Welcome

Welcome

Selasa, 07 Juli 2015

Tamu Ayah

Jika hari sabtu malam minggu telah datang, tamu Ayah Annisa pasti berkunjung. Seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang, berwajah tampan. Namanya Andy, dulu merupakan anak didik Ayahnya. Menurut Ayahnya, Andy masih keturunan Belanda, makanya tampangnya kelihatan indo. Mungkin nenek buyut Andy penjajah yang memilih untuk tidak pulang ke negaranya, karena sudah kerasan tinggal di Indonesia atau mungkin ketinggalan kloter.
Awalnya Annisa tidak terlalu memerhatikan kehadiran laki-laki, yang tampak masih terlalu muda, jika dikatakan sebagai teman Ayahnya ini, tapi seiring seringnya dia datang saat malam minggu membuat Annisa jadi merasa heran.
Teman Ayahnya datang malam minggu? Satu pertanyaan menggantung di benak Annisa, tidak salahkah? Malam minggu identik dengan laki-laki berkencan dengan perempuan, pacaran, atau sekedar kumpul dengan teman-teman.
Jangan salah, malam minggu juga bukan hanya milik anak muda, terkadang Ayah dan Ibunya pun menghabiskan malam minggu berduaan saja, mereka pergi menonton bioskop atau makan malam berdua dan meninggalkan ketiga anaknya. Annisa hanya tersenyum-senyum melihat kemesraan keduanya, dan membiarkan mereka menikmati keindahan cinta mereka layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta.
Tapi tamu Ayah satu ini datang pada saat malam minggu. Entah sejak kapan dia mulai sering datang pada malam minggu, mungkinkah memang sejak kunjungan pertamanya pun dia selalu datang malam minggu? Dan kenapa harus malam minggu. Disaat banyak orang-orang ingin menghabiskan malam minggu bersama orang yang disayangi, karena malam minggu memang malam yang panjang.
Awalnya Ayah Annisalah yang selalu menamaninya mengobrol tapi setelah beberapa kali kunjungannya, tiba-tiba Ayah menyuruhnya menemani.
Nis, tolong kamu temani Andy sebentar, Ayah mau buat modul dulu.”
Mau tidak mau Annisa mengikuti permintaan Ayahnya, tidak enak juga jika harus meninggalkan tamu sendirian seperti itu, sudah jauh-jauh dia datang malah di cueki.
“Baik, Ayah.”
Annisa lalu keluar sambil membawa nampan berisi stoples kue, padahal tadi dia sudah menyuguhkan kue dan orange juice, tapi dia sengaja membawa kue lagi agar dia punya alasan untuk menghampirinya.
“Diminum, Kak,” tawar Annisa sambil menghidangkan kue yang dibawanya.
“Terima kasih.” Andy menyahut pelan. Pelan sekali sampai nyaris tidak terdengar.
Annisa lalu duduk di sofa panjang.
“Emm… Ayah katanya lagi buat modul dulu.” Dia memulai berbasa-basi.
Maksud hati sekedar ingin memberitahukan bahwa sekarang dialah yang akan menemani pria ini mengobrol, dan Annisa berharap dengan pancingan itu Andy akan memulai obrolannya.
Tapi setelah menunggu beberapa menit Andy tidak bereaksi, dia diam seribu bahasa membuat Annisa salah tingkah. Sedang apakah sebenarnya laki-laki ini, apakah dia sedang menunggu tokek berbunyi sebagai aba-aba kapan dia harus bicara. Tapi rumah Annisa berada di tengah kota, mana mungkin ada suara tokek di dekat rumahnya.
Setelah dia harus menunggu lagi selama lima menit, akhirnya Annisa pun memberanikan diri memulai pembicaraan. Bukankah kata Ayahnya Andy dulunya anak didik Ayahnya, jika memulai dengan pertanyaan itu dan berpura-pura seolah dia tidak tahu, rasanya bisa dijadikannya sebagai pancingan untuk memulai pembicaraan.
“Emm… Kak Andy ini dulu muridnya Ayah?” Andy mengangguk. “Ayah ngajar kelas berapa?”
“Waktu kelas dua, kalau sekarang berarti kelas delapan.”
“Ngajar apa?”
“Bahasa Inggris.”
“Ayah baik nggak?”
“Iya, baik.”
“Kakak pernah dihukum?”
“Nggak.”
“Berarti Kakak bukan murid yang nakal dong.”
“Ayahmu nggak pernah menghukum murid, biarpun sama murid yang bandel.”
Annisa kembali terdiam. Kumpulan pertanyaannya sudah habis, Andy menjawab dengan datar dan dia hanya menjawab sesuai yang ditanyakan, tidak dilebihkan apalagi dikurangi. Jika jawabannya tidak, hanya akan dijawab tidak, dan jika jawabannya Iya, cukup dengan kata Iya. Tidak ada penjelasan lain.
Annisa jadi bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan sudah, tapi Andy merespon biasa saja. Apa dia malas mengobrol dengan anak kecil? Siapa tahu saja.
“Andy itu murid kesayangan Ayah,” ujar Ayahnya ketika Annisa menanyakan siapakah sebenarnya Andy. Jika dia sering datang ke rumah seperti ini berarti dulu mereka pernah dekat, jarang-jarang ada murid yang sampai sekarang masih ingat pada gurunya.
“Kalau dia murid kesayangan Ayah, berarti dia anak yang berprestasi dong.”
“Justru karena dulu dia anak yang Bengal makanya Ayah tertarik padanya.”
Annisa melongo mendengar penjelasan Ayahnya. Pak Hasan hanya mengukir senyum kemudian Beliau menceritakan anak murid kebanggaannya itu pada putrinya.
Rupanya Andy merupakan anak hasil broken home, kedua orang tuanya bercerai ketika dia baru duduk dibangku kelas satu SMP, setelah bercerai mereka tidak ada yang ingin membawa Andy serta. Karena dia merasa tidak punya pegangan, hidup Andy pun jadi berantakan, hobinya menyakiti orang, dia selalu merasa senang jika sudah melihat orang lain menderita karena ulahnya, sebab dia merasakan kepuasan.
Meski sudah beberapa kali dipanggil oleh guru BP, tapi Andy tidak pernah berubah, disuruh konseling pun tidak mau. Nilainya tidak pernah lebih dari telinga monyet atau kursi terbalik, bergaulnya saja dengan preman pasar, tapi saat Andy sudah hampir dikeluarkan karena para guru sudah tidak ada yang sanggup menghadapinya lagi, Ayah Annisa mengajaknya bicara dan dia menjamin Andy akan berubah.
Ayahnya menepati janji, Beliau berhasil mengubah Andy, menjadikan seorang Andy yang Bengal menjadi anak yang rajin dan berprestasi. Kabarnya bahkan sekarang Andy sudah menjadi pengusaha. Tapi anak Bengal itu seperti kehilangan kata-kata sekarang, dia lebih banyak diam saat bersama dengannya. Jika memang dulu Andy Bengal, kenapa sekarang dia berubah jadi pendiam seperti ini?
“Kamu sudah besar sekarang ya.” Tiba-tiba Andy bersuara. Nyaris Annisa bersorak senang ketika mendengar Andy memulai pembicaraan.
“Memangnya Kakak tahu waktu aku kecil?”
“Iya, dulu Pak Hasan sering membawamu ke sekolah saat bagi raport atau saat sekolah sedang mengadakan acara, Kakak juga sering main ke rumah Pak Hasan yang lama.”
Annisa hanya mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak ingat, memang Ayah dan Ibunya pernah menceritakan, saat dia kecil dulu sering dibawa ke sekolah oleh Ayahnya. Dan dia juga tidak terlalu mengingat laki-laki yang katanya sering datang main ke rumah ini.                                                                                                                                           ***
“Kak, tebak, malam ini Kak Andy bakal datang lagi nggak,” ujar Aisyah ketika Annisa tengah membaca buku di kamarnya.
“Itu sih bukan tebakan, Ai, dia pasti datang lagi, habis dia itu pacar barunya Ayah,” sahut Annisa geli.
Yang dilakukan Andy memang menarik perhatian seisi rumah, seorang anak murid mendatangi gurunya setiap malam minggu, seperti laki-laki yang mengencani anak perempuan. Padahal setiap malam minggu tidak ada yang mereka lakukan apa-apa selain mengobrol, dan biasanya tidak lama, hanya setengah jam, kemudian Andy kembali pamit. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Tapi sekarang kenapa Ayah selalu menyuruh Kak Nisa yang menemani Kak Andy?”
Memang benar, akhir-akhir ini Ayahnya selalu menyuruhnya menemani Andy. Alasannya memang selalu masuk akal, misalkan saja saat itu Ayahnya harus membuat modul untuk bahan pelajaran murid-muridnya, atau disaat yang bersamaan Ayah harus pergi keluar.
Tapi meski tahu Pak Hasan tidak bisa menemaninya, Andy tetap duduk disana tanpa sungkan, bahkan karena sudah dianggap keluarga, Andy tidak lagi sekedar duduk mematung di ruang tamu, melainkan ikut bergabung menonton atau mengobrol bersama dengan Ibu dan kedua adik Annisa.
“Kak Nisa menemani kak Andy saat Ayah nggak bisa menemani saja.”
“Tapi sering loh, Kak, Apa Kakak nggak curiga?”
Curiga? Kenapa harus curiga? Tidak baik mencurigai Ayah sendiri, lagipula apa yang harus dicurigai? Annisa sama sekali tidak mencium bau mencurigakan.
“Kenapa harus curiga sama Ayah?”
“Ya, siapa tahu saja sebenarnya kedatangan Kak Andy selama ini untuk Kak Nisa, mungkin saja Ayah mau menjodohkan Kak Andy dengan Kak Nisa.”
“Apa?” Belalak mata Annisa mendengar jawaban adiknya.
Jangan-jangan memang benar maksud dan tujuan Ayahnya adalah untuk menjodohkannya dengan Andy. Pantas saja belakangan ini sering kali Ayahnya tidak bisa menemani Andy, dan Andy juga terkadang pernah mengajaknya jalan-jalan. Dia seperti dibiarkan beradaptasi dengan keluarga ini.
Tapi masa sih Ayahnya mau menjodohkannya dengan laki-laki yang tiga belas tahun lebih tua darinya? Loh, bukannya wajar kalau menikah, usia laki-lakinya lebih tua, lebih dewasa. Biar bisa melindungi, bisa memanjakan, bisa menjadi pemimpin yang baik.
Annisa tiba-tiba jadi cemas. Seandainya yang dikatakan adiknya benar, bagaimana?
“Annisa.” Terdengar suara Ayahnya dari luar.
“Iya, Yah” Annisa menoleh ke arah pintu yang terbuka,
Wajah Ayahnya tampak pucat, sepertinya ada kabar tidak baik malam ini.
“Temani Ayah ke rumah sakit, Andy sore tadi kecelakaan.”
Tertegun Annisa mendengarnya. Murid kesayangan Ayah mengalami kecelakaan, pantas saja sudah jam delapan malam Andy tak kunjung tiba, biasanya setengah delapan bel pintu sudah berbunyi. Tapi sejenak kemudian Annisa teringat kata-kata adiknya baru saja, mengapa selalu saja dia yang disuruh ini-itu jika berhubungan dengan Andy?
“Ayah, besok Nisa ada kuliah tambahan dan ada quis, Ayah pergi sama Aisyah saja.”
“Yang bisa menyetir kan hanya kamu, Ayah agak lelah hari ini jadi kamu saja yang menyupir, sebentar saja, Nisa, masa kamu tidak mau menjenguk Kakakmu?”
Kakak? Benar juga, Ayah sudah mengatakan seperti itu berarti memang tidak ada perjodohan diantara mereka. Semoga saja itu benar, jadi dia tidak perlu cemas.
“Baiklah.”
“Kak Nisa, salam buat Kak Andy yah.” Aisyah melambaikan tangan dengan senyum menggelitik. Annisa tahu, adiknya sedang mengejeknya.
“Keluar kamu dari kamar Kakak, awas. Jangan ada yang berantakan.”
Aisyah menjulurkan lidah.
                                                                        ***
Mobil Andy menabrak angkot yang ugal-ugalan. Keadaannya cukup parah ketika Annisa dan Ayahnya datang, kepala dan kakinya dibebat perban, tapi untunglah nyawanya masih tertolong.
“Andy, bagaimana keadaanmu?” Ayah Annisa begitu khawatir ketika mendengar kabar murid kesayangannya kecelakaan.
“Tidak apa-apa, Pak, saya sudah jauh lebih baik.”
“Pak Hasan.” Seorang perempuan yang usianya tak terpaut jauh dengan Andy, lalu mencium tangan Ayah Annisa dengan penuh rasa hormat.
“Ini Annisa yah, sudah besar sekarang kamu.” Annisa hanya mengulas senyum. “Kamu pasti lupa dengan Kakak, dulu kamu masih kecil sih, nama Kakak Sarah, mantan pacarnya Mas Andy, dulu kamu dengan Mas Andy dekat sekali, apa kamu tidak ingat?”
Annisa memang pernah punya ingatan dekat dengan seorang Kakak laki-laki sewaktu kecil dulu, tapi dia tidak terlalu banyak menyimpan kenangan tentangnya. Yang dia dapat ingat, dulu Kakak itu pernah membelikannya sebuah boneka besar dan hingga sekarang boneka itu masih disimpannya. Apakah itu Andy?
“Kalau nggak salah Mas Andy pernah kasih boneka teddy bear waktu kamu ulang tahun keempat.”
“Iya, bonekanya masih ada, aku nggak ingat kalau boneka itu dari Kak Andy, aku hanya merasa boneka itu nggak bisa aku buang atau aku kasih sama orang lain, soalnya waktu kecil boneka itu selalu ada di pelukanku.”
Sarah hanya tersenyum mendengarnya, sejenak dia melirik ke arah Andy, laki-laki itu hanya terdiam tak berkomentar, dia mengerti maksud dari lirikan Sarah.
“Mama, kapan Papa sembuhnya?”
Annisa terkejut mendengar suara bocah kecil yang muncul dari balik pintu kamar Andy dan memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa.
Jadi mereka sudah menikah? Pantas saja sikap Sarah begitu berbeda jika dikatakan hubungan mereka hanya sekedar mantan pacar, jadi maksudnya mantan pacar itu karena sekarang sudah jadi suami. Annisa tersenyum lega. Mereka memang serasi.
“Syamil kok masuk sih, kan nggak boleh masuk sama suster.”
“Biar Syamil masuknya diam-diam kok, habis Syamil kan pengen nengok Papa masa nggak boleh.”
“Sakit Papa nggak parah kok, Sayang… sebentar lagi juga sembuh, Syamil hari ini bobo sama Mama yah.” Si kecil hanya mengangguk. “Ayo Syamil keluar lagi, kan nggak boleh masuk sama suster, nanti kalau ketahuan suster Syamil dimarahi. Nisa, boleh Kak Sarah minta bantuan kamu?”
“Iya, Kak.”
“Tolong jaga Mas Andy yah, rajin-rajin kamu menjenguknya, soalnya Kakak nggak bisa sering-sering menjenguk dia, kamu mengerti kan.” Annisa hanya mengangguk tanpa meminta penjelasan, mengapa harus dia yang menjaganya padahal Sarah istrinya.
“Sarah.” Andy menyela.
“Nggak apa-apa kan, Mas, mumpung ada yang mau bantu.”
“Jangan suka memanfaatkan orang.”
“Nisa ikhlas kan bantu Kakak?” Ditatapnya Annisa sekali lagi. Annisa mengangguk. Andy tak lagi membantah.
Ya, tentu saja dia ikhlas jika untuk membantu Kakak sendiri, Ayahnya saja begitu menyayanginya kenapa dia harus setengah-setengah.
                                                                        ***
Sebagai adik yang baik, Annisa memenuhi janjinya pada Sarah, dia rajin datang menjenguk Andy dan merawatnya selagi Sarah tidak bisa merawatnya. Yah, memang sulit memiliki anak kecil, anak seumur Syamil tidak boleh dibawa ke rumah sakit, tentu Sarah repot jika harus menjaga Syamil serta menemani suaminya.
“Nisa, terima kasih sudah mau menemani dan merawat Kakak selama di rumah sakit, Kakak merasa berhutang padamu,” ujar Andy ketika dia sudah diizinkan pulang.
Annisa hanya tersenyum sambil membantu Andy mengemasi barang-barangnya. Sarah sedang membayar biaya adminstrasi sementara Syamil menunggunya di mobil.
“Jangan begitu, kata Ayah, dulu Kakak sering menjaga aku, apalagi saat Ibu melahirkan Aisyah dan Ayah menemani Ibu di rumah sakit, Kakak sampai menginap buat menjaga aku, anggap saja ini sebagian kecil balas budi aku buat Kakak.”
“Kamu memang anak yang baik, sewaktu kamu kecil dulu, Kakak merasa yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, baik dan pintar.”
“Ah, Kakak berlebihan.” Seketika wajah Annisa memerah kemalu-maluan.
“Nisa, mau main ke rumah?” Sarah yang baru menyelesaikan urusannya lalu muncul di ruang rawat Andy.
“Kapan-kapan saja, Kak, Nisa masih banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan.”
Andy bergegas bangkit dari tempat tidurnya, karena tak sabar ingin segera pulang untuk menemui putranya, dia tidak ingat kakinya belum dapat dia pakai berdiri dengan baik tanpa tongkat, Andy kehilangan keseimbangan saat berdiri. Annisa yang berdiri di sebelahnya sontak meraih tubuh Andy.
Tiba-tiba saja jantungnya merasa seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu, nafasnya seakan telah berhenti mengalir, wajah Andy begitu dekat sampai dia bisa merasakan kehangatan nafas Andy menyapu wajahnya.
“Maaf, Nisa.”
Annisa hanya dapat memalingkan wajahnya, setelah dia melepaskan pelukannya. Segera Sarah memberikan tongkat pada Andy.
Ya Tuhan… apa yang terjadi dengannya? Andy laki-laki beristri, mengapa dia memiliki perasaan berbeda saat bersama dengan laki-laki ini?
                                                                                    ***
“Kak Andy mana yah, kok nggak pernah datang lagi kesini sih?” tanya si kecil Salma. Annisa hanya bisa memberikan jawaban gelengan kepala saja.
Sudah satu bulan Andy keluar dari rumah sakit, tapi dia tidak pernah lagi datang berkunjung. Tanpa sadar setiap malam minggu Annisa menantikan kehadirannya, saat waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dia mengintip keluar dari jendela untuk memastikan kedatangan laki-laki itu.
Terbayang lagi olehnya saat-saat Andy sering berkunjung ke rumah. Mengajak dia dan adik-adiknya jalan-jalan. Merawat Andy di rumah sakit selama seminggu. Pelan-pelan mereka memang sudah mulai akrab. Kehadiran Andy menjadi sebuah kebutuhan untuknya. Untuk hatinya yang masih kosong.
Annisa dilanda dilema besar sekarang, hatinya begitu sangat menantikan kehadiran Andy, tapi laki-laki itu sudah memiliki istri bahkan anak. Apa yang dirasakannya saat ini tentulah suatu kesalahan, tak seharusnya dia memiliki perasaan seperti ini karena Andy bukanlah jodohnya.
“Neng, diluar ada tamu cari neng Nisa.” Suara bi Sipah menyadarkan lamunannya, bergegas Annisa keluar dari kamar.
“Siapa Bi, Kak Andy yah?” wajah Annisa berbinar.
“Bukan, Neng, perempuan, katanya namanya neng Sarah.”
Sinar di wajah Annisa langsung meredup, kiranya Andy yang datang karena sekarang sudah pukul tujuh tiga puluh malam, tapi kemudian ditemuinya juga tamunya itu.
Ternyata Sarah datang bersama dengan Syamil.
“Hallo, Nisa.”
“Wah… ada apa gerangan nih tiba-tiba Kak Sarah datang?”
Ada yang ingin Kakak bicarakan denganmu, Nisa.” Wajah Sarah tampak serius, Annisa sangat heran. Tapi kemudian dia duduk di sofa dekat Sarah. “Nisa, Kakak dengan Mas Andy sudah bercerai.”
Annisa tersentak kaget mendengar berita yang dibawa Sarah, kenapa bisa mereka bercerai? Bukankah mereka masih tampak baik-baik saja kemarin, apa yang menyebabkan mereka harus bercerai.
“Kenapa harus bercerai, Kak? bukankah kalian kemarin baik-baik saja.”
“Tidak, Nisa… kamu salah, sebenarnya kami sudah lama bercerai, sudah hampir delapan tahun yang lalu dan Kakak sendiri juga sudah menikah lagi, bahkan sekarang Kakak sedang mengandung anak kedua dari suami kedua Kak Sarah.”
Kali ini Annisa tidak lagi terkejut, dia malah tertegun heran mendengarnya. Mereka tidak terlihat seperti sudah bercerai, Sarah tidak mengatakan mereka masih menikah atau sudah bercerai, hanya karena Syamil memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa, Annisa langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pantas saja Sarah membutuhkan bantuannya untuk menjaga Andy, karena Andy memang sudah bukan suaminya lagi.
“Tapi kemarin….”
“Kemarin ini kamu pasti melihat Kakak tampak dekat dengan Mas Andy, itu karena Kakak dan Mas Andy sudah berjanji perceraian diantara kita tidak akan membuat kami jadi bermusuhan, ini semua kami lakukan demi Syamil, karena Mas Andy tidak ingin apa yang dirasakannya dulu juga dirasakan oleh Syamil, bahkan Mas Andy sendiri yang menjodohkan Kakak dengan Mas Ahmad. Pernikahan kami memang hanya seumur jagung, mungkin itu karena kami terlalu muda saat menikah dan kami terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menikah. Setelah bercerai Syamil tinggal bersama Ayahnya, karena Kak Sarah secara financial dianggap tidak mampu membesarkan Syamil.”
“Lalu kenapa Kakak ceritakan ini padaku?”
“Karena Mas Andy mencintaimu, Nisa.”
Tertegun Annisa mendengar jawaban yang diutarakan Sarah, Andy mencintainya? Benarkah itu, sejak kapan Andy mencintainya.
“Beberapa bulan lalu dia pernah cerita, katanya dia bertemu dengan guru kami, Pak Hasan, dia merasa sangat senang bisa bertemu lagi dengan guru yang paling dibanggakannya itu yang telah dia anggap Ayahnya sendiri, setelah lima belas tahun tidak bertemu, kemudian dia datang berkunjung kesini dan ternyata saat kunjungannya itu Andy melihat gadis cantik yang muncul mengantarkan suguhan, Andy jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi dia ingat gadis itu dulu pernah dikenalnya, bahkan pernah diasuhnya, dia hanya tidak menyangka akan jatuh cinta pada gadis yang dulu pernah dia anggap sebagai adiknya.
 Andy memang pernah menyatakan keinginannya meminangmu pada Ayahmu, tapi Ayahmu bilang ‘jika kamu menginginkannya, dekatilah dia, pikatlah hatinya’, Andy memang sudah berusaha mendekatimu tapi dia merasa gagal, setiap kali dia ingin mengutarakannya padamu, dia tidak pernah punya keberanian karena merasa sudah terlalu tua untuk memikat hatimu, dia juga bilang dia punya banyak saingan.”
Tidak. Itu tidak benar, Andy tidak pernah gagal. dan dia juga tidak punya banyak saingan, karena meski banyak laki-laki yang mendekati Annisa tapi tidak ada satupun dari mereka yang merupakan orang spesial baginya.
“Perlu kamu tahu, Nisa, ini pertama kalinya kakak melihat ada sinar cinta dimata Andy, sudah banyak perempuan yang Kakak kenalkan padanya, tapi tidak satupun yang membuatnya merasa tertarik bahkan saat kami belum bercerai sekalipun, tidak pernah Kakak melihat sinar cinta itu untuk Kakak, ketika Andy bertemu denganmu, dia bercerita, ‘Aku bertemu bidadari cantik, bidadari kecil yang dulu pernah kugendong Ia di bahuku, aku jatuh cinta padanya tapi aku merasa seperti pungguk merindukan bulan’, Kakak iri padamu.”
“Ka,kalau untuk menyampaikan hal sepenting itu, mengapa tidak Kak Andy saja yang datang kemari jika memang Ia bersungguh-sungguh…..”
“Jika memang itu yang kamu inginkan, Nisa, maka malam ini Kakak berdiri disini untuk mengatakannya padamu.” Sarah dan Annisa terkejut dengan kedatangan Andy yang tiba-tiba telah muncul di depan pintu.
“Mas, sejak kapan Mas berada disana?”
“Maaf, aku sudah sejak tadi diluar mendengarkan pembicaraan kalian. Nisa, entah darimana Kakak harus memulai, tapi kamu telah mengetahui semuanya dari Sarah, mungkin ini terlalu konyol bagimu mendengar pria tua sepertiku datang untuk melamarmu, tapi sungguh Nisa, aku telah mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu tumbuh menjadi bidadari cantik seperti yang dikatakan Sarah baru saja. Will you marry me?”
Annisa berdiri lalu melangkah ke arah buffet kecil di ruang tamu, dia tidak tahan melihat Andy seperti pangeran tengah melamar sang putri, dengan setengah berlutut menyatakan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berisi sebuah cincin. Annisa merasa senang bercampur malu.
“Sesungguhnya hatiku pun demikian, Kak, entah sejak kapan munculnya perasaan ini tapi aku baru menyadarinya belakangan ini ketika Kak Andy yang biasanya datang pada saat malam minggu tapi sudah sebulan ini Kakak tak kunjung datang, aku jadi resah, apakah dia masih sakit atau sedang sibuk, atau mungkin sudah tidak ingin datang kesini lagi, aku selalu merasa resah, dan aku juga merasa bingung apakah perasaan ini salah karena kutahu Kak Andy telah berkeluarga.”
“Maaf, Kakak tidak segera berterus-terang, Kakak tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.”
“Walau aku katakan aku mencintai Kak Andy, lalu bagaimana dengan Syamil? Apakah Syamil bersedia menerimaku sebagai Ibu tirinya?”
“Jangan khawatir, Nisa, Kakak sudah bertanya pada Syamil, apa dia mengizinkan Ayahnya menikah lagi atau tidak dan jawabannya dia mengizinkan, kalau kamu tidak percaya tanya saja padanya.” Sarah memberi jawaban.
“Syamil senang kok kalau Kak Nisa jadi istrinya Papa, Syamil tidak mau melarang Papa menikah lagi karena Syamil tahu selama ini Papa kesepian, kasihan Papa kalau terus seperti itu, Syamil sayang Papa. Kakak mau yah, jadi Mama Syamil?”
Annisa tersenyum kemudian dia berbalik menghampiri Syamil yang berdiri tak jauh dari tempatnya, disentuhnya pipi Syamil, didalam tubuh seorang bocah berusia sembilan tahun itu terdapat hati yang besar, dia tidak keberatan Ayahnya menikah lagi karena dia tahu Ayahnya membutuhkan pendamping hidup. Saat Annisa menatap Syamil, dia melihat ada mata Andy disana, bukan hanya matanya yang tampak serupa tapi hidungnya, bibirnya, wajahnya benar-benar replika Andy.
“Kakak bersedia, Sayang… Kakak mau jadi Mama kamu.”
Syamil tersenyum bahagia, serta-merta dipeluknya calon ibu tirinya.

“Asik, Syamil punya Mama dua sekarang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar