Annisa
memerhatikan anak laki-laki berbadan kurus yang berdiri tak jauh darinya. Dia
memakai T’ Shirt dan bersyal yang dipadankan dengan
celana cargo. Annisa tahu anak laki-laki itu merupakan anak Paman yang tadi
ditabraknya, dan Annisa tidak menyukainya karena Ayahnya sangat galak, karena
tadi dia habis dimarahi.
Tapi
sebenarnya itu juga karena kesalahannya sih. Dia lari-lari saat memasuki kantor
Pamannya sehingga menabrak Bapak-bapak yang sedang berdiri. Bapak itu juga
sebenarnya tidak memarahi, hanya mengingatkan agar Annisa jangan lari-lari tapi
karena suaranya besar jadi Annisa merasa dimarahi dan dia jadi terlanjur kesal
pada Bapak itu.
Annisa
kemudian menyeringai. Sebuah ide jahil muncul dalam benaknya. Dengan langkah
mengendap dia lalu mendekati anak laki-laki yang diperkirakan usianya lima
tahun lebih tua darinya. Saat dia berada tepat dibelakang anak laki-laki yang
sedang berdiri tegak itu, dengan iseng Annisa menendang kakinya sekencang
mungkin agar terjatuh.
Anak
laki-laki itu kontan terkejut, dia sama sekali tidak mengira akan dijahili
orang yang tidak dikenalnya. “Hei, awas kamu!” teriaknya sambil bersusah payah
berdiri. Tapi yang diteriaki anak laki-laki itu sudah keburu lari kocar-kacir.
Karena
anak laki-laki itu mengejarnya, Annisa terus lari dan lari sekuat tenaga
diantara sekerumunan orang-orang dewasa yang berada di kantor Pamannya. Karena
tak ada jalan lagi Annisa pun masuk ke dalam sebuah lift dan bergegas
menutupnya. Tapi tak disangkanya anak laki-laki itu larinya kencang dan dia
cukup gesit untuk masuk di sela pintu lift yang nyaris tertutup.
“Ha-ha…
kena kamu yah! mau kemana kamu sekarang?” ancam anak laki-laki itu. Lalu dia memencet
tombol lantai 12 agar lift segera berjalan. Annisa pun pasang kuda-kuda untuk
membela diri.
“Aku
nggak takut,” tantangnya. “Asal kamu tahu aja, aku pernah mukul cowok yang
badannya lebih besar dari kamu,” ujarnya bangga.
“Siapa
kamu? Kenapa kamu iseng sekali?” suara anak laki-laki itu pun melunak. Mungkin
karena dia merasa untuk apa melawan anak perempuan yang usianya lebih muda dan
badannya lebih kecil darinya, bukankah itu hanyalah tindakkan pengecut.
“Ayah
kamu tuh tadi yang marahi aku, huh!”
Anak
laki-laki itu mengerutkan dahi. Loh memangnya apa hubungannya dengan dia?
Ayahnya yang memarahi kenapa jadi dia yang diisengi? Apa anak perempuan ini
bermaksud membalas dendam padanya? Tapi belum sempat terjadi apa-apa diantara
dua bocah yang sedang berada dalam lift itu. Tiba-tiba lift bergetar dan
mendadak berhenti.
“Eeehh…
kok berhenti? Kamu yang berhentikan yah?” tuduhnya.
“Liftnya
berhenti sendiri, mungkin mati listrik atau ada kerusakan.” Bocah itu segera
menekan beberapa tombol disana dengan harapan lift akan bergerak tapi percuma,
lift tetap tidak bergerak.
Annisa
lalu mendekati pintu lift, dengan gerakan seolah ingin meninju seseorang dia
malah memarahi lift. “Heh, lift! Kenapa kamu berhenti? Kita semua masih ada di
dalam tahu!” teriaknya dengan kencang.
“Dasar
anak bodoh, untuk apa kamu memarahi lift? Memangnya lift mengerti omongan
kamu?” Dengan wajah cemberut, Annisa lalu kembali ke belakang bocah tadi dan
duduk bersandar di lift.
“Sampai
kapan liftnya jalan lagi?”
“Mana
aku tahu, aku kan bukan tukang service.” Anak laki-laki itu lalu ikut duduk disebrang
Annisa.
“Kamu
tahu nggak, aku pernah memukul anak yang badannya sangat besar, habis dia sudah
buat Kak Salma menangis, jadi kupukul saja dia. Sudah begitu dia menangis,
padahal badannya kan besar tapi dia cengeng.” Annisa lalu tertawa usai dia
mengisahkan kehebatannya.
“Anak
perempuan kok suka memukul? Itukan tidak boleh.”
“Habis
aku sebal, berani sekali dia memukul Kakakku, makanya kubalas saja biar dia
tahu kalau dipukul itukan sakit.”
“Memang
kamu membalas dia agar dia merasakan kalau dipukul itu sakit, tapi anak
perempuan tetap saja tidak boleh kasar dan jahil, seharusnya anak perempuan itu
bisa bersikap manis.”
Annisa
terdiam mendengar nasihat anak laki-laki yang baru dikenalnya ini. sekarang dia
jadi berpikir, kenapa tadi dia menjahili anak yang tidak kenal ini? Hanya
karena Ayahnya sudah memarahinya tadi lalu dia lampiaskan padanya.
“Nama
kamu siapa?”
“Namaku
Annisa. Lengkapnya Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, baguskan namaku,” jawabnya
bangga. Dia memang sangat menyukai namanya yang indah. Orang tuanya bilang,
nama indah pemberian orang tua adalah doa karena itu dia bahagia orang tuanya
memberikan nama indah padanya.
“Namamu
bagus sekali, Khumaira itukan panggilan kesayangan Rasulullah untuk istrinya
Aisyah Ra.”
“Itu
betul. Kamu tahu tahu juga yah?”
“Tentu
saja aku tahu, karena aku sangat menyukai Aisyah, Ra. Annisa, kamu kesini sama
siapa?”
“Sama
Paman Abdullah.”
“Iya
dong…. Paman orang paling baik sedunia.” Annisa menggerakkan tangannya
membentuk sebuah lingkaran besar. “Sebentar lagi Paman mau menikah, nanti aku
mau pakai jas saat Paman menikah.”
“Kok
pakai jas, harusnya kan gaun.” Bocah itu lalu memerhatikan Annisa yang
berpakaian layaknya anak laki-laki, potongan rambutnya pun persis seperti anak
laki-laki. “Kalau kamu pakai rok pasti cantik.” Annisa memberengut lalu dia
menunduk.
“Tidak
ada yang pernah bilang aku cantik, kata teman-teman aku ini galak seperti
preman pasar, katanya sudah besar aku pasti tidak akan ada yang suka nanti
nggak bakal nikah-nikah dan jadi perawan tua.”
“Siapa
yang bilang begitu? Tidak ada yang boleh berkata kasar seperti itu. Masa depan
orang kan rahasia Allah, mungkin saja nanti Annisa bertemu dengan laki-laki
yang menyukai Annisa lalu menikah.” Senyum manis terkembang dari bibir Annisa.
Rasanya dalam hidupnya selama tujuh tahun ini, baru kali ini ada yang
menyebutnya cantik selain kedua orang tuanya.
Biasanya
oleh teman-temannya dia dikatai jelek, oleh Kakak perempuannya pun dia dibilang
tampan bukan cantik. Karena Annisa selalu berpenampilan seperti anak laki-laki
dan tingkahnya pun benar-benar tomboy. Apalagi dia dekat dengan Kakak
laki-lakinya dan selalu meniru tingkah Kakak laki-lakinya.
“Liftnya
kok nggak jalan-jalan sih? Rusak yah? Panas nih. Kalau kita kehabisan udara
gimana? Masa kita bakal mati disini.”
“Iya
ya, lama sekali. Ada apa ya, mungkin kerusakannya parah atau jangan-jangan
tidak ada yang tahu kalau kita berada disini. Kita berdoa saja semoga liftnya
cepat jalan lagi.”
“Tapi
aku takut.” Suaranya mulai berubah menjadi isak.
“Jangan
takut, sama anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar saja kamu berani masa
sekarang kamu takut?”
“Tapi
kan… tapi kan disini nggak ada siapa-siapa, aku takut.” Annisa mulai
menampakkan wajah sedih dan takut lalu dia pun menangis. Karena merasa kasihan
anak laki-laki itu menghampiri Annisa lalu duduk disampingnya. “Ummi. Abi.
Paman. Kak Ahmad. Kak Salma.” Tangis Annisa semakin kencang saat dia menyadari
tidak ada siapa-siapa didekatnya.
“Ssst…
jangan takut.” Dipeluknya Annisa untuk menenangkannya. “Masih ada aku kok,
kalau kamu takut kamu bayangkan saja sesuatu yang menyenangkan nanti nggak akan
takut lagi.” Annisa menuruti saran anak laki-laki itu lalu dia memikirkan
sesuatu yang menyenangkan. Dan dia teringat saat dia menjahili anak laki-laki
yang duduk disebelahnya ini, dia ingat wajahnya yang memerah setelah terjatuh
lalu Annisa pun tertawa. “Nah, kamu tertawa lagi, kamu ingat apa?”
“Ingat
saat kamu jatuh tadi,” jawab Annisa lugas. Tak lama kemudian lift dapat kembali
bergerak, lalu pintu lift terbuka. Saat Annisa melihat Pamannya berdiri dibalik
pintu serta-merta Annisa langsung memeluk Pamannya lalu dia menangis. Digendongnya
Annisa lalu ditepuk-tepuknya punggung keponakannya.
“Sudah-sudah
jangan menangis, untung saja liftnya bisa jalan lagi, Paman tadi cemas sekali
dengar kamu ada didalam lift yang mati, Annisa. Lain kali jangan masuk ke dalam
lift sendirian yah.”
Dari
bahu Pamannya Annisa melihat anak laki-laki itu bersama dengan Ayahnya. Dia
juga mendapat pelukan dari Ayahnya. Ayahnya pasti juga mencemaskannya seperti
Paman Abdullah. Annisa lalu meminta Pamannya untuk menurunkannya, dia harus
mengucapkan terima kasih pada anak laki-laki itu.
“Hei.”
Annisa menepuk bahu anak laki-laki tadi. “Terima kasih ya,” ujarnya seraya dia
berjinjit lalu mengecup pipinya. Anak laki-laki itu tersenyum lalu dia
melepaskan cincin yang ada dijarinya dan disematkannya di jari tengah Annisa.
“Ini
hadiah dariku, aku suka kamu, kalau sudah besar nanti harus jadi istriku yah.”
“Iya,
janji yah, kalau sudah besar nanti kita akan menikah.” Annisa memperlihatkan
jari kelingkingnya, lalu dikaitkannya jari kelingkingnya dengan jari kelingking
anak laki-laki itu. Walaupun dia sendiri tidak tahu apa arti dari janji yang
diucapkannya.
Sejak
itu Annisa pun tidak menjadi anak yang jahil dan galak lagi. Dia pun jadi
senang mengenakan rok, tak pernah lagi mau mengenakan celana panjang. Dia juga
tak pernah lagi memanjat pohon ataupun naik keatas genting. Rambutnya yang
selalu dipotong pendek sudah mulai di panjangkan. Meski kedua orang tuanya
heran karena si bungsu tiba-tiba berubah jadi feminin tapi mereka tak pernah
bertanya apa yang membuat Annisa ingin berubah.
Tapi
pertemuannya dengan anak laki-laki yang belum sempat dia tanya namanya itu, tak
pernah terjadi lagi. Bahkan Annisa pun perlahan-lahan mulai melupakan kejadian
dalam lift itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar