Welcome

Welcome

Kamis, 16 Juli 2015

Lembar Pembuka : Birunya Langit Cinta

Annisa memerhatikan anak laki-laki berbadan kurus yang berdiri tak jauh darinya. Dia memakai T’ Shirt dan bersyal yang dipadankan dengan celana cargo. Annisa tahu anak laki-laki itu merupakan anak Paman yang tadi ditabraknya, dan Annisa tidak menyukainya karena Ayahnya sangat galak, karena tadi dia habis dimarahi.
Tapi sebenarnya itu juga karena kesalahannya sih. Dia lari-lari saat memasuki kantor Pamannya sehingga menabrak Bapak-bapak yang sedang berdiri. Bapak itu juga sebenarnya tidak memarahi, hanya mengingatkan agar Annisa jangan lari-lari tapi karena suaranya besar jadi Annisa merasa dimarahi dan dia jadi terlanjur kesal pada Bapak itu.
Annisa kemudian menyeringai. Sebuah ide jahil muncul dalam benaknya. Dengan langkah mengendap dia lalu mendekati anak laki-laki yang diperkirakan usianya lima tahun lebih tua darinya. Saat dia berada tepat dibelakang anak laki-laki yang sedang berdiri tegak itu, dengan iseng Annisa menendang kakinya sekencang mungkin agar terjatuh.
Anak laki-laki itu kontan terkejut, dia sama sekali tidak mengira akan dijahili orang yang tidak dikenalnya. “Hei, awas kamu!” teriaknya sambil bersusah payah berdiri. Tapi yang diteriaki anak laki-laki itu sudah keburu lari kocar-kacir.
Karena anak laki-laki itu mengejarnya, Annisa terus lari dan lari sekuat tenaga diantara sekerumunan orang-orang dewasa yang berada di kantor Pamannya. Karena tak ada jalan lagi Annisa pun masuk ke dalam sebuah lift dan bergegas menutupnya. Tapi tak disangkanya anak laki-laki itu larinya kencang dan dia cukup gesit untuk masuk di sela pintu lift yang nyaris tertutup.
“Ha-ha… kena kamu yah! mau kemana kamu sekarang?” ancam anak laki-laki itu. Lalu dia memencet tombol lantai 12 agar lift segera berjalan. Annisa pun pasang kuda-kuda untuk membela diri.
“Aku nggak takut,” tantangnya. “Asal kamu tahu aja, aku pernah mukul cowok yang badannya lebih besar dari kamu,” ujarnya bangga.
“Siapa kamu? Kenapa kamu iseng sekali?” suara anak laki-laki itu pun melunak. Mungkin karena dia merasa untuk apa melawan anak perempuan yang usianya lebih muda dan badannya lebih kecil darinya, bukankah itu hanyalah tindakkan pengecut.
“Ayah kamu tuh tadi yang marahi aku, huh!”
Anak laki-laki itu mengerutkan dahi. Loh memangnya apa hubungannya dengan dia? Ayahnya yang memarahi kenapa jadi dia yang diisengi? Apa anak perempuan ini bermaksud membalas dendam padanya? Tapi belum sempat terjadi apa-apa diantara dua bocah yang sedang berada dalam lift itu. Tiba-tiba lift bergetar dan mendadak berhenti.
“Eeehh… kok berhenti? Kamu yang berhentikan yah?” tuduhnya.
“Liftnya berhenti sendiri, mungkin mati listrik atau ada kerusakan.” Bocah itu segera menekan beberapa tombol disana dengan harapan lift akan bergerak tapi percuma, lift tetap tidak bergerak.
Annisa lalu mendekati pintu lift, dengan gerakan seolah ingin meninju seseorang dia malah memarahi lift. “Heh, lift! Kenapa kamu berhenti? Kita semua masih ada di dalam tahu!” teriaknya dengan kencang.
“Dasar anak bodoh, untuk apa kamu memarahi lift? Memangnya lift mengerti omongan kamu?” Dengan wajah cemberut, Annisa lalu kembali ke belakang bocah tadi dan duduk bersandar di lift.
“Sampai kapan liftnya jalan lagi?”
“Mana aku tahu, aku kan bukan tukang service.” Anak laki-laki itu lalu ikut duduk disebrang Annisa.
“Kamu tahu nggak, aku pernah memukul anak yang badannya sangat besar, habis dia sudah buat Kak Salma menangis, jadi kupukul saja dia. Sudah begitu dia menangis, padahal badannya kan besar tapi dia cengeng.” Annisa lalu tertawa usai dia mengisahkan kehebatannya.
“Anak perempuan kok suka memukul? Itukan tidak boleh.”
“Habis aku sebal, berani sekali dia memukul Kakakku, makanya kubalas saja biar dia tahu kalau dipukul itukan sakit.”
“Memang kamu membalas dia agar dia merasakan kalau dipukul itu sakit, tapi anak perempuan tetap saja tidak boleh kasar dan jahil, seharusnya anak perempuan itu bisa bersikap manis.”
Annisa terdiam mendengar nasihat anak laki-laki yang baru dikenalnya ini. sekarang dia jadi berpikir, kenapa tadi dia menjahili anak yang tidak kenal ini? Hanya karena Ayahnya sudah memarahinya tadi lalu dia lampiaskan padanya.
“Nama kamu siapa?”
“Namaku Annisa. Lengkapnya Izzatunnisa Azzakiyah Khumaira, baguskan namaku,” jawabnya bangga. Dia memang sangat menyukai namanya yang indah. Orang tuanya bilang, nama indah pemberian orang tua adalah doa karena itu dia bahagia orang tuanya memberikan nama indah padanya.
“Namamu bagus sekali, Khumaira itukan panggilan kesayangan Rasulullah untuk istrinya Aisyah Ra.”
“Itu betul. Kamu tahu tahu juga yah?”
“Tentu saja aku tahu, karena aku sangat menyukai Aisyah, Ra. Annisa, kamu kesini sama siapa?”
“Sama Paman Abdullah.”
“Oh, Om Abdullah itu Paman kamu? Dia orangnya baik loh.”
picture by devianart
“Iya dong…. Paman orang paling baik sedunia.” Annisa menggerakkan tangannya membentuk sebuah lingkaran besar. “Sebentar lagi Paman mau menikah, nanti aku mau pakai jas saat Paman menikah.”
“Kok pakai jas, harusnya kan gaun.” Bocah itu lalu memerhatikan Annisa yang berpakaian layaknya anak laki-laki, potongan rambutnya pun persis seperti anak laki-laki. “Kalau kamu pakai rok pasti cantik.” Annisa memberengut lalu dia menunduk.
“Tidak ada yang pernah bilang aku cantik, kata teman-teman aku ini galak seperti preman pasar, katanya sudah besar aku pasti tidak akan ada yang suka nanti nggak bakal nikah-nikah dan jadi perawan tua.”
“Siapa yang bilang begitu? Tidak ada yang boleh berkata kasar seperti itu. Masa depan orang kan rahasia Allah, mungkin saja nanti Annisa bertemu dengan laki-laki yang menyukai Annisa lalu menikah.” Senyum manis terkembang dari bibir Annisa. Rasanya dalam hidupnya selama tujuh tahun ini, baru kali ini ada yang menyebutnya cantik selain kedua orang tuanya.
Biasanya oleh teman-temannya dia dikatai jelek, oleh Kakak perempuannya pun dia dibilang tampan bukan cantik. Karena Annisa selalu berpenampilan seperti anak laki-laki dan tingkahnya pun benar-benar tomboy. Apalagi dia dekat dengan Kakak laki-lakinya dan selalu meniru tingkah Kakak laki-lakinya.
“Liftnya kok nggak jalan-jalan sih? Rusak yah? Panas nih. Kalau kita kehabisan udara gimana? Masa kita bakal mati disini.”
“Iya ya, lama sekali. Ada apa ya, mungkin kerusakannya parah atau jangan-jangan tidak ada yang tahu kalau kita berada disini. Kita berdoa saja semoga liftnya cepat jalan lagi.”
“Tapi aku takut.” Suaranya mulai berubah menjadi isak.
“Jangan takut, sama anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar saja kamu berani masa sekarang kamu takut?”
“Tapi kan… tapi kan disini nggak ada siapa-siapa, aku takut.” Annisa mulai menampakkan wajah sedih dan takut lalu dia pun menangis. Karena merasa kasihan anak laki-laki itu menghampiri Annisa lalu duduk disampingnya. “Ummi. Abi. Paman. Kak Ahmad. Kak Salma.” Tangis Annisa semakin kencang saat dia menyadari tidak ada siapa-siapa didekatnya.
“Ssst… jangan takut.” Dipeluknya Annisa untuk menenangkannya. “Masih ada aku kok, kalau kamu takut kamu bayangkan saja sesuatu yang menyenangkan nanti nggak akan takut lagi.” Annisa menuruti saran anak laki-laki itu lalu dia memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Dan dia teringat saat dia menjahili anak laki-laki yang duduk disebelahnya ini, dia ingat wajahnya yang memerah setelah terjatuh lalu Annisa pun tertawa. “Nah, kamu tertawa lagi, kamu ingat apa?”
“Ingat saat kamu jatuh tadi,” jawab Annisa lugas. Tak lama kemudian lift dapat kembali bergerak, lalu pintu lift terbuka. Saat Annisa melihat Pamannya berdiri dibalik pintu serta-merta Annisa langsung memeluk Pamannya lalu dia menangis. Digendongnya Annisa lalu ditepuk-tepuknya punggung keponakannya.
“Sudah-sudah jangan menangis, untung saja liftnya bisa jalan lagi, Paman tadi cemas sekali dengar kamu ada didalam lift yang mati, Annisa. Lain kali jangan masuk ke dalam lift sendirian yah.”
Dari bahu Pamannya Annisa melihat anak laki-laki itu bersama dengan Ayahnya. Dia juga mendapat pelukan dari Ayahnya. Ayahnya pasti juga mencemaskannya seperti Paman Abdullah. Annisa lalu meminta Pamannya untuk menurunkannya, dia harus mengucapkan terima kasih pada anak laki-laki itu.
“Hei.” Annisa menepuk bahu anak laki-laki tadi. “Terima kasih ya,” ujarnya seraya dia berjinjit lalu mengecup pipinya. Anak laki-laki itu tersenyum lalu dia melepaskan cincin yang ada dijarinya dan disematkannya di jari tengah Annisa.
“Ini hadiah dariku, aku suka kamu, kalau sudah besar nanti harus jadi istriku yah.”
“Iya, janji yah, kalau sudah besar nanti kita akan menikah.” Annisa memperlihatkan jari kelingkingnya, lalu dikaitkannya jari kelingkingnya dengan jari kelingking anak laki-laki itu. Walaupun dia sendiri tidak tahu apa arti dari janji yang diucapkannya.
Sejak itu Annisa pun tidak menjadi anak yang jahil dan galak lagi. Dia pun jadi senang mengenakan rok, tak pernah lagi mau mengenakan celana panjang. Dia juga tak pernah lagi memanjat pohon ataupun naik keatas genting. Rambutnya yang selalu dipotong pendek sudah mulai di panjangkan. Meski kedua orang tuanya heran karena si bungsu tiba-tiba berubah jadi feminin tapi mereka tak pernah bertanya apa yang membuat Annisa ingin berubah. 

Tapi pertemuannya dengan anak laki-laki yang belum sempat dia tanya namanya itu, tak pernah terjadi lagi. Bahkan Annisa pun perlahan-lahan mulai melupakan kejadian dalam lift itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar