat ini juga. Eka mungkin tidak akan bisa berkencan dengan Nick, tapi dia malah kedatangan dua cowok sekaligus yang berebut ingin mengajaknya kencan. Mungkin Yudi atau Jono tidak bisa dibandingkan dengan Nick. Tapi yang penting mereka nyata, bukan khayalan.
“Selamat malam.” Sebuah suara yang dikenal oleh Eka hampir membuat jantungnya melompat ke tenggorokan. Cowok yang jangkungnya hampir sama dengan Tyan berdiri diteras. Mata Eka membelalak menyadari kehadiran cowok itu.
“Nick?”
“Hai, Eka, apa kabar?”
“Kok kamu ada disini sih, ngapain? Bukannya kamu kuliah di Aussie.” bukannya menjawab salam Nick, Eka malah bertanya heran. Tentu saja dia heran, tiba-tiba saja makhluk yang membuat Eka membuat berjuta khayalan malah berdiri didepannya.
“Kuliahku udah beres, Non, udah lama kali… emangnya aku nggak boleh ya, pulang ke negaraku sendiri?” Eka benar-benar tidak bisa bicara apa-apa lagi. Dia speechless karena terlalu terkejut. “Aku kesini buat ngajak kamu kencan, sorry mendadak soalnya izin dari Ivan baru turun kemarin, itu juga setengah mati dapetinnya, aku udah janji kok nggak bakal bikin adik kesayangannya nangis, mau kan kencan sama aku?”
Mimpi seperti menjadi kenyataan. Eka sampai tidak bisa menggerakkan bibirnya untuk mengatakan iya, apalagi untuk melangkahkan kakinya menghampiri laki-laki yang selama ini selalu dicintainya. Eka malah merasa apa yang terjadi sekarang malah bagian dari khayalannya yang baru.
Kalau Ina tidak segera menarik tangan Eka agar bergegas masuk mungkin Eka akan merasa dia sedang bermimpi. Dengan gerakan cepat Ina menghapus jejak-jejak tirai bening yang membekas di pipi Eka, ditutupinya semua itu dengan sapuan kosmetik. Kali ini Eka harus benar-benar tampil cantik, karena sang pangeran impian telah datang.
“Eka sudah siap, ayo cepat kalian berangkat.” Setelah memastikan riasan Eka sudah lebih baik, Ina mendorong Eka agar cepat-cepat pergi ngedate sama Nick. “Pulangnya jangan malem-malem ya….” Eka hanya tersenyum simpul.
Selama ini Eka selalu berkhayal, seandainya ada banyak cowok yang tiba-tiba mengajaknya berkencan. Dan malam ini apa yang dikhayalkannya malah jadi kenyataan. Eka memang merasa bersalah pada Jono dan Yudi, tapi hatinya merasa bahagia karena ada Nick. Semoga saja Jono dan Yudi mau mengerti dan memaafkannya.
Dengan wajah ceria Eka melambaikan tangan pada kedua sahabatnya sebelum dia masuk ke dalam mobil, yang pintunya dibukakan oleh Nick. Eka merasa seperti seorang putri yang tiba-tiba dijemput pangeran impian dari sebuah menara tak berpintu.
(cerita ini dibuat sewaktu zaman valentine belum dilarang)