2005
Matahari
yang hangat menyapaku di pagi yang cerah ini. Karena hari ini guru-guru sedang
mengadakan rapat, jadi sekolah diliburkan. Benar-benar hari yang menyenangkan,
bisa bebas dirumah bersantai-santai. Hari libur biasanya aku paling malas mandi
pagi. Kulihat Mama juga lagi sibuk membujuk adikku agar mau bersekolah.
Lagi-lagi
dia ngambek tidak mau pergi ke sekolah lantaran Papa belum pulang dari luar kota . Setiap hari memang
selalu Papa yang mengantarkan kami ke sekolah tapi itukan kalau Papa sedang
tidak dinas diluar kota .
Dan adikku yang manja itu sulit sekali diberi pengertian, dia hanya ingin pergi
ke sekolah dengan Papa. Kalau Papa tidak ada, dia tidak mau sekolah.
“Kak Tia
juga nggak sekolah,” rengeknya sambil memperhatikan aku yang masih mengenakan
piyama.
“Kak Tia kan lagi libur, sayang…
gurunya sedang rapat.”
“Sekarang kan bukan tanggal merah
masa kak Tia libur? Rapat itu apa? Kalau gitu adek juga pengen libur.” Dia
masih ngotot dengan keinginannya. Kulihat Mama juga sudah bingung memberi
pengertian.
Terserahlah,
dia mau sekolah atau tidak, itu bukan urusanku. Aku memang tidak pernah
memerdulikan adikku mau melakukan apa. Mengasuhnya juga aku sebenarnya tidak
mau kalau bukan karena terpaksa. Dengan ancaman aku tidak akan diberi uang saku
kalau tidak mau mengasuhnya membuatku benar-benar ‘terpaksa’ mengasuhnya.
Bosan
memerhatikan Mama yang sedang membujuk adikku, aku lalu pergi ke dapur membuat
secangkir cappuccino. Santai di depan sambil menikmati secangkir cappuccino
pasti sedap sekali. Terbayang di benakku kehangatan cappuccino yang akan
mengaliri tenggorokanku. Sambil bersantai membaca majalah, wah…wah… hari yang
damai.
Selesai
membuat cappuccino, aku lalu membawa cappuccino itu keluar sambil menenteng
sebuah majalah. Baru saja aku duduk di kursi plastik yang memang sudah
disediakan di teras rumah, loper koran langganan memberikan sebuah tabloid Nova
padaku. Hem, baru kuingat ternyata sekarang sudah terbitnya tabloid kesayangan Mama.
Aku lalu masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan loper koran dan tabloid
kesayangan Mama yang sudah ada di tanganku. Mama memberikan beberapa lembar
uang seribuan padaku yang langsung kuberikan pada loper koran yang masih
menunggu diluar.
“Simpan aja
dulu di meja, Tia,” ujar Mama yang sudah bersiap akan membawa adikku ke
sekolahnya. “Mama mau antar adikmu ke sekolah.” Akhirnya dia mau sekolah juga.
Mama lalu
pergi mengantarkan Syamil ke sekolah yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumah. Aku menyimpan
tabloid itu diatas meja. Tapi kemudian aku mengambilnya kembali. Penasaran juga
ingin melihat seperti apa sih isinya? Boleh dong aku sekali-kali baca majalah
ibu-ibu? Baca majalah remaja melulu bosan juga. Kubawa tabloid itu kembali
keluar.
Sambil duduk
di teras, aku lalu melembari tabloid itu. Isinya buatku membosankan, habis
artikelnya tentang ibu-ibu semua. Iyalah, emang itu buat ibu-ibu kok, aku baca
juga percuma aku tidak tertarik. Tapi ketika aku melembari halaman berikutnya
aku membaca berita tentang Rumah Dunia yang didirikan oleh seorang penulis
ternama Gol A Gong. Aku penasaran, dimana memang Rumah Dunia itu?
Kukira
tempatnya pasti berada di Jakarta
dan sekitarnya. Tapi saat aku baca alamatnya ternyata di Serang, aku makin
terkejut. Memangnya ada tempat seperti ini di Serang? Karena penasaran, aku
baca juga artikel itu.
***
“Pa, aku mau
ke Serang ya? Boleh kan,” pintaku pada Papa yang malam itu sedang bersantai di
ruang tengah.
Sudah lama
aku ingin menyampaikan keinginanku ini pada Papa. Tapi aku takut Papa marah
kalau aku pergi ke Serang. Aku juga harus menjaga mood Papa dulu agar Papa
tidak langsung marah saat aku mengutarakan keinginanku.
“Pergi ke
Serang, mau apa?”
“Tia, pengen
ke Rumah Dunia, Pa.”
“Rumah
Dunia? Apa itu?”
Aku lalu
menceritakan apa itu Rumah Dunia dan kenapa aku sampai tertarik ingin
mengunjunginya.
Sudah lama
memang aku punya hobi menulis. Menulis puisi dan cerpen. Kata teman-temanku sih
puisi dan cerpen karyaku bagus. Mereka, yang sudah membaca cerpen-cerpenku,
memujiku. Aku jadi ingin menjadi penulis cerita fiksi. Dan saat aku membaca
artikel Rumah Dunia, aku jadi tertarik. Apalagi karena didirikan oleh seorang
penulis ternama.
“Buat apa
sih ke Rumah Dunia?”
“Tia
penasaran, Pa, Tia pengen tahu Rumah Dunia itu apa? Kali aja Tia bisa belajar
menulis disana?”
“Kamu mau
pergi sama siapa? Papa kan
nggak bisa mengantar kamu, minggu-minggu ini Papa sibuk.”
What! pergi
sama Papa? Ya nggak dong! Masa sih mau pergi diantar Papa? Malu-maluin aja. Aku
kan udah
gede.
“Pergi
sendiri, Pa. ”
“Pergi
sendiri? Jangan! Kamu kan nggak pernah ke luar
kota sendirian,
ajak temanmu, minimal dua orang. Kalau kamu bawa temanmu, baru Papa kasih
izin.”
Aku
memberengut kecewa. Uuh… kenapa sih Papa nggak kasih izin aku pergi sendiri?
Aku kan udah
gede. Udah kelas dua SMP. Tapi Ok deh kalau aku bisa bawa teman berarti Papa
kasih izin. Gampang sih kalau itu. Lagian cuma dua orang kan ?
***
“Rumah
Dunia? Apa itu?” pertanyaan yang sama dilontarkan teman-temanku ketika aku
mengajak mereka berkunjung ke Rumah Dunia.
Dengan
semangat aku lalu menceritakan seperti apa Rumah Dunia seolah aku sudah
berkunjung kesana padahal aku baru tahu ceritanya di Koran. Tapi berkali-kali
aku harus menelan kekecewaan karena mereka ternyata tidak berminat dengan
literasi. Bahkan yang paling parah mereka tidak tahu Gol A Gong siapa? Aku
memang biasanya baca novel remaja dan belum pernah juga baca novel Gol A Gong
tapi aku tahu siapa Gol A Gong, jauh sebelum aku baca artikelnya di tabloid
Nova.
“Males, ah!
ngapain lagi ke tempat begitu, kalau kamu ngajak aku jalan-jalan ke Blok M baru
aku mau,” ujar Meina.
“Ngapain ke
Blok M kalau nggak punya duit? Ntar ngiler lagi. Bisa-bisa Blok M banjir sama
iler kamu,” tukas kesal.
“Yah… nggak
belanja juga cuci mata atuh.”
Iih… cuci
mata lagi. Buat apa sih cuci mata pake ke Blok M segala? Cuci mata sih di kamar
mandi aja, nggak usah ke Blok M! Kalau mau, biar aku ajak ke Blok M yang ada di
Jalan Dewi Sartika, kalau mau ke SMKN 1 Rangkasbitung kan bisa lewat ‘Blok M’
alias belokan masjid.
Tapi meski
sulit mengajak teman-temanku, aku tetap tidak menyerah sampai akhirnya Vera dan
Desi berhasil kubujuk untuk mau ikut ke Serang bersamaku. Sebenarnya sambil
memaksa juga sih sampai aku harus rela mengeluarkan uang untuk mengongkosi
kedua temanku itu. Kebetulan kakak Desi tinggal di Serang jadi dia tahu lebih
banyak daerah Serang.
Dengan
berbekal izin dari Papa dan uang saku, aku berangkat ke Serang bersama kedua
temanku itu. Desi bilang sih paling enak kalau pergi ke Serang naik kereta,
ongkosnya murah, selain itu naik kereta lebih cepat daripada naik bis.
Sebenarnya ini pertama kalinya buatku naik kereta, agak takut juga tapi biarlah
anggap saja sebagai pengalaman.
***
Rumah
Dunia, Ciloang
Dari stasiun
Serang, kami naik angkutan umum menuju Kemang. Sebenarnya Desi hanya tahu
Ciloang saja, dia tidak tahu Rumah Dunia berada dimana. Tapi aku tetap nekat
sampai bilang sama Papa kalau Desi tahu Rumah Dunia dimana, jadi Papa nggak
usah khawatir. Kalau tidak begitu Papa tidak akan memberi izin. Kalau nggak
tahu tanya aja sama orang. Pasti nggak bakalan nyasar, kalau sampai nyasar juga
tinggal balik lagi pulang kerumah, susah amat!
“Bang, Rumah
Dunia dimana ya?” tanyaku pada tukang ojeg. Supir angkotnya juga ternyata tidak
tahu dimana Rumah Dunia.
“Oh, kalau
Rumah Dunia masuk lagi ke dalem, Neng, jauh… mending naik ojeg, lima ribu aja,”
jawab si tukang ojeg. Tapi aku fikir, kalau kita naik ojeg pasti harus seorang
satu ojeg. Pasti mahal lagi ongkosnya. Karena disana juga ada tukang becak, aku
lalu memilih naik becak. Tumpuk tiga. Mana biggest semua.
Aku tidak
mengira ternyata Rumah Dunia jauh ke dalam lagi dari tempat pemberhentian angkutan
umum. Mana jalannya aduhai jelek sekali. Kalau hujan pasti becek. Aku jadi
tidak tega pada abang becak, pasti berat bawa kami bertiga sampai ketempat
tujuan.
Dari rumah
aku sudah membayangkan kira-kira apa yang akan aku lakukan nantinya. Menurut tabloid
Nova, kalau kita datang kerumah dunia kemungkinan bisa bertemu dengan Gol A
Gong. Aih, aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengan Gol A Gong. Sebenarnya aku
juga tidak tahu novel-novel karya Gol A Gong itu seperti apa soalnya aku belum
pernah membacanya. Tapi sebelum berangkat ke Serang aku bela-belain beli buku,
kumpulan cerpen, karya Gol A Gong dan Biru Laut yang judulnya “Subuh itu Biru,
Chika!” lumayan kan
bukunya bisa ditanda-tangani.
Tapi saat
aku tiba, aku sempat terkejut. Didepan pintu masuk ada bebegig sawah yang
bertugas sebagai satpam pintu masuk. Sontak kami tertawa terbahak-bahak. Lucu
sekali.
Aku bertemu
dengan beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai relawan Rumah Dunia. Kami
mengobrol sebentar dengan para relawan itu, menanyakan tentang apa sih
sebenarnya Rumah Dunia itu. Lalu aku bertanya,
“Gol A
Gong-nya ada nggak?”
“Oh,
kebetulan mas Gong ada. Mau ketemu?” Aku mengangguk. “Nah, itu dia.” Aku
menoleh ke belakang.
Deg.
Jantungku serasa berhenti saat melihat pria berambut gondrong yang berjalan
kearah kami. Jadi ini sang penulis terkenal itu? penampilannya biasa dan bisa
dibilang sederhana. Aku fikir penulis terkenal itu seperti artis-artis yang
sering muncul di televisi berpenampilan flamboyan. Tapi aku pun teringat cerita
seorang temanku yang pernah mengatakan “Penulis itu tidak seperti artis yang
tampil komersil, biasanya mereka justru cuek.” Benar juga yah…
Aku lalu
diajak mengobrol di depan perpustakaan Rumah Dunia. Aku benar-benar gugup saat
berhadapan langsung dengan seorang penulis terkenal. Ya Tuhan… tiba-tiba saja
semua pertanyaan yang sudah disusun di kepalaku langsung bubar entah kemana?
Mana kedua temanku tidak mau menemani aku lagi, mereka lagi asik melihat
buku-buku di perpustakaan. Kebetulan saat aku datang, ada seorang anak
laki-laki seumurku yang juga datang berkunjung kesana. Aku lalu mempersilahkan
dia duluan yang bertanya.
Setelah anak
itu selesai bertanya, mas Gong lalu mempersilahkan aku untuk bertanya. Tapi ya
Tuhan… aku gugup setengah mati. Aku bingung mau bertanya apa. Habis kepalaku
benar-benar sudah kosong, pada lari kemana sih pertanyaan yang sudah aku susun
sebanyak mungkin itu? kok nggak bersisa satupun. Aku malah seperti sedang
bertemu dengan cowok yang diam-diam aku sukai saja. Ya Tuhan… aku malu!
“Neng ini
memangnya darimana?”
“Dari
Rangkasbitung.”
“Oh, dari
Rangkasbitung, kesini naik apa?”
“Naik
kereta.”
“Naik
kereta? Turun di stasiun yah?”
“Iya.”
Iyalah dimana lagi? Masa di terminal? Mas Gong ini gimana sih?
“Kalau naik
kereta mah turun aja di depan, kereta lewat depan kan ?” Aku mengangguk. Memang sebelum ke
stasiun, jalur kereta api melewati Ciloang dulu.
“Turunnya
dimana?” aku malah bertanya bingung.
“Bilang aja
sama masinisnya suruh berhenti kereta terus loncat aja.”
Mataku
membelalak.
Nggak salah
mas Gong bilang begitu? Aku dan teman-temanku kan perempuan masa kami disuruh lompat dari
atas kereta sih? Yang benar saja. Tapi kemudian kulihat mas Gong hanya
tersenyum.
***
Karena
terlalu nervous, aku jadi bertanya seadanya saja. Malah yang rencananya aku
ingin memperlihatkan kumpulan cerpenku jadi batal. Aku bingung bagaimana
caranya memberikan kumpulan cerpen itu pada mas Gong. Aku ingin penulis seperti
mas Gong menilainya, agar aku tahu apa aku punya potensi menjadi penulis? Aku tidak
mau mengingat-ingat peristiwa memalukan seperti ini lagi.
Akhirnya
kami pulang usai melihat-lihat lagi Rumah Dunia. Kami harus mengejar kereta
yang berangkat jam tiga sore. Aku merasa senang sudah bisa bertemu dengan
seorang penulis terkenal membuatku semakin ingin menjadi seorang penulis. Aku
ingin belajar disana. Di kelas menulis yang diselenggarakan setiap hari minggu.
Aku ingin bisa jadi penulis.
Agak kecewa
juga sih karena tujuan utamaku tidak tercapai tapi aku tetap senang karena
sudah dapat tanda-tangan sang penulis. Iih… asik!
***
“Gimana
Rumah Dunia-nya, Fattiya?” Tanya Papa saat kami sekeluarga mengobrol di ruang
tengah. Kegiatan yang sering kami lakukan hampir setiap malam. Mengobrol sambil
menonton. Biasanya Mama akan mengecek PR aku dan Syamil, apa sudah dikerjakan
atau belum sambil menanyakan apa saja yang sudah aku dan Syamil pelajari di
sekolah.
“Senang,
pa.”
“Tempatnya
bagus?”
Aku lalu
menceritakan halaman rumah mas Gong yang dijadikan tempat untuk belajar.
Menurutku tempatnya asik. Seru sekali bisa belajar di alam terbuka. Nggak
seperti belajar di sekolah, membosankan. Habis pola belajarnya monoton bikin
tambah bosan saja.
“Pa, Tia mau
belajar menulis disana ya? Ada
kelas menulis setiap hari minggu.”
“Belajar
disana, buat apa, Tia?”
“Tia pengen
jadi penulis, pa?”
“Penulis?
Cita-cita macam apa itu? Papa nggak akan pernah izinin kamu jadi penulis!”
bentak Papa keras.
Sontak aku
terkejut melihat Papa yang tiba-tiba marah setelah aku mengutarakan keinginanku
jadi penulis. “Kamu harus tahu, jadi penulis itu nggak ada gunanya, nggak
menghasilkan apa-apa! Kalau mau punya cita-cita itu yang bener, bukannya jadi
penulis!”
Aku
tersinggung sekali mendengar ucapan Papa. Kenapa Papa berfikir seperti itu?
jadi penulis itu bukannya nggak ada gunanya. Bukannya nggak menghasilkan
apa-apa. Jadi penulis itu malah punya wawasan lebih luas dari orang-orang biasa
karena jadi penulis yang baik itu harus rajin membaca. Harus tahu berita paling
up to date. Memangnya jadi penulis bukan cita-cita yang benar? Apa salahnya sih
jadi penulis?
Tapi Papa
nggak pernah bisa dibantah. Jika Papa sudah berkata seperti itu, maka selamanya
tidak akan pernah bisa berubah. Aku menangis mendengar penolakan Papa yang
tegas dan menyakitkan hatiku itu. Kalau memang Papa melarang kenapa harus
berkata seperti itu? langsung saja sih Papa bilang “tidak boleh” kenapa Papa
harus menyakiti hatiku dengan mengatakan menjadi penulis itu tidak berguna,
tidak menghasilkan apa-apa.
***
Aku tetap
bersikeras ingin menjadi penulis dan Papa tetap pada pendiriannya melarang aku
jadi penulis. Aku sedih sekali. Kenapa Papa tidak bisa mengerti aku? Tidak bisa
memahami keinginan anak sulungnya? Pa, aku punya cita-cita. Banyak yang bilang
aku punya potensi, kenapa Papa malah melarang aku?
Untuk
menghilangkan kesedihanku, aku jadi sering berlama-lama mengurung diri di kamar
sambil bermain komputer. Tentu saja bukan sekedar bermain. Aku menuangkan
segala unek-unekku kedalam komputer. Dari menulis diary, cerpen dan puisi. Tapi
karena komputer dirumah cuma ada satu, aku terpaksa harus berebut dengan
Syamil. Aku benar-benar kesal karena Syamil memonopoli komputer sampai
berjam-jam cuma buat main game. Masih mending dipakai untuk belajar, aku mau
saja berbagi tapi ini buat main game. Kenapa nggak pakai laptop Papa aja sih
kalau cuma mau main game. Setiap kali aku protes pasti Papa ataupun Mama akan
membela Syamil. Aku jadi memusuhi adik semata wayangku itu mati-matian.
Aku kecewa
setengah mati sampai aku tidak mau bicara dengan Papa berhari-hari. Aku tidak
mau memaafkan kata-kata Papa. Terpaksa aku harus pergi ke rental kalau aku mau
membuat cerpen. Meski belum pernah dimuat tapi aku tetap terus bersemangat.
Sekalipun harus mengencangkan ikat pinggang tapi keinginanku tidak pernah
padam. Sampai akhirnya akupun menyerah pada kenyataan, lama-kelamaan kalau aku
terus mengetik di tempat rental, aku tekor juga. Ditambah lagi kata-kata yang
melemahkan keinginanku menjadi penulis bukan keluar dari mulut Papa saja tapi
dari beberapa temanku yang – entah mungkin mereka sirik pada potensiku –
menyepelekan aku.
“Fattiya…,
Fattiya…, kamu mimpi mau jadi penulis? Ngaca dulu dong, Tia, kamu tuh asalnya
darimana? Cuma punya ortu karyawan swasta aja gayanya pengen jadi penulis,
jangan mimpi terlalu tinggi, Tia, nanti jatuhnya bisa sakit.”
Tidak akan
pernah aku lupakan kata-kata Mariana ketika dia mendengar aku ingin jadi
penulis. Sakit sekali hatiku mendengar kata-kata itu dari Mariana, sepupuku
sendiri. Aku tidak tahu niat hati Mariana mengucapkan kata-kata itu untuk
menghinaku atau mengingatkan aku agar jangan terlalu banyak bermimpi. Tapi
mimpi ini bukan sekedar bunga tidur belaka, mimpi ini sudah mengalir bersama
aliran darah dalam tubuhku. Aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku jadi
ingat semangat Agnes Monica, yang tertawa belakangan adalah pemenangnya.
Meski
akhirnya semangat itupun tiba-tiba berpendar dari hatiku. Mungkin karena aku
telah terlalu bosan dengan keadaan yang belum juga berubah. Papa tetap pada
pendiriannya, Syamil yang terus-terusan menggangguku dan Mariana-Mariana lain
yang menganggap aku tidak akan mampu jadi penulis. Aku pun terpaksa mengubur
keinginanku menjadi penulis dan berbaikan dengan Papa dan Syamil. Aku memang
ingin menjadi penulis tapi untuk terus-terusan menyapa Papa dan adikku tetap
saja rasanya tidak enak.
***
January,
2010
Inikah yang
namanya jodoh? Sejak 2009, aku memang sudah kuliah di sebuah kampus komputer di
Serang. Sebenarnya aku sudah tidak ingat lagi dengan Rumah Dunia dan hobiku.
Sudah lama aku tidak pernah menulis lagi. Sejak aku mengubur cita-citaku, aku
jadi lebih fokus pada sekolah dan sekarang kuliah. Tapi temanku Mia mengajakku
ke Rumah Dunia.
Di siang
bolong ketika matahari sudah berada diatas kepala, Mia tiba-tiba meneleponku
saat aku sedang berada di mall Ramayana Serang. Dia menceritakan tentang Rumah
Dunia, aku tidak terlalu mengerti apa maksud dari pembicaraannya karena dia
memang tidak terlalu jelas menceritakan ada apa di Rumah Dunia apalagi suara
mall yang bising semakin membuat aku sulit memperhatikan pembicaraannya lebih
seksama hanya saja di telepon dia menyuruhku datang ke acara technical meeting
di Rumah Dunia dengan membawa cerpen, berita, puisi dan pendapat tentang Rumah
Dunia. Tapi aku juga tidak tahu technical meeting untuk apa?
Kalau puisi dan cerpen mungkin aku punya,
masih disimpan dalam flash disk. Tapi untuk berita? Seperti apa sih berita itu?
bagaimana cara menulis berita? Aku benar-benar tidak tahu. Tadinya aku ingin
membatalkan ikut technical meeting apalagi aku mendapat berita temanku di
Rangkasbitung kecelakaan jadi aku ingin pulang untuk menjenguknya. Tapi Mia
tetap memaksaku.
“Ikut aja
sih, Tia, kamu pasti seneng, kalau soal tugas yang harus dibawa katanya bisa
menyusul.” Aku jadi penasaran juga lalu aku pun ikut ke Rumah Dunia.
Kangen juga
aku ke Rumah Dunia. Walaupun baru sekali aku datang kesana tapi entah mengapa
aku merasa sudah lama tidak pulang ke Rumah. Aku lalu menceritakan pada Mia
situasi di Rumah Dunia saat aku kesana tahun 2005 lalu yang masih melekat erat
di ingatanku.
Aku lalu
mengikuti technical meeting kelas menulis. Sempat aku terpana melihat perbedaan
yang besar sekali dari Rumah Dunia yang dulu. Aku jadi merasa asing sekali
berada disana, seperti belum pernah kesana sama sekali. Tapi saat melihat
perpustakaan dan panggung yang ada disana, aku terkenang kembali kenangan pada
tahun 2005.
Aku lalu
memutuskan untuk mengikuti kelas menulis sampai membuat berita dadakan dalam
semalam. Dari membaca di berbagai Koran tentang perkembangan berita yang ingin
aku tuangkan kedalam tulisan lalu aku jadikan sebuah berita yang asli kubuat
sendiri. Aku juga tidak terlalu berharap berita itu dinilai bagus karena aku
membuatnya dadakan, aku malah ingin cerpenku yang dipuji. Lucunya, malah berita
itu yang dipuji oleh mas Gong. Katanya feature-nya sudah bagus. Malah cerpenku
yang masih kurang. Loh kok?
Aku juga
tidak langsung bilang pada Papa soal aku masuk kelas menulis. Biarlah Papa
tahunya nanti saja kalau aku sudah agak lama belajar disana baru aku beritahu.
Lagi pula aku kan
sekarang tinggal nge-kost di Serang jadi aku nggak perlu pulang-pergi
Serang-Rangkasbitung. Paling-paling hari minggu aku jadi nggak bisa pulang. Mama
pasti mencari aku dan penasaran kenapa aku tidak pulang yang biasanya pulang
tiap sabtu sore.
Dan benar
saja setelah minggu ketiga aku tidak juga pulang, Mama merasa penasaran, kenapa
aku tidak mau pulang? mungkin Mama berfikir, kok tumben aku betah berakhir
pekan di tempat kost. Aku lalu memberitahukan mengapa aku tidak mau pulang. Aku
juga meminta Papa membuka website rumahdunia.net. Kebetulan puisiku dimuat
disana.
Papa
tersenyum setelah melihat puisi buatanku dimuat di rumahdunia.net, tertera nama
penaku disana yang sudah dikenal Papa. Dan sepertinya kali ini kegigihanku
berbuah hasil yang baik.
“Kamu
pantang menyerah ya, Tia, ya inilah kelebihan anak Papa yang paling Papa
banggakan, Papa sudah lama tahu kamu ikut kelas menulis di Rumah Dunia, karena
kamu jarang pulang, Mama jadi khawatir lalu Papa tanya pada temanmu satu kost
dan ibu kost ternyata kamu ikut kelas menulis setiap hari minggu makanya jarang
pulang, kalau sudah begitu Papa mau bicara apa lagi? Kamu pemenangnya,
sayang…..”
Ya Tuhan…
ini hadiah besar untukku! Aku merasa sangat terharu. Dengan Papa mengizinkan
aku mengejar cita-citaku saja, aku sudah sangat bersyukur dan berterima-kasih.
Tapi Papa juga memberikan aku hadiah laptop untuk sebuah puisi yang dimuat di
website Rumah Dunia. Syamil dan Mama memandangiku sambil tersenyum bangga. Aku
merasa mataku jadi basah. Aku kelilipan apa sih, kenapa airmataku terus
mengalir? Papa lalu memelukku penuh haru sambil berkata,
“Papa akan
mendukung apapun yang kamu ingin lakukan, asal itu semua baik untukmu. Papa
nggak akan melarang kamu lagi. Tidak ada salahnya kok punya cita-cita jadi
penulis.” Aku merasa bahagia mendengarnya.
Papa terima
kasih… aku sayang Papa!
Aku kembali
memeluk Papa dan kali ini Mama juga Syamil ikut-ikutan memeluk kami.
“Kak Tia,
maaf ya selama ini Syamil selalu bikin kak Tia jengkel tapi kak Tia, kakak yang
paling baik kok.”
“Kak Tia
juga minta maaf karena sering memusuhi Syamil.”
Tapi
perjalananku masih panjang. Aku tidak akan berbangga diri hanya sebatas ini
saja hingga saatnya tiba aku bisa menjadi orang yang lebih membanggakan
keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar