Welcome

Welcome

Rabu, 15 Juli 2015

Kepak Sayap Sang Dewi

2005
Matahari yang hangat menyapaku di pagi yang cerah ini. Karena hari ini guru-guru sedang mengadakan rapat, jadi sekolah diliburkan. Benar-benar hari yang menyenangkan, bisa bebas dirumah bersantai-santai. Hari libur biasanya aku paling malas mandi pagi. Kulihat Mama juga lagi sibuk membujuk adikku agar mau bersekolah.
Lagi-lagi dia ngambek tidak mau pergi ke sekolah lantaran Papa belum pulang dari luar kota. Setiap hari memang selalu Papa yang mengantarkan kami ke sekolah tapi itukan kalau Papa sedang tidak dinas diluar kota. Dan adikku yang manja itu sulit sekali diberi pengertian, dia hanya ingin pergi ke sekolah dengan Papa. Kalau Papa tidak ada, dia tidak mau sekolah.
“Kak Tia juga nggak sekolah,” rengeknya sambil memperhatikan aku yang masih mengenakan piyama.
“Kak Tia kan lagi libur, sayang… gurunya sedang rapat.”
“Sekarang kan bukan tanggal merah masa kak Tia libur? Rapat itu apa? Kalau gitu adek juga pengen libur.” Dia masih ngotot dengan keinginannya. Kulihat Mama juga sudah bingung memberi pengertian.
Terserahlah, dia mau sekolah atau tidak, itu bukan urusanku. Aku memang tidak pernah memerdulikan adikku mau melakukan apa. Mengasuhnya juga aku sebenarnya tidak mau kalau bukan karena terpaksa. Dengan ancaman aku tidak akan diberi uang saku kalau tidak mau mengasuhnya membuatku benar-benar ‘terpaksa’ mengasuhnya.
Bosan memerhatikan Mama yang sedang membujuk adikku, aku lalu pergi ke dapur membuat secangkir cappuccino. Santai di depan sambil menikmati secangkir cappuccino pasti sedap sekali. Terbayang di benakku kehangatan cappuccino yang akan mengaliri tenggorokanku. Sambil bersantai membaca majalah, wah…wah… hari yang damai.
Selesai membuat cappuccino, aku lalu membawa cappuccino itu keluar sambil menenteng sebuah majalah. Baru saja aku duduk di kursi plastik yang memang sudah disediakan di teras rumah, loper koran langganan memberikan sebuah tabloid Nova padaku. Hem, baru kuingat ternyata sekarang sudah terbitnya tabloid kesayangan Mama. Aku lalu masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan loper koran dan tabloid kesayangan Mama yang sudah ada di tanganku. Mama memberikan beberapa lembar uang seribuan padaku yang langsung kuberikan pada loper koran yang masih menunggu diluar.
“Simpan aja dulu di meja, Tia,” ujar Mama yang sudah bersiap akan membawa adikku ke sekolahnya. “Mama mau antar adikmu ke sekolah.” Akhirnya dia mau sekolah juga.
Mama lalu pergi mengantarkan Syamil ke sekolah yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumah. Aku menyimpan tabloid itu diatas meja. Tapi kemudian aku mengambilnya kembali. Penasaran juga ingin melihat seperti apa sih isinya? Boleh dong aku sekali-kali baca majalah ibu-ibu? Baca majalah remaja melulu bosan juga. Kubawa tabloid itu kembali keluar.
Sambil duduk di teras, aku lalu melembari tabloid itu. Isinya buatku membosankan, habis artikelnya tentang ibu-ibu semua. Iyalah, emang itu buat ibu-ibu kok, aku baca juga percuma aku tidak tertarik. Tapi ketika aku melembari halaman berikutnya aku membaca berita tentang Rumah Dunia yang didirikan oleh seorang penulis ternama Gol A Gong. Aku penasaran, dimana memang Rumah Dunia itu?
Kukira tempatnya pasti berada di Jakarta dan sekitarnya. Tapi saat aku baca alamatnya ternyata di Serang, aku makin terkejut. Memangnya ada tempat seperti ini di Serang? Karena penasaran, aku baca juga artikel itu.
                                                                        ***
“Pa, aku mau ke Serang ya? Boleh kan,” pintaku pada Papa yang malam itu sedang bersantai di ruang tengah.
Sudah lama aku ingin menyampaikan keinginanku ini pada Papa. Tapi aku takut Papa marah kalau aku pergi ke Serang. Aku juga harus menjaga mood Papa dulu agar Papa tidak langsung marah saat aku mengutarakan keinginanku.
“Pergi ke Serang, mau apa?”
“Tia, pengen ke Rumah Dunia, Pa.”
“Rumah Dunia? Apa itu?”
Aku lalu menceritakan apa itu Rumah Dunia dan kenapa aku sampai tertarik ingin mengunjunginya.
Sudah lama memang aku punya hobi menulis. Menulis puisi dan cerpen. Kata teman-temanku sih puisi dan cerpen karyaku bagus. Mereka, yang sudah membaca cerpen-cerpenku, memujiku. Aku jadi ingin menjadi penulis cerita fiksi. Dan saat aku membaca artikel Rumah Dunia, aku jadi tertarik. Apalagi karena didirikan oleh seorang penulis ternama.
“Buat apa sih ke Rumah Dunia?”
“Tia penasaran, Pa, Tia pengen tahu Rumah Dunia itu apa? Kali aja Tia bisa belajar menulis disana?”
“Kamu mau pergi sama siapa? Papa kan nggak bisa mengantar kamu, minggu-minggu ini Papa sibuk.”
What! pergi sama Papa? Ya nggak dong! Masa sih mau pergi diantar Papa? Malu-maluin aja. Aku kan udah gede.
“Pergi sendiri, Pa.
“Pergi sendiri? Jangan! Kamu kan nggak pernah ke luar kota sendirian, ajak temanmu, minimal dua orang. Kalau kamu bawa temanmu, baru Papa kasih izin.”
Aku memberengut kecewa. Uuh… kenapa sih Papa nggak kasih izin aku pergi sendiri? Aku kan udah gede. Udah kelas dua SMP. Tapi Ok deh kalau aku bisa bawa teman berarti Papa kasih izin. Gampang sih kalau itu. Lagian cuma dua orang kan?
                                                                        ***
“Rumah Dunia? Apa itu?” pertanyaan yang sama dilontarkan teman-temanku ketika aku mengajak mereka berkunjung ke Rumah Dunia.
Dengan semangat aku lalu menceritakan seperti apa Rumah Dunia seolah aku sudah berkunjung kesana padahal aku baru tahu ceritanya di Koran. Tapi berkali-kali aku harus menelan kekecewaan karena mereka ternyata tidak berminat dengan literasi. Bahkan yang paling parah mereka tidak tahu Gol A Gong siapa? Aku memang biasanya baca novel remaja dan belum pernah juga baca novel Gol A Gong tapi aku tahu siapa Gol A Gong, jauh sebelum aku baca artikelnya di tabloid Nova.
“Males, ah! ngapain lagi ke tempat begitu, kalau kamu ngajak aku jalan-jalan ke Blok M baru aku mau,” ujar Meina.
“Ngapain ke Blok M kalau nggak punya duit? Ntar ngiler lagi. Bisa-bisa Blok M banjir sama iler kamu,” tukas kesal.
“Yah… nggak belanja juga cuci mata atuh.”
Iih… cuci mata lagi. Buat apa sih cuci mata pake ke Blok M segala? Cuci mata sih di kamar mandi aja, nggak usah ke Blok M! Kalau mau, biar aku ajak ke Blok M yang ada di Jalan Dewi Sartika, kalau mau ke SMKN 1 Rangkasbitung kan bisa lewat ‘Blok M’ alias belokan masjid.
Tapi meski sulit mengajak teman-temanku, aku tetap tidak menyerah sampai akhirnya Vera dan Desi berhasil kubujuk untuk mau ikut ke Serang bersamaku. Sebenarnya sambil memaksa juga sih sampai aku harus rela mengeluarkan uang untuk mengongkosi kedua temanku itu. Kebetulan kakak Desi tinggal di Serang jadi dia tahu lebih banyak daerah Serang.
Dengan berbekal izin dari Papa dan uang saku, aku berangkat ke Serang bersama kedua temanku itu. Desi bilang sih paling enak kalau pergi ke Serang naik kereta, ongkosnya murah, selain itu naik kereta lebih cepat daripada naik bis. Sebenarnya ini pertama kalinya buatku naik kereta, agak takut juga tapi biarlah anggap saja sebagai pengalaman.
                                                                        ***
Rumah Dunia, Ciloang
Dari stasiun Serang, kami naik angkutan umum menuju Kemang. Sebenarnya Desi hanya tahu Ciloang saja, dia tidak tahu Rumah Dunia berada dimana. Tapi aku tetap nekat sampai bilang sama Papa kalau Desi tahu Rumah Dunia dimana, jadi Papa nggak usah khawatir. Kalau tidak begitu Papa tidak akan memberi izin. Kalau nggak tahu tanya aja sama orang. Pasti nggak bakalan nyasar, kalau sampai nyasar juga tinggal balik lagi pulang kerumah, susah amat!
“Bang, Rumah Dunia dimana ya?” tanyaku pada tukang ojeg. Supir angkotnya juga ternyata tidak tahu dimana Rumah Dunia.
“Oh, kalau Rumah Dunia masuk lagi ke dalem, Neng, jauh… mending naik ojeg, lima ribu aja,” jawab si tukang ojeg. Tapi aku fikir, kalau kita naik ojeg pasti harus seorang satu ojeg. Pasti mahal lagi ongkosnya. Karena disana juga ada tukang becak, aku lalu memilih naik becak. Tumpuk tiga. Mana biggest semua.
Aku tidak mengira ternyata Rumah Dunia jauh ke dalam lagi dari tempat pemberhentian angkutan umum. Mana jalannya aduhai jelek sekali. Kalau hujan pasti becek. Aku jadi tidak tega pada abang becak, pasti berat bawa kami bertiga sampai ketempat tujuan.
Dari rumah aku sudah membayangkan kira-kira apa yang akan aku lakukan nantinya. Menurut tabloid Nova, kalau kita datang kerumah dunia kemungkinan bisa bertemu dengan Gol A Gong. Aih, aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengan Gol A Gong. Sebenarnya aku juga tidak tahu novel-novel karya Gol A Gong itu seperti apa soalnya aku belum pernah membacanya. Tapi sebelum berangkat ke Serang aku bela-belain beli buku, kumpulan cerpen, karya Gol A Gong dan Biru Laut yang judulnya “Subuh itu Biru, Chika!” lumayan kan bukunya bisa ditanda-tangani.
Tapi saat aku tiba, aku sempat terkejut. Didepan pintu masuk ada bebegig sawah yang bertugas sebagai satpam pintu masuk. Sontak kami tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali.
Aku bertemu dengan beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai relawan Rumah Dunia. Kami mengobrol sebentar dengan para relawan itu, menanyakan tentang apa sih sebenarnya Rumah Dunia itu. Lalu aku bertanya,
“Gol A Gong-nya ada nggak?”
“Oh, kebetulan mas Gong ada. Mau ketemu?” Aku mengangguk. “Nah, itu dia.” Aku menoleh ke belakang.
Deg. Jantungku serasa berhenti saat melihat pria berambut gondrong yang berjalan kearah kami. Jadi ini sang penulis terkenal itu? penampilannya biasa dan bisa dibilang sederhana. Aku fikir penulis terkenal itu seperti artis-artis yang sering muncul di televisi berpenampilan flamboyan. Tapi aku pun teringat cerita seorang temanku yang pernah mengatakan “Penulis itu tidak seperti artis yang tampil komersil, biasanya mereka justru cuek.” Benar juga yah…
Aku lalu diajak mengobrol di depan perpustakaan Rumah Dunia. Aku benar-benar gugup saat berhadapan langsung dengan seorang penulis terkenal. Ya Tuhan… tiba-tiba saja semua pertanyaan yang sudah disusun di kepalaku langsung bubar entah kemana? Mana kedua temanku tidak mau menemani aku lagi, mereka lagi asik melihat buku-buku di perpustakaan. Kebetulan saat aku datang, ada seorang anak laki-laki seumurku yang juga datang berkunjung kesana. Aku lalu mempersilahkan dia duluan yang bertanya.
Setelah anak itu selesai bertanya, mas Gong lalu mempersilahkan aku untuk bertanya. Tapi ya Tuhan… aku gugup setengah mati. Aku bingung mau bertanya apa. Habis kepalaku benar-benar sudah kosong, pada lari kemana sih pertanyaan yang sudah aku susun sebanyak mungkin itu? kok nggak bersisa satupun. Aku malah seperti sedang bertemu dengan cowok yang diam-diam aku sukai saja. Ya Tuhan… aku malu!
“Neng ini memangnya darimana?”
“Dari Rangkasbitung.”
“Oh, dari Rangkasbitung, kesini naik apa?”
“Naik kereta.”
“Naik kereta? Turun di stasiun yah?”
“Iya.” Iyalah dimana lagi? Masa di terminal? Mas Gong ini gimana sih?
“Kalau naik kereta mah turun aja di depan, kereta lewat depan kan?” Aku mengangguk. Memang sebelum ke stasiun, jalur kereta api melewati Ciloang dulu.
“Turunnya dimana?” aku malah bertanya bingung.
“Bilang aja sama masinisnya suruh berhenti kereta terus loncat aja.”
Mataku membelalak.
Nggak salah mas Gong bilang begitu? Aku dan teman-temanku kan perempuan masa kami disuruh lompat dari atas kereta sih? Yang benar saja. Tapi kemudian kulihat mas Gong hanya tersenyum.
                                                                        ***
Karena terlalu nervous, aku jadi bertanya seadanya saja. Malah yang rencananya aku ingin memperlihatkan kumpulan cerpenku jadi batal. Aku bingung bagaimana caranya memberikan kumpulan cerpen itu pada mas Gong. Aku ingin penulis seperti mas Gong menilainya, agar aku tahu apa aku punya potensi menjadi penulis? Aku tidak mau mengingat-ingat peristiwa memalukan seperti ini lagi. 
Akhirnya kami pulang usai melihat-lihat lagi Rumah Dunia. Kami harus mengejar kereta yang berangkat jam tiga sore. Aku merasa senang sudah bisa bertemu dengan seorang penulis terkenal membuatku semakin ingin menjadi seorang penulis. Aku ingin belajar disana. Di kelas menulis yang diselenggarakan setiap hari minggu. Aku ingin bisa jadi penulis.
Agak kecewa juga sih karena tujuan utamaku tidak tercapai tapi aku tetap senang karena sudah dapat tanda-tangan sang penulis. Iih… asik!
                                                                        ***
“Gimana Rumah Dunia-nya, Fattiya?” Tanya Papa saat kami sekeluarga mengobrol di ruang tengah. Kegiatan yang sering kami lakukan hampir setiap malam. Mengobrol sambil menonton. Biasanya Mama akan mengecek PR aku dan Syamil, apa sudah dikerjakan atau belum sambil menanyakan apa saja yang sudah aku dan Syamil pelajari di sekolah.
“Senang, pa.”
“Tempatnya bagus?”
Aku lalu menceritakan halaman rumah mas Gong yang dijadikan tempat untuk belajar. Menurutku tempatnya asik. Seru sekali bisa belajar di alam terbuka. Nggak seperti belajar di sekolah, membosankan. Habis pola belajarnya monoton bikin tambah bosan saja.
“Pa, Tia mau belajar menulis disana ya? Ada kelas menulis setiap hari minggu.”
“Belajar disana, buat apa, Tia?”
“Tia pengen jadi penulis, pa?”
“Penulis? Cita-cita macam apa itu? Papa nggak akan pernah izinin kamu jadi penulis!” bentak Papa keras.
Sontak aku terkejut melihat Papa yang tiba-tiba marah setelah aku mengutarakan keinginanku jadi penulis. “Kamu harus tahu, jadi penulis itu nggak ada gunanya, nggak menghasilkan apa-apa! Kalau mau punya cita-cita itu yang bener, bukannya jadi penulis!”
Aku tersinggung sekali mendengar ucapan Papa. Kenapa Papa berfikir seperti itu? jadi penulis itu bukannya nggak ada gunanya. Bukannya nggak menghasilkan apa-apa. Jadi penulis itu malah punya wawasan lebih luas dari orang-orang biasa karena jadi penulis yang baik itu harus rajin membaca. Harus tahu berita paling up to date. Memangnya jadi penulis bukan cita-cita yang benar? Apa salahnya sih jadi penulis?
Tapi Papa nggak pernah bisa dibantah. Jika Papa sudah berkata seperti itu, maka selamanya tidak akan pernah bisa berubah. Aku menangis mendengar penolakan Papa yang tegas dan menyakitkan hatiku itu. Kalau memang Papa melarang kenapa harus berkata seperti itu? langsung saja sih Papa bilang “tidak boleh” kenapa Papa harus menyakiti hatiku dengan mengatakan menjadi penulis itu tidak berguna, tidak menghasilkan apa-apa.
                                                                        ***
Aku tetap bersikeras ingin menjadi penulis dan Papa tetap pada pendiriannya melarang aku jadi penulis. Aku sedih sekali. Kenapa Papa tidak bisa mengerti aku? Tidak bisa memahami keinginan anak sulungnya? Pa, aku punya cita-cita. Banyak yang bilang aku punya potensi, kenapa Papa malah melarang aku?
Untuk menghilangkan kesedihanku, aku jadi sering berlama-lama mengurung diri di kamar sambil bermain komputer. Tentu saja bukan sekedar bermain. Aku menuangkan segala unek-unekku kedalam komputer. Dari menulis diary, cerpen dan puisi. Tapi karena komputer dirumah cuma ada satu, aku terpaksa harus berebut dengan Syamil. Aku benar-benar kesal karena Syamil memonopoli komputer sampai berjam-jam cuma buat main game. Masih mending dipakai untuk belajar, aku mau saja berbagi tapi ini buat main game. Kenapa nggak pakai laptop Papa aja sih kalau cuma mau main game. Setiap kali aku protes pasti Papa ataupun Mama akan membela Syamil. Aku jadi memusuhi adik semata wayangku itu mati-matian.
Aku kecewa setengah mati sampai aku tidak mau bicara dengan Papa berhari-hari. Aku tidak mau memaafkan kata-kata Papa. Terpaksa aku harus pergi ke rental kalau aku mau membuat cerpen. Meski belum pernah dimuat tapi aku tetap terus bersemangat. Sekalipun harus mengencangkan ikat pinggang tapi keinginanku tidak pernah padam. Sampai akhirnya akupun menyerah pada kenyataan, lama-kelamaan kalau aku terus mengetik di tempat rental, aku tekor juga. Ditambah lagi kata-kata yang melemahkan keinginanku menjadi penulis bukan keluar dari mulut Papa saja tapi dari beberapa temanku yang – entah mungkin mereka sirik pada potensiku – menyepelekan aku.
“Fattiya…, Fattiya…, kamu mimpi mau jadi penulis? Ngaca dulu dong, Tia, kamu tuh asalnya darimana? Cuma punya ortu karyawan swasta aja gayanya pengen jadi penulis, jangan mimpi terlalu tinggi, Tia, nanti jatuhnya bisa sakit.”
Tidak akan pernah aku lupakan kata-kata Mariana ketika dia mendengar aku ingin jadi penulis. Sakit sekali hatiku mendengar kata-kata itu dari Mariana, sepupuku sendiri. Aku tidak tahu niat hati Mariana mengucapkan kata-kata itu untuk menghinaku atau mengingatkan aku agar jangan terlalu banyak bermimpi. Tapi mimpi ini bukan sekedar bunga tidur belaka, mimpi ini sudah mengalir bersama aliran darah dalam tubuhku. Aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku jadi ingat semangat Agnes Monica, yang tertawa belakangan adalah pemenangnya.
Meski akhirnya semangat itupun tiba-tiba berpendar dari hatiku. Mungkin karena aku telah terlalu bosan dengan keadaan yang belum juga berubah. Papa tetap pada pendiriannya, Syamil yang terus-terusan menggangguku dan Mariana-Mariana lain yang menganggap aku tidak akan mampu jadi penulis. Aku pun terpaksa mengubur keinginanku menjadi penulis dan berbaikan dengan Papa dan Syamil. Aku memang ingin menjadi penulis tapi untuk terus-terusan menyapa Papa dan adikku tetap saja rasanya tidak enak.
                                                                        ***
January, 2010
Inikah yang namanya jodoh? Sejak 2009, aku memang sudah kuliah di sebuah kampus komputer di Serang. Sebenarnya aku sudah tidak ingat lagi dengan Rumah Dunia dan hobiku. Sudah lama aku tidak pernah menulis lagi. Sejak aku mengubur cita-citaku, aku jadi lebih fokus pada sekolah dan sekarang kuliah. Tapi temanku Mia mengajakku ke Rumah Dunia.
Di siang bolong ketika matahari sudah berada diatas kepala, Mia tiba-tiba meneleponku saat aku sedang berada di mall Ramayana Serang. Dia menceritakan tentang Rumah Dunia, aku tidak terlalu mengerti apa maksud dari pembicaraannya karena dia memang tidak terlalu jelas menceritakan ada apa di Rumah Dunia apalagi suara mall yang bising semakin membuat aku sulit memperhatikan pembicaraannya lebih seksama hanya saja di telepon dia menyuruhku datang ke acara technical meeting di Rumah Dunia dengan membawa cerpen, berita, puisi dan pendapat tentang Rumah Dunia. Tapi aku juga tidak tahu technical meeting untuk apa?
 Kalau puisi dan cerpen mungkin aku punya, masih disimpan dalam flash disk. Tapi untuk berita? Seperti apa sih berita itu? bagaimana cara menulis berita? Aku benar-benar tidak tahu. Tadinya aku ingin membatalkan ikut technical meeting apalagi aku mendapat berita temanku di Rangkasbitung kecelakaan jadi aku ingin pulang untuk menjenguknya. Tapi Mia tetap memaksaku.
“Ikut aja sih, Tia, kamu pasti seneng, kalau soal tugas yang harus dibawa katanya bisa menyusul.” Aku jadi penasaran juga lalu aku pun ikut ke Rumah Dunia.
Kangen juga aku ke Rumah Dunia. Walaupun baru sekali aku datang kesana tapi entah mengapa aku merasa sudah lama tidak pulang ke Rumah. Aku lalu menceritakan pada Mia situasi di Rumah Dunia saat aku kesana tahun 2005 lalu yang masih melekat erat di ingatanku.
Aku lalu mengikuti technical meeting kelas menulis. Sempat aku terpana melihat perbedaan yang besar sekali dari Rumah Dunia yang dulu. Aku jadi merasa asing sekali berada disana, seperti belum pernah kesana sama sekali. Tapi saat melihat perpustakaan dan panggung yang ada disana, aku terkenang kembali kenangan pada tahun 2005.
Aku lalu memutuskan untuk mengikuti kelas menulis sampai membuat berita dadakan dalam semalam. Dari membaca di berbagai Koran tentang perkembangan berita yang ingin aku tuangkan kedalam tulisan lalu aku jadikan sebuah berita yang asli kubuat sendiri. Aku juga tidak terlalu berharap berita itu dinilai bagus karena aku membuatnya dadakan, aku malah ingin cerpenku yang dipuji. Lucunya, malah berita itu yang dipuji oleh mas Gong. Katanya feature-nya sudah bagus. Malah cerpenku yang masih kurang. Loh kok?
Aku juga tidak langsung bilang pada Papa soal aku masuk kelas menulis. Biarlah Papa tahunya nanti saja kalau aku sudah agak lama belajar disana baru aku beritahu. Lagi pula aku kan sekarang tinggal nge-kost di Serang jadi aku nggak perlu pulang-pergi Serang-Rangkasbitung. Paling-paling hari minggu aku jadi nggak bisa pulang. Mama pasti mencari aku dan penasaran kenapa aku tidak pulang yang biasanya pulang tiap sabtu sore.
Dan benar saja setelah minggu ketiga aku tidak juga pulang, Mama merasa penasaran, kenapa aku tidak mau pulang? mungkin Mama berfikir, kok tumben aku betah berakhir pekan di tempat kost. Aku lalu memberitahukan mengapa aku tidak mau pulang. Aku juga meminta Papa membuka website rumahdunia.net. Kebetulan puisiku dimuat disana.
Papa tersenyum setelah melihat puisi buatanku dimuat di rumahdunia.net, tertera nama penaku disana yang sudah dikenal Papa. Dan sepertinya kali ini kegigihanku berbuah hasil yang baik.
“Kamu pantang menyerah ya, Tia, ya inilah kelebihan anak Papa yang paling Papa banggakan, Papa sudah lama tahu kamu ikut kelas menulis di Rumah Dunia, karena kamu jarang pulang, Mama jadi khawatir lalu Papa tanya pada temanmu satu kost dan ibu kost ternyata kamu ikut kelas menulis setiap hari minggu makanya jarang pulang, kalau sudah begitu Papa mau bicara apa lagi? Kamu pemenangnya, sayang…..”
Ya Tuhan… ini hadiah besar untukku! Aku merasa sangat terharu. Dengan Papa mengizinkan aku mengejar cita-citaku saja, aku sudah sangat bersyukur dan berterima-kasih. Tapi Papa juga memberikan aku hadiah laptop untuk sebuah puisi yang dimuat di website Rumah Dunia. Syamil dan Mama memandangiku sambil tersenyum bangga. Aku merasa mataku jadi basah. Aku kelilipan apa sih, kenapa airmataku terus mengalir? Papa lalu memelukku penuh haru sambil berkata,
“Papa akan mendukung apapun yang kamu ingin lakukan, asal itu semua baik untukmu. Papa nggak akan melarang kamu lagi. Tidak ada salahnya kok punya cita-cita jadi penulis.” Aku merasa bahagia mendengarnya.
Papa terima kasih… aku sayang Papa!
Aku kembali memeluk Papa dan kali ini Mama juga Syamil ikut-ikutan memeluk kami.
“Kak Tia, maaf ya selama ini Syamil selalu bikin kak Tia jengkel tapi kak Tia, kakak yang paling baik kok.”
“Kak Tia juga minta maaf karena sering memusuhi Syamil.”
Tapi perjalananku masih panjang. Aku tidak akan berbangga diri hanya sebatas ini saja hingga saatnya tiba aku bisa menjadi orang yang lebih membanggakan keluarga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar