Jika hari
sabtu malam minggu telah datang, tamu Ayah Annisa pasti berkunjung. Seorang
laki-laki berperawakan tinggi sedang, berwajah tampan. Namanya Andy, dulu
merupakan anak didik Ayahnya. Menurut Ayahnya, Andy masih keturunan Belanda,
makanya tampangnya kelihatan indo. Mungkin nenek buyut Andy penjajah yang
memilih untuk tidak pulang ke negaranya, karena sudah kerasan tinggal di Indonesia
atau mungkin ketinggalan kloter.
Awalnya
Annisa tidak terlalu memerhatikan kehadiran laki-laki, yang tampak masih
terlalu muda, jika dikatakan sebagai teman Ayahnya ini, tapi seiring seringnya
dia datang saat malam minggu membuat Annisa jadi merasa heran.
Teman
Ayahnya datang malam minggu? Satu pertanyaan menggantung di benak Annisa, tidak
salahkah? Malam minggu identik dengan laki-laki berkencan dengan perempuan,
pacaran, atau sekedar kumpul dengan teman-teman.
Jangan
salah, malam minggu juga bukan hanya milik anak muda, terkadang Ayah dan Ibunya
pun menghabiskan malam minggu berduaan saja, mereka pergi menonton bioskop atau
makan malam berdua dan meninggalkan ketiga anaknya. Annisa hanya
tersenyum-senyum melihat kemesraan keduanya, dan membiarkan mereka menikmati
keindahan cinta mereka layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta.
Tapi tamu
Ayah satu ini datang pada saat malam minggu. Entah sejak kapan dia mulai sering
datang pada malam minggu, mungkinkah memang sejak kunjungan pertamanya pun dia
selalu datang malam minggu? Dan kenapa harus malam minggu. Disaat banyak
orang-orang ingin menghabiskan malam minggu bersama orang yang disayangi,
karena malam minggu memang malam yang panjang.
Awalnya Ayah
Annisalah yang selalu menamaninya mengobrol tapi setelah beberapa kali
kunjungannya, tiba-tiba Ayah menyuruhnya menemani.
“Nis , tolong kamu temani
Andy sebentar, Ayah mau buat modul dulu.”
Mau tidak
mau Annisa mengikuti permintaan Ayahnya, tidak enak juga jika harus
meninggalkan tamu sendirian seperti itu, sudah jauh-jauh dia datang malah di
cueki.
“Baik,
Ayah.”
Annisa lalu
keluar sambil membawa nampan berisi stoples kue, padahal tadi dia sudah
menyuguhkan kue dan orange juice, tapi dia sengaja membawa kue lagi agar dia
punya alasan untuk menghampirinya.
“Diminum,
Kak,” tawar Annisa sambil menghidangkan kue yang dibawanya.
“Terima
kasih.” Andy menyahut pelan. Pelan sekali sampai nyaris tidak terdengar.
Annisa lalu
duduk di sofa panjang.
“Emm… Ayah
katanya lagi buat modul dulu.” Dia memulai berbasa-basi.
Maksud hati
sekedar ingin memberitahukan bahwa sekarang dialah yang akan menemani pria ini mengobrol,
dan Annisa berharap dengan pancingan itu Andy akan memulai obrolannya.
Tapi setelah
menunggu beberapa menit Andy tidak bereaksi, dia diam seribu bahasa membuat
Annisa salah tingkah. Sedang apakah sebenarnya laki-laki ini, apakah dia sedang
menunggu tokek berbunyi sebagai aba-aba kapan dia harus bicara. Tapi rumah
Annisa berada di tengah kota ,
mana mungkin ada suara tokek di dekat rumahnya.
Setelah dia
harus menunggu lagi selama lima
menit, akhirnya Annisa pun memberanikan diri memulai pembicaraan. Bukankah kata
Ayahnya Andy dulunya anak didik Ayahnya, jika memulai dengan pertanyaan itu dan
berpura-pura seolah dia tidak tahu, rasanya bisa dijadikannya sebagai pancingan
untuk memulai pembicaraan.
“Emm… Kak
Andy ini dulu muridnya Ayah?” Andy mengangguk. “Ayah ngajar kelas berapa?”
“Waktu kelas
dua, kalau sekarang berarti kelas delapan.”
“Ngajar
apa?”
“Bahasa
Inggris.”
“Ayah baik
nggak?”
“Iya, baik.”
“Kakak
pernah dihukum?”
“Nggak.”
“Berarti
Kakak bukan murid yang nakal dong.”
“Ayahmu
nggak pernah menghukum murid, biarpun sama murid yang bandel.”
Annisa
kembali terdiam. Kumpulan pertanyaannya sudah habis, Andy menjawab dengan datar
dan dia hanya menjawab sesuai yang ditanyakan, tidak dilebihkan apalagi
dikurangi. Jika jawabannya tidak, hanya akan dijawab tidak, dan jika jawabannya
Iya, cukup dengan kata Iya. Tidak ada penjelasan lain.
Annisa jadi
bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Memancingnya dengan
pertanyaan-pertanyaan sudah, tapi Andy merespon biasa saja. Apa dia malas
mengobrol dengan anak kecil? Siapa tahu saja.
“Andy itu
murid kesayangan Ayah,” ujar Ayahnya ketika Annisa menanyakan siapakah
sebenarnya Andy. Jika dia sering datang ke rumah seperti ini berarti dulu
mereka pernah dekat, jarang-jarang ada murid yang sampai sekarang masih ingat
pada gurunya.
“Kalau dia murid
kesayangan Ayah, berarti dia anak yang berprestasi dong.”
“Justru
karena dulu dia anak yang Bengal makanya Ayah
tertarik padanya.”
Annisa
melongo mendengar penjelasan Ayahnya. Pak Hasan hanya mengukir senyum kemudian
Beliau menceritakan anak murid kebanggaannya itu pada putrinya.
Rupanya Andy
merupakan anak hasil broken home, kedua orang tuanya bercerai ketika dia baru
duduk dibangku kelas satu SMP, setelah bercerai mereka tidak ada yang ingin
membawa Andy serta. Karena dia merasa tidak punya pegangan, hidup Andy pun jadi
berantakan, hobinya menyakiti orang, dia selalu merasa senang jika sudah
melihat orang lain menderita karena ulahnya, sebab dia merasakan kepuasan.
Meski sudah
beberapa kali dipanggil oleh guru BP, tapi Andy tidak pernah berubah, disuruh
konseling pun tidak mau. Nilainya tidak pernah lebih dari telinga monyet atau
kursi terbalik, bergaulnya saja dengan preman pasar, tapi saat Andy sudah
hampir dikeluarkan karena para guru sudah tidak ada yang sanggup menghadapinya
lagi, Ayah Annisa mengajaknya bicara dan dia menjamin Andy akan berubah.
Ayahnya
menepati janji, Beliau berhasil mengubah Andy, menjadikan seorang Andy yang Bengal menjadi anak yang rajin dan berprestasi. Kabarnya
bahkan sekarang Andy sudah menjadi pengusaha. Tapi anak Bengal
itu seperti kehilangan kata-kata sekarang, dia lebih banyak diam saat bersama
dengannya. Jika memang dulu Andy Bengal, kenapa sekarang dia berubah jadi
pendiam seperti ini?
“Kamu sudah
besar sekarang ya.” Tiba-tiba Andy bersuara. Nyaris Annisa bersorak senang
ketika mendengar Andy memulai pembicaraan.
“Memangnya
Kakak tahu waktu aku kecil?”
“Iya, dulu
Pak Hasan sering membawamu ke sekolah saat bagi raport atau saat sekolah sedang
mengadakan acara, Kakak juga sering main ke rumah Pak Hasan yang lama.”
Annisa hanya
mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak ingat, memang Ayah dan Ibunya pernah
menceritakan, saat dia kecil dulu sering dibawa ke sekolah oleh Ayahnya. Dan
dia juga tidak terlalu mengingat laki-laki yang katanya sering datang main ke
rumah ini. ***
“Kak, tebak,
malam ini Kak Andy bakal datang lagi nggak,” ujar Aisyah ketika Annisa tengah
membaca buku di kamarnya.
“Itu sih
bukan tebakan, Ai, dia pasti datang lagi, habis dia itu pacar barunya Ayah,” sahut Annisa geli.
Yang
dilakukan Andy memang menarik perhatian seisi rumah, seorang anak murid
mendatangi gurunya setiap malam minggu, seperti laki-laki yang mengencani anak
perempuan. Padahal setiap malam minggu tidak ada yang mereka lakukan apa-apa
selain mengobrol, dan biasanya tidak lama, hanya setengah jam, kemudian Andy
kembali pamit. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Tapi sekarang
kenapa Ayah selalu menyuruh Kak Nisa yang menemani Kak Andy?”
Memang
benar, akhir-akhir ini Ayahnya selalu menyuruhnya menemani Andy. Alasannya
memang selalu masuk akal, misalkan saja saat itu Ayahnya harus membuat modul
untuk bahan pelajaran murid-muridnya, atau disaat yang bersamaan Ayah harus
pergi keluar.
Tapi meski
tahu Pak Hasan tidak bisa menemaninya, Andy tetap duduk disana tanpa sungkan,
bahkan karena sudah dianggap keluarga, Andy tidak lagi sekedar duduk mematung
di ruang tamu, melainkan ikut bergabung menonton atau mengobrol bersama dengan
Ibu dan kedua adik Annisa.
“Kak Nisa menemani
kak Andy saat Ayah nggak bisa menemani saja.”
“Tapi sering
loh, Kak, Apa Kakak nggak curiga?”
Curiga?
Kenapa harus curiga? Tidak baik mencurigai Ayah sendiri, lagipula apa yang
harus dicurigai? Annisa sama sekali tidak mencium bau mencurigakan.
“Kenapa
harus curiga sama Ayah?”
“Ya, siapa
tahu saja sebenarnya kedatangan Kak Andy selama ini untuk Kak Nisa, mungkin
saja Ayah mau menjodohkan Kak Andy dengan Kak Nisa.”
“Apa?” Belalak mata Annisa mendengar jawaban adiknya.
Jangan-jangan
memang benar maksud dan tujuan Ayahnya adalah untuk menjodohkannya dengan Andy.
Pantas saja belakangan ini sering kali Ayahnya tidak bisa menemani Andy, dan
Andy juga terkadang pernah mengajaknya jalan-jalan. Dia seperti dibiarkan
beradaptasi dengan keluarga ini.
Tapi masa
sih Ayahnya mau menjodohkannya dengan laki-laki yang tiga belas tahun lebih tua
darinya? Loh, bukannya wajar kalau menikah, usia laki-lakinya lebih tua, lebih
dewasa. Biar bisa melindungi, bisa memanjakan, bisa menjadi pemimpin yang baik.
Annisa
tiba-tiba jadi cemas. Seandainya yang dikatakan adiknya benar, bagaimana?
“Annisa.”
Terdengar suara Ayahnya dari luar.
“Iya, Yah” Annisa
menoleh ke arah pintu yang terbuka,
Wajah
Ayahnya tampak pucat, sepertinya ada kabar tidak baik malam ini.
“Temani Ayah
ke rumah sakit, Andy sore tadi kecelakaan.”
Tertegun
Annisa mendengarnya. Murid kesayangan Ayah mengalami kecelakaan, pantas saja
sudah jam delapan malam Andy tak kunjung tiba, biasanya setengah delapan bel
pintu sudah berbunyi. Tapi sejenak kemudian Annisa teringat kata-kata adiknya
baru saja, mengapa selalu saja dia yang disuruh ini-itu jika berhubungan dengan
Andy?
“Ayah, besok
Nisa ada kuliah tambahan dan ada quis, Ayah pergi sama Aisyah saja.”
“Yang bisa
menyetir kan
hanya kamu, Ayah agak lelah hari ini jadi kamu saja yang menyupir, sebentar
saja, Nisa, masa kamu tidak mau menjenguk Kakakmu?”
Kakak? Benar
juga, Ayah sudah mengatakan seperti itu berarti memang tidak ada perjodohan
diantara mereka. Semoga saja itu benar, jadi dia tidak perlu cemas.
“Baiklah.”
“Kak Nisa,
salam buat Kak Andy yah.” Aisyah melambaikan tangan dengan senyum menggelitik.
Annisa tahu, adiknya sedang mengejeknya.
“Keluar kamu
dari kamar Kakak, awas. Jangan ada yang berantakan.”
Aisyah
menjulurkan lidah.
***
Mobil Andy menabrak
angkot yang ugal-ugalan. Keadaannya cukup parah ketika Annisa dan Ayahnya datang,
kepala dan kakinya dibebat perban, tapi untunglah nyawanya masih tertolong.
“Andy,
bagaimana keadaanmu?” Ayah Annisa begitu khawatir ketika mendengar kabar murid
kesayangannya kecelakaan.
“Tidak
apa-apa, Pak, saya sudah jauh lebih baik.”
“Pak Hasan.” Seorang
perempuan yang usianya tak terpaut jauh dengan Andy, lalu mencium tangan Ayah
Annisa dengan penuh rasa hormat.
“Ini Annisa
yah, sudah besar sekarang kamu.” Annisa hanya mengulas senyum. “Kamu pasti lupa
dengan Kakak, dulu kamu masih kecil sih, nama Kakak Sarah, mantan pacarnya Mas
Andy, dulu kamu dengan Mas Andy dekat sekali, apa kamu tidak ingat?”
Annisa
memang pernah punya ingatan dekat dengan seorang Kakak laki-laki sewaktu kecil
dulu, tapi dia tidak terlalu banyak menyimpan kenangan tentangnya. Yang dia
dapat ingat, dulu Kakak itu pernah membelikannya sebuah boneka besar dan hingga
sekarang boneka itu masih disimpannya. Apakah itu Andy?
“Kalau nggak
salah Mas Andy pernah kasih boneka teddy bear waktu kamu ulang tahun keempat.”
“Iya,
bonekanya masih ada, aku nggak ingat kalau boneka itu dari Kak Andy, aku hanya
merasa boneka itu nggak bisa aku buang atau aku kasih sama orang lain, soalnya
waktu kecil boneka itu selalu ada di pelukanku.”
Sarah hanya
tersenyum mendengarnya, sejenak dia melirik ke arah Andy, laki-laki itu hanya
terdiam tak berkomentar, dia mengerti maksud dari lirikan Sarah.
“Mama, kapan
Papa sembuhnya?”
Annisa
terkejut mendengar suara bocah kecil yang muncul dari balik pintu kamar Andy
dan memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa.
Jadi mereka
sudah menikah? Pantas saja sikap Sarah begitu berbeda jika dikatakan hubungan
mereka hanya sekedar mantan pacar, jadi maksudnya mantan pacar itu karena
sekarang sudah jadi suami. Annisa tersenyum lega. Mereka memang serasi.
“Syamil kok
masuk sih, kan
nggak boleh masuk sama suster.”
“Biar Syamil
masuknya diam-diam kok, habis Syamil kan
pengen nengok Papa masa nggak boleh.”
“Sakit Papa
nggak parah kok, Sayang… sebentar lagi juga sembuh, Syamil hari ini bobo sama
Mama yah.” Si kecil hanya mengangguk. “Ayo Syamil keluar lagi, kan nggak boleh masuk
sama suster, nanti kalau ketahuan suster Syamil dimarahi. Nisa, boleh Kak Sarah
minta bantuan kamu?”
“Iya, Kak.”
“Tolong jaga
Mas Andy yah, rajin-rajin kamu menjenguknya, soalnya Kakak nggak bisa sering-sering
menjenguk dia, kamu mengerti kan .”
Annisa hanya mengangguk tanpa meminta penjelasan, mengapa harus dia yang
menjaganya padahal Sarah istrinya.
“Sarah.”
Andy menyela.
“Nggak
apa-apa kan ,
Mas, mumpung ada yang mau bantu.”
“Jangan suka
memanfaatkan orang.”
“Nisa ikhlas
kan bantu
Kakak?” Ditatapnya Annisa sekali lagi. Annisa mengangguk. Andy tak lagi
membantah.
Ya, tentu
saja dia ikhlas jika untuk membantu Kakak sendiri, Ayahnya saja begitu
menyayanginya kenapa dia harus setengah-setengah.
***
Sebagai adik
yang baik, Annisa memenuhi janjinya pada Sarah, dia rajin datang menjenguk Andy
dan merawatnya selagi Sarah tidak bisa merawatnya. Yah, memang sulit memiliki
anak kecil, anak seumur Syamil tidak boleh dibawa ke rumah sakit, tentu Sarah
repot jika harus menjaga Syamil serta menemani suaminya.
“Nisa,
terima kasih sudah mau menemani dan merawat Kakak selama di rumah sakit, Kakak
merasa berhutang padamu,” ujar Andy ketika dia sudah diizinkan pulang.
Annisa hanya
tersenyum sambil membantu Andy mengemasi barang-barangnya. Sarah sedang
membayar biaya adminstrasi sementara Syamil menunggunya di mobil.
“Jangan
begitu, kata Ayah, dulu Kakak sering menjaga aku, apalagi saat Ibu melahirkan
Aisyah dan Ayah menemani Ibu di rumah sakit, Kakak sampai menginap buat menjaga
aku, anggap saja ini sebagian kecil balas budi aku buat Kakak.”
“Kamu memang
anak yang baik, sewaktu kamu kecil dulu, Kakak merasa yakin kamu akan tumbuh
menjadi gadis yang cantik, baik dan pintar.”
“Ah, Kakak
berlebihan.” Seketika wajah Annisa memerah kemalu-maluan.
“Nisa, mau
main ke rumah?” Sarah yang baru menyelesaikan urusannya lalu muncul di ruang
rawat Andy.
“Kapan-kapan
saja, Kak, Nisa masih banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan.”
Andy
bergegas bangkit dari tempat tidurnya, karena tak sabar ingin segera pulang
untuk menemui putranya, dia tidak ingat kakinya belum dapat dia pakai berdiri
dengan baik tanpa tongkat, Andy kehilangan keseimbangan saat berdiri. Annisa
yang berdiri di sebelahnya sontak meraih tubuh Andy.
Tiba-tiba
saja jantungnya merasa seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu,
nafasnya seakan telah berhenti mengalir, wajah Andy begitu dekat sampai dia
bisa merasakan kehangatan nafas Andy menyapu wajahnya.
“Maaf,
Nisa.”
Annisa hanya
dapat memalingkan wajahnya, setelah dia melepaskan pelukannya. Segera Sarah
memberikan tongkat pada Andy.
Ya Tuhan…
apa yang terjadi dengannya? Andy laki-laki beristri, mengapa dia memiliki
perasaan berbeda saat bersama dengan laki-laki ini?
***
“Kak Andy
mana yah, kok nggak pernah datang lagi kesini sih?” tanya si kecil Salma.
Annisa hanya bisa memberikan jawaban gelengan kepala saja.
Sudah satu
bulan Andy keluar dari rumah sakit, tapi dia tidak pernah lagi datang
berkunjung. Tanpa sadar setiap malam minggu Annisa menantikan kehadirannya,
saat waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dia mengintip keluar dari jendela
untuk memastikan kedatangan laki-laki itu.
Terbayang
lagi olehnya saat-saat Andy sering berkunjung ke rumah. Mengajak dia dan
adik-adiknya jalan-jalan. Merawat Andy di rumah sakit selama seminggu.
Pelan-pelan mereka memang sudah mulai akrab. Kehadiran Andy menjadi sebuah
kebutuhan untuknya. Untuk hatinya yang masih kosong.
Annisa
dilanda dilema besar sekarang, hatinya begitu sangat menantikan kehadiran Andy,
tapi laki-laki itu sudah memiliki istri bahkan anak. Apa yang dirasakannya saat
ini tentulah suatu kesalahan, tak seharusnya dia memiliki perasaan seperti ini
karena Andy bukanlah jodohnya.
“Neng,
diluar ada tamu cari neng Nisa.” Suara bi Sipah menyadarkan lamunannya,
bergegas Annisa keluar dari kamar.
“Siapa Bi,
Kak Andy yah?” wajah Annisa berbinar.
“Bukan,
Neng, perempuan, katanya namanya neng Sarah.”
Sinar di
wajah Annisa langsung meredup, kiranya Andy yang datang karena sekarang sudah
pukul tujuh tiga puluh malam, tapi kemudian ditemuinya juga tamunya itu.
Ternyata Sarah
datang bersama dengan Syamil.
“Hallo,
Nisa.”
“Wah… ada
apa gerangan nih tiba-tiba Kak Sarah datang?”
“Ada yang ingin Kakak
bicarakan denganmu, Nisa.” Wajah Sarah tampak serius, Annisa sangat heran. Tapi
kemudian dia duduk di sofa dekat Sarah. “Nisa, Kakak dengan Mas Andy sudah
bercerai.”
Annisa
tersentak kaget mendengar berita yang dibawa Sarah, kenapa bisa mereka
bercerai? Bukankah mereka masih tampak baik-baik saja kemarin, apa yang
menyebabkan mereka harus bercerai.
“Kenapa
harus bercerai, Kak? bukankah kalian kemarin baik-baik saja.”
“Tidak,
Nisa… kamu salah, sebenarnya kami sudah lama bercerai, sudah hampir delapan
tahun yang lalu dan Kakak sendiri juga sudah menikah lagi, bahkan sekarang
Kakak sedang mengandung anak kedua dari suami kedua Kak Sarah.”
Kali ini
Annisa tidak lagi terkejut, dia malah tertegun heran mendengarnya. Mereka tidak
terlihat seperti sudah bercerai, Sarah tidak mengatakan mereka masih menikah
atau sudah bercerai, hanya karena Syamil memanggil keduanya dengan sebutan Mama
dan Papa, Annisa langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pantas saja Sarah
membutuhkan bantuannya untuk menjaga Andy, karena Andy memang sudah bukan
suaminya lagi.
“Tapi
kemarin….”
“Kemarin ini
kamu pasti melihat Kakak tampak dekat dengan Mas Andy, itu karena Kakak dan Mas
Andy sudah berjanji perceraian diantara kita tidak akan membuat kami jadi
bermusuhan, ini semua kami lakukan demi Syamil, karena Mas Andy tidak ingin apa
yang dirasakannya dulu juga dirasakan oleh Syamil, bahkan Mas Andy sendiri yang
menjodohkan Kakak dengan Mas Ahmad. Pernikahan kami memang hanya seumur jagung,
mungkin itu karena kami terlalu muda saat menikah dan kami terlalu tergesa-gesa
mengambil keputusan untuk menikah. Setelah bercerai Syamil tinggal bersama
Ayahnya, karena Kak Sarah secara financial dianggap tidak mampu membesarkan
Syamil.”
“Lalu kenapa
Kakak ceritakan ini padaku?”
“Karena Mas
Andy mencintaimu, Nisa.”
Tertegun
Annisa mendengar jawaban yang diutarakan Sarah, Andy mencintainya? Benarkah
itu, sejak kapan Andy mencintainya.
“Beberapa
bulan lalu dia pernah cerita, katanya dia bertemu dengan guru kami, Pak Hasan,
dia merasa sangat senang bisa bertemu lagi dengan guru yang paling
dibanggakannya itu yang telah dia anggap Ayahnya sendiri, setelah lima belas
tahun tidak bertemu, kemudian dia datang berkunjung kesini dan ternyata saat
kunjungannya itu Andy melihat gadis cantik yang muncul mengantarkan suguhan,
Andy jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi dia ingat gadis itu dulu pernah
dikenalnya, bahkan pernah diasuhnya, dia hanya tidak menyangka akan jatuh cinta
pada gadis yang dulu pernah dia anggap sebagai adiknya.
Andy memang pernah menyatakan keinginannya
meminangmu pada Ayahmu, tapi Ayahmu bilang ‘jika kamu menginginkannya, dekatilah
dia, pikatlah hatinya’, Andy memang sudah berusaha mendekatimu tapi dia merasa
gagal, setiap kali dia ingin mengutarakannya padamu, dia tidak pernah punya
keberanian karena merasa sudah terlalu tua untuk memikat hatimu, dia juga
bilang dia punya banyak saingan.”
Tidak. Itu
tidak benar, Andy tidak pernah gagal. dan dia juga tidak punya banyak saingan, karena meski banyak laki-laki yang mendekati Annisa tapi tidak ada satupun dari mereka yang merupakan orang spesial baginya.
“Perlu kamu
tahu, Nisa, ini pertama kalinya kakak melihat ada sinar cinta dimata Andy,
sudah banyak perempuan yang Kakak kenalkan padanya, tapi tidak satupun yang
membuatnya merasa tertarik bahkan saat kami belum bercerai sekalipun, tidak
pernah Kakak melihat sinar cinta itu untuk Kakak, ketika Andy bertemu denganmu,
dia bercerita, ‘Aku bertemu bidadari cantik, bidadari kecil yang dulu pernah
kugendong Ia di bahuku, aku jatuh cinta padanya tapi aku merasa seperti pungguk
merindukan bulan’, Kakak iri padamu.”
“Ka,kalau
untuk menyampaikan hal sepenting itu, mengapa tidak Kak Andy saja yang datang
kemari jika memang Ia bersungguh-sungguh…..”
“Jika memang
itu yang kamu inginkan, Nisa, maka malam ini Kakak berdiri disini untuk
mengatakannya padamu.” Sarah dan Annisa terkejut dengan kedatangan Andy yang
tiba-tiba telah muncul di depan pintu.
“Mas, sejak
kapan Mas berada disana?”
“Maaf, aku
sudah sejak tadi diluar mendengarkan pembicaraan kalian. Nisa, entah darimana
Kakak harus memulai, tapi kamu telah mengetahui semuanya dari Sarah, mungkin
ini terlalu konyol bagimu mendengar pria tua sepertiku datang untuk melamarmu,
tapi sungguh Nisa, aku telah mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu
tumbuh menjadi bidadari cantik seperti yang dikatakan Sarah baru saja. Will you marry me?”
Annisa
berdiri lalu melangkah ke arah buffet kecil di ruang tamu, dia tidak tahan
melihat Andy seperti pangeran tengah melamar sang putri, dengan setengah
berlutut menyatakan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna
merah yang berisi sebuah cincin. Annisa merasa senang bercampur malu.
“Sesungguhnya
hatiku pun demikian, Kak, entah sejak kapan munculnya perasaan ini tapi aku
baru menyadarinya belakangan ini ketika Kak Andy yang biasanya datang pada saat
malam minggu tapi sudah sebulan ini Kakak tak kunjung datang, aku jadi resah,
apakah dia masih sakit atau sedang sibuk, atau mungkin sudah tidak ingin datang
kesini lagi, aku selalu merasa resah, dan aku juga merasa bingung apakah
perasaan ini salah karena kutahu Kak Andy telah berkeluarga.”
“Maaf, Kakak
tidak segera berterus-terang, Kakak tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.”
“Walau aku
katakan aku mencintai Kak Andy, lalu bagaimana dengan Syamil? Apakah Syamil
bersedia menerimaku sebagai Ibu tirinya?”
“Jangan
khawatir, Nisa, Kakak sudah bertanya pada Syamil, apa dia mengizinkan Ayahnya
menikah lagi atau tidak dan jawabannya dia mengizinkan, kalau kamu tidak
percaya tanya saja padanya.” Sarah memberi jawaban.
“Syamil
senang kok kalau Kak Nisa jadi istrinya Papa, Syamil tidak mau melarang Papa
menikah lagi karena Syamil tahu selama ini Papa kesepian, kasihan Papa kalau
terus seperti itu, Syamil sayang Papa. Kakak mau yah, jadi Mama Syamil?”
Annisa
tersenyum kemudian dia berbalik menghampiri Syamil yang berdiri tak jauh dari
tempatnya, disentuhnya pipi Syamil, didalam tubuh seorang bocah berusia sembilan tahun itu terdapat hati yang besar, dia tidak keberatan Ayahnya menikah lagi
karena dia tahu Ayahnya membutuhkan pendamping hidup. Saat Annisa menatap
Syamil, dia melihat ada mata Andy disana, bukan hanya matanya yang tampak
serupa tapi hidungnya, bibirnya, wajahnya benar-benar replika Andy.
“Kakak
bersedia, Sayang… Kakak mau jadi Mama kamu.”
Syamil
tersenyum bahagia, serta-merta dipeluknya calon ibu tirinya.
“Asik,
Syamil punya Mama dua sekarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar