Gawat! kalau
sampai buku itu tidak juga ditemukan, bisa-bisa dia bakalan kena hukuman Pak Adam.
Apa jadinya kalau sampai dia kena hukuman pak Adam, memalukan sekali seorang
sekretaris osis dihukum gara-gara tidak mengerjakan PR.
Sementara Jodha
terus mencari bukunya yang hilang dengan mengeluarkan seluruh perbendaharaan
tasnya, dari arah luar terdengar suara sepatu yang menuju kearah kelasnya.
Anak-anak kelas sebelas IPA langsung berhamburan kembali ke dalam kelas setelah
mengetahui pak Adam masuk. Wajah Jodha semakin memucat karena bukunya tak
kunjung dia temukan.
“Jo, lu
kenapa?” Moti yang menyadari kepanikan teman sebangkunya jadi heran.
“Buku PR gue
ilang,” bisiknya setengah terisak.
Dia takut
posisi duduknya yang ada didepan malah membuat pak Adam menyadari kepanikannya.
“Waduh,
gawat! Cepat cari lagi.”
Laki-laki
paruh baya bertubuh tambun itu lalu duduk diatas singgasananya usai mengucapkan
salam, kemudian perintahnya, “Anak-anak, cepat kumpulkan PR minggu kemarin.” Suara
pak Adam yang tidak terlalu kencang namun tegas dan berwibawa membuat tubuh Jodha
kian gemetaran.
Haruskah dia
mengatakan buku PR-nya hilang? Mungkinkah Pak Adam akan memercayainya dan tidak
memberikan hukuman padanya? Tidak mungkin. Pak Adam tidak akan berbelas kasihan
pada anak yang punya seribu satu macam alasan, hanya karena dia tidak
mengerjakan PR, tapi Jodha sudah menyelesaikanya hanya saja buku itu sekarang
raib dari tasnya.
“Kerdil, Lu
butuh ini kan?”
Sebuah tangan menyodorkan buku PR milik Jodha. Sontak Jodha terkejut saat
mengetahui ternyata buku PR-nya ada.
Perasaannya
bercampur aduk antara senang dan lega, ternyata Jalal yang berhasil
menemukannya dan dia berbaik hati mau mengembalikannya. Tumben sekali.
“Jalal,
makasih udah nemuin buku gue.” Jodha sudah terlanjur kegirangan tapi saat dia
hendak meraih buku itu dari tangan Jalal. Jalal malah berkelit.
“Eit, tunggu
dulu, ini nggak gratis loh.” Menganga mulut kecil Jodha mendengarnya.
“Istirahat ini lu harus nraktir gue, kebetulan uang bulanan gue udah abis buat
ngambil motor gue di bengkel, gimana lu mau nggak? Kalau nggak, jangan harap
deh buku ini balik ke tangan lu, dan selamat menikmati hukuman.”
Menraktir Jalal?
Ya Tuhan… tidak salahkah dia mendengar? Menraktir Jalal seorang itu kan sama dengan
menraktir tiga orang, makannya rakus setengah mati. Tapi apa boleh buat, dia
terpaksa harus merelakan uangnya daripada kena hukuman dari pak Adam.
“Ok,
istirahat ini gue traktir elu.” Dengan berat hati Jodha menyetujui permintaan Jalal.
Cowok berpotongan rambut harajuku itu tersenyum menang. Dikembalikannya buku PR
itu pada pemiliknya.
***
Teman satu
kelas Jodha merasa terkejut ketika dia melihat sang sekretaris osis sedang
jalan berdua dengan Jalal menuju kantin. Bukankah mereka musuh bebuyutan atau
keduanya sedang melakukan gencatan senjata?
Kapan
terakhir mereka melihat Jodha dan Jalal jalan akur seperti sekarang ini? mereka
sendiri sudah lupa. Seingat mereka, kalau keduanya bertemu pasti keributan yang
akan terjadi. Tapi sekalipun mereka sering bertengkar sepertinya Jodha memang
tidak bisa jauh-jauh dari Jalal.
Jodha dan Jalal
sudah saling mengenal sejak masuk SMP, kebetulan keduanya bertetangga dan
apakah itu yang dinamakan dengan jodoh? Selama lima
tahun ini Jalal selalu sekelas dengan Jodha. Setiap hari mereka berangkat dan
pulang sekolah bersama, Jalal rajin sekali menjemput Jodha dengan motor
sport-nya. Dan sebenarnya keduanya saling melengkapi.
Jalal yang
paling malas mengerjakan PR Matematika selalu meminta bantuan Jodha untuk
mengajarinya dan Jodha yang sekretaris osis selalu butuh catatan Jalal jika dia
harus meninggalkan kelas gara-gara urusan osis. Kadang-kadang Jodha juga
meminta bantuan Jalal membuatkan pidato jika dia diminta ketua osis membuat
pidato.
Tapi Jalal
sering sekali menjahili Jodha, dan kejahilannya itu memang diluar batas
kewajaran. Ada saja perbuatan iseng yang
dilakukan Jalal, yang membuat Jodha sering naik darah.
Seperti
memanggil Jodha dengan sebutan kerdil, hanya karena badannya lebih tinggi lima
belas senti dari Jodha. Padahal Jodha kan nggak pendek-pendek amat. Dan Jodha
selalu membalas dengan memanggil Jalal, dakocan.
“Dil, elu
nggak makan?” Jalal memerhatikan Jodha yang kembali ke meja dengan hanya
membawa segelas Avocado juice.
“Lihat lu
aja gue udah kenyang.” Jodha menelan ludah melihat Jalal sibuk dengan
makanannya.
Dihadapannya
sudah terhidang sepiring nasi plus lauknya, sebuah pisang ambon, avocado juice
dan risoles sebagai camilannya.
“Gue nggak
sempet sarapan tadi pagi,” aku Jalal. Jodha mengerutkan dahi.
“Nggak
sempet sarapan? Kok bisa? Tadi pagi elu jemput jam biasa.”
“Gue tadi
bangun kesiangan sebenarnya tapi gue kan nggak mau elu sampe telat, elu kan
sekretaris osis, malu-maluin amat kalau sampe elu datang telat, makanya gue
buru-buru sampe lupa sarapan.”
Jodha merasa
terharu.
Jadi
sebenarnya tadi Jalal telat bangun tapi dia bela-belaan nggak sarapan cuma biar
temannya nggak sampai telat karena nggak mau sampai sekretaris osis bikin malu
almamater sekolah. Ternyata Jalal punya sisi baik juga. Dia masih memikirkan
kepentingan temannya, diatas kepentingannya sendiri. Tidak menyesal juga Jodha
mentraktirnya, anggap saja ini bayaran untuk kebaikan Jalal.
“Aduh…
sorry, Jalal, Elu sampe sengaja bela-belaan begini buat Gue, padahal nggak
perlu segitunya kali, kalau emang elu telat, biar gue berangkat sendiri aja.”
“Makanya
tadi gue sengaja umpetin buku PR lu biar istirahat ini elu traktir gue, anggap
aja sebagai hukumannya,” ujar Jalal tanpa dosa.
“Jadi elu
yang ngumpetin buku gue?” Belalak mata Jodha. Dan dengan tenangnya Jalal hanya
mengangguk sambil terus menikmati makanannya. “Elu tahu nggak sih, gimana gue
takutnya tadi dimarahin pak Adam gara-gara buku gue ilang?!”
“Tapi elu
nggak sampe dimarahin kan?
Dan gue juga pasti nggak bakalan sampe setega itu ngebiarin elu dimarahin pak Adam.”
“Tetep aja,
jantung gue udah hampir copot tadi, tahu! Nyesel gue udah minta maaf sama elu!
Gue tarik omongan gue tadi!” Dihentakkannya kaki lalu dia pergi meninggalkan
kantin. Dia benar-benar marah kali ini.
Bagaimana Jodha
tidak akan merasa jengkel, Jalal tidak sarapan kan bukan kesalahannya dan anak itu sudah
seenaknya saja membuatnya sport jantung dan menguras uang sakunya. Padahal
bulan ini uang sakunya sudah mulai menipis.
Kalau saja
tadi Jalal tidak memaksakan diri menjemput tepat waktu sampai nggak sarapan,
dia kan bisa
berangkat sendiri dengan angkutan umum.
“Dil, jangan
marah gitu dong, Dil… Gue kan tadi cuma becanda.” Jalal berteriak dari mejanya.
Tapi hati Jodha yang keburu diselimuti kemarahan luar biasa, tidak mengabaikan panggilan
Jalal.
Bukannya
mengejar, Jalal malah mengangkat bahu tak perduli, lalu dia meneruskan kembali
makannya.
***
“Berantem
lagi sama Jalal?” Moti berbisik sambil melirik ke arah meja Jalal yang berada
dua baris di belakang mereka.
Dari jam
istirahat tadi sampai satu jam lagi kelas hampir bubar, Jalal dan Jodha memang
belum baikan. Di jam terakhir ini, guru biologi mereka nggak masuk dan guru
piket menyuruh siswa-siswi belajar sendiri di kelas. Biasanya disaat seperti
ini aksi Jalal mengerjai Jodha pasti akan muncul lagi tapi sedari tadi cowok
ganteng – kata anak perempuan lain kecuali Jodha – itu masih duduk anteng di
kursinya.
“Nggak usah
nanya.” Jodha menyahut pendek.
“Ada apa lagi sih?”
“Gue males
bahasnya.”
Moti hanya
mengangkat bahu. Yah, begitulah Jalal dan Jodha. Tak pernah
berhenti-berhentinya bertengkar. Jalal memang selalu jahil spesialisasi untuk Jodha,
dia masih bersikap wajar pada teman perempuan lainnya malah cenderung romantis
dan agak gombal. Teman-temannya menganggap kejahilan Jalal bukanlah karena dia
iseng tapi karena sebenarnya dia menyukai Jodha, tapi tak bisa
mengungkapkannya.
Persahabatan
perempuan dan laki-laki jarang ada yang abadi. Pasti ujung-ujungnya diakhiri
dengan kisah cinta. Karena pepatah jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino memang tidak salah. Tapi mungkin
untuk Jodha dan Jalal semua itu belum berlaku.
“Emang elu
nggak bisa maafin Jalal?”
“Maafin
dia?” suara Jodha meninggi membuat Jalal mau tidak mau menoleh ke mejanya.
“Tunggu sampai satu dollar harganya seribu rupiah!”
Astaga!
memangnya kapan satu dollar bisa seharga seribu rupiah? Waktu zaman orde baru
aja satu dolar harganya dua ribuan, apalagi sekarang yang harganya mencapai
tiga belas ribu.
“Dosa loh,
nggak maafin temen sendiri.”
“Moti, udah
deh…, elu tuh sebenernya ada di pihak siapa sih? Elu kan temen gue, kok malah berpihak sama
dakocan itu?”
“Gue ngerasa
sayang aja kalau elu sama dia sampai berantem.”
“Sayang?”
dahi Jodha berkerut heran. “Apa yang perlu disayangin?”
“Semua cewek
tuh pengen bisa deket sama Jalal, elu yang udah segitu deketnya malah berantem
terus, sayang kan?
Mereka tuh sirik sama elu, Nin.”
Mata Jodha
membelalak.
Cewek-cewek
ingin deket dengan Jalal? Apa nggak salah denger dia. Emang apa sih hebatnya Jalal?
Dia nggak ganteng-ganteng amat, pinter juga nggak, cuma lantaran jago basket,
terus mereka pengen deket sama Jalal? Jodha aja merasa bosan terus bersama
dengan sahabatnya itu.
“Wah, gue mesti
ngomong nih sama anak-anak cewek di sekolah ini, kalau perlu bakal gue umumin
lewat speaker masjid, gue bakalan bilang sama mereka kalau Jalal itu bukan
cowok nyenengin buat dideketin, gue aja bosen sampe pengen muntah rasanya,
hoek!” Jodha berpura-pura mual sambil menekan perutnya dengan sebelah tangan.
“Itu kan menurut lu, yang
udah dari SMP bareng dia terus.”
Kalau dipikir-pikir,
jika Jodha berada di posisi mereka, pasti Jodha juga akan merasakan hal yang
sama. Meski wajahnya nggak ganteng-ganteng amat, yah, satu tingkat lebih
ganteng dari Afgan lah, tapi Jalal memang pujaan banyak cewek. Maklum, dia kan bintang basket.
Sekalipun otaknya nggak sepintar otak Jodha, tapi sewaktu men-dribble bola lalu
menembakkannya ke keranjang, Jalal memang memesona. Aksinya selalu membuat
cewek-cewek histeris, untung nggak sampe pingsan juga.
Jodha lalu
menatap Jalal, diperhatikannya lebih seksama wajah Jalal. Entah apa yang
menarik dari seorang Jalal, selain saat Jalal bermain basket Jodha tak melihat
ada yang istimewa. Apa mungkin karena dia sudah terlalu lama bersama dengan Jalal
jadi baginya Jalal biasa-biasa saja. Sebenarnya apa yang dikagumi cewek-cewek
itu dari Jalal?
Jodha
tersentak kaget saat dia tersadar telah terlalu lama memperhatikan laki-laki
itu. Jalal yang menangkap basah dirinya telah menatapnya dengan sorot penasaran,
melemparkan senyum yang terasa begitu berbeda. Menawan. Langsung menusuk
hatinya membuat Jodha tiba-tiba merasa berdebar.
Teeet….teeet….teeett
Bel akhir
pelajaran pun berbunyi. Anak-anak yang telah jemu selama dua jam pelajaran
berada di kelas, langsung bersorak dan berhamburan keluar. Jalal yang sejak
tadi sibuk di kursinya pun ikut beranjak lalu dia melangkah mendekati Jodha.
“Cinta, maafin
aku yah,” bisik Jalal lembut membuat Jodha tertegun bengong. “Kamu mau kan maafin aku?”
bisiknya sekali lagi sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke tangan Jodha. Kontan
kelakuan Jalal membuat kelas jadi geger.
Mata Jodha
menyipit. Dia curiga.
Tumben sekali
Jalal bicara dengan tutur kata yang halus. Pakai ngasih kado segala. Jadi ini
yang membuatnya dari tadi sibuk di kursinya. Tapi Jodha tidak langsung percaya
dengan kata-kata manisnya meski diterimanya juga kado itu.
“Yo, nggak
perlu pake minta maaf gini lah, gue tahu, gue yang berlebihan sama elu, So, gue
udah maafin elu kok.” Jodha menyinggungkan senyum. “Gue terima itikad baik elu,
tapi kayaknya mending gue minta tolong Kiki aja yah buat bukain kado ini?”
diserahkannya kado itu pada cowok agak keayuan disebelah Jodha.
Jalal ingin
mencegah Jodha memberikannya pada Kiki, tapi dia tidak bisa membuka mulutnya.
Dibiarkannya juga Kiki membuka kado itu yang kemudian….
“Aaaaahhhh!”
Kiki cowok yang paling takut ama kodok, lalu kocar-kacir menggebah seekor kodok
yang berhasil hinggap di dadanya. Terjadilah kehebohan karena kodok itu
melompat kesana-kemari.
“Lu pikir, Gue
baru kenal Elu kemarin sore! Gue tahu yang ada di kepala Elu selain ketombe
isinya cuma niat busuk buat ngerjain gue!” Semprot Jodha kesal. Jalal hanya garuk-garuk
kepala merasa telah gagal mengerjai Jodha.
“Jo. Jodha.
Iya, gue minta maaf.” Segera Jalal mengejar Jodha yang melangkah dengan cepat. Ditariknya
tangan Jodha saat gadis itu tidak memerdulikannya, Jodha pun terpaksa berhenti
karena Jalal menariknya dengan kencang.
Jodha lupa,
kodok yang dihadiahi Jalal untuknya masih berlompatan kesana-kemari. Sampi
kodok itu pun hinggap di bahunya, sontak Jodha teriak lalu sibuk menggebah
kodok yang sedang bertengger di bahunya.
“Jalal…..”
Dipeluknya Jalal dengan perasaan takut. “Usir kodoknya! Usir kodoknya, cepat!
Gue benci sama kodok!”
“Kodoknya
udah pergi, Jodha.” Tapi meski Jalal mengatakan kodoknya sudah pergi, Jodha
masih belum melepaskan pelukannya.
Entah
mengapa kali ini, dalam pelukan Jalal Jodha merasa aman.
“Cieee….,
yang katanya lagi marahan, tauknya masih butuh juga.” Suara Mirza menyadarkan Jodha.
Dengan wajah
memerah seperti kepiting rebus, Jodha langsung kabur dari kelas. Sementara Jalal
tersenyum penuh kemenangan lalu mengacungkan jempol pada Mirza karena dia tahu Mirzalah
yang melempar kodok itu ke bahu Jodha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar