Welcome

Welcome

Senin, 06 Juli 2015

Jalal vs Jodha (fanfiction)




Wajah Jodha memucat ketika dia tidak menemukan buku PR di dalam tasnya, padahal dia yakin sekali telah memasukkan buku penting itu semalam setelah dia menyelesaikan tugas kimianya.

Gawat! kalau sampai buku itu tidak juga ditemukan, bisa-bisa dia bakalan kena hukuman Pak Adam. Apa jadinya kalau sampai dia kena hukuman pak Adam, memalukan sekali seorang sekretaris osis dihukum gara-gara tidak mengerjakan PR.
Sementara Jodha terus mencari bukunya yang hilang dengan mengeluarkan seluruh perbendaharaan tasnya, dari arah luar terdengar suara sepatu yang menuju kearah kelasnya. Anak-anak kelas sebelas IPA langsung berhamburan kembali ke dalam kelas setelah mengetahui pak Adam masuk. Wajah Jodha semakin memucat karena bukunya tak kunjung dia temukan.
“Jo, lu kenapa?” Moti yang menyadari kepanikan teman sebangkunya jadi heran.
“Buku PR gue ilang,” bisiknya setengah terisak.
Dia takut posisi duduknya yang ada didepan malah membuat pak Adam menyadari kepanikannya.
“Waduh, gawat! Cepat cari lagi.”
Laki-laki paruh baya bertubuh tambun itu lalu duduk diatas singgasananya usai mengucapkan salam, kemudian perintahnya, “Anak-anak, cepat kumpulkan PR minggu kemarin.” Suara pak Adam yang tidak terlalu kencang namun tegas dan berwibawa membuat tubuh Jodha kian gemetaran.
Haruskah dia mengatakan buku PR-nya hilang? Mungkinkah Pak Adam akan memercayainya dan tidak memberikan hukuman padanya? Tidak mungkin. Pak Adam tidak akan berbelas kasihan pada anak yang punya seribu satu macam alasan, hanya karena dia tidak mengerjakan PR, tapi Jodha sudah menyelesaikanya hanya saja buku itu sekarang raib dari tasnya.
“Kerdil, Lu butuh ini kan?” Sebuah tangan menyodorkan buku PR milik Jodha. Sontak Jodha terkejut saat mengetahui ternyata buku PR-nya ada.
Perasaannya bercampur aduk antara senang dan lega, ternyata Jalal yang berhasil menemukannya dan dia berbaik hati mau mengembalikannya. Tumben sekali.
“Jalal, makasih udah nemuin buku gue.” Jodha sudah terlanjur kegirangan tapi saat dia hendak meraih buku itu dari tangan Jalal. Jalal malah berkelit.
“Eit, tunggu dulu, ini nggak gratis loh.” Menganga mulut kecil Jodha mendengarnya. “Istirahat ini lu harus nraktir gue, kebetulan uang bulanan gue udah abis buat ngambil motor gue di bengkel, gimana lu mau nggak? Kalau nggak, jangan harap deh buku ini balik ke tangan lu, dan selamat menikmati hukuman.”
Menraktir Jalal? Ya Tuhan… tidak salahkah dia mendengar? Menraktir Jalal seorang itu kan sama dengan menraktir tiga orang, makannya rakus setengah mati. Tapi apa boleh buat, dia terpaksa harus merelakan uangnya daripada kena hukuman dari pak Adam.
“Ok, istirahat ini gue traktir elu.” Dengan berat hati Jodha menyetujui permintaan Jalal. Cowok berpotongan rambut harajuku itu tersenyum menang. Dikembalikannya buku PR itu pada pemiliknya.
                                                                        ***
Teman satu kelas Jodha merasa terkejut ketika dia melihat sang sekretaris osis sedang jalan berdua dengan Jalal menuju kantin. Bukankah mereka musuh bebuyutan atau keduanya sedang melakukan gencatan senjata?
Kapan terakhir mereka melihat Jodha dan Jalal jalan akur seperti sekarang ini? mereka sendiri sudah lupa. Seingat mereka, kalau keduanya bertemu pasti keributan yang akan terjadi. Tapi sekalipun mereka sering bertengkar sepertinya Jodha memang tidak bisa jauh-jauh dari Jalal.
Jodha dan Jalal sudah saling mengenal sejak masuk SMP, kebetulan keduanya bertetangga dan apakah itu yang dinamakan dengan jodoh? Selama lima tahun ini Jalal selalu sekelas dengan Jodha. Setiap hari mereka berangkat dan pulang sekolah bersama, Jalal rajin sekali menjemput Jodha dengan motor sport-nya. Dan sebenarnya keduanya saling melengkapi.
Jalal yang paling malas mengerjakan PR Matematika selalu meminta bantuan Jodha untuk mengajarinya dan Jodha yang sekretaris osis selalu butuh catatan Jalal jika dia harus meninggalkan kelas gara-gara urusan osis. Kadang-kadang Jodha juga meminta bantuan Jalal membuatkan pidato jika dia diminta ketua osis membuat pidato.
Tapi Jalal sering sekali menjahili Jodha, dan kejahilannya itu memang diluar batas kewajaran. Ada saja perbuatan iseng yang dilakukan Jalal, yang membuat Jodha sering naik darah.
Seperti memanggil Jodha dengan sebutan kerdil, hanya karena badannya lebih tinggi lima belas senti dari Jodha. Padahal Jodha kan nggak pendek-pendek amat. Dan Jodha selalu membalas dengan memanggil Jalal, dakocan.
“Dil, elu nggak makan?” Jalal memerhatikan Jodha yang kembali ke meja dengan hanya membawa segelas Avocado juice.
“Lihat lu aja gue udah kenyang.” Jodha menelan ludah melihat Jalal sibuk dengan makanannya.
Dihadapannya sudah terhidang sepiring nasi plus lauknya, sebuah pisang ambon, avocado juice dan risoles sebagai camilannya.
“Gue nggak sempet sarapan tadi pagi,” aku Jalal. Jodha mengerutkan dahi.
“Nggak sempet sarapan? Kok bisa? Tadi pagi elu jemput jam biasa.”
“Gue tadi bangun kesiangan sebenarnya tapi gue kan nggak mau elu sampe telat, elu kan sekretaris osis, malu-maluin amat kalau sampe elu datang telat, makanya gue buru-buru sampe lupa sarapan.”
Jodha merasa terharu.
Jadi sebenarnya tadi Jalal telat bangun tapi dia bela-belaan nggak sarapan cuma biar temannya nggak sampai telat karena nggak mau sampai sekretaris osis bikin malu almamater sekolah. Ternyata Jalal punya sisi baik juga. Dia masih memikirkan kepentingan temannya, diatas kepentingannya sendiri. Tidak menyesal juga Jodha mentraktirnya, anggap saja ini bayaran untuk kebaikan Jalal.
“Aduh… sorry, Jalal, Elu sampe sengaja bela-belaan begini buat Gue, padahal nggak perlu segitunya kali, kalau emang elu telat, biar gue berangkat sendiri aja.”
“Makanya tadi gue sengaja umpetin buku PR lu biar istirahat ini elu traktir gue, anggap aja sebagai hukumannya,” ujar Jalal tanpa dosa.
“Jadi elu yang ngumpetin buku gue?” Belalak mata Jodha. Dan dengan tenangnya Jalal hanya mengangguk sambil terus menikmati makanannya. “Elu tahu nggak sih, gimana gue takutnya tadi dimarahin pak Adam gara-gara buku gue ilang?!”
“Tapi elu nggak sampe dimarahin kan? Dan gue juga pasti nggak bakalan sampe setega itu ngebiarin elu dimarahin pak Adam.”
“Tetep aja, jantung gue udah hampir copot tadi, tahu! Nyesel gue udah minta maaf sama elu! Gue tarik omongan gue tadi!” Dihentakkannya kaki lalu dia pergi meninggalkan kantin. Dia benar-benar marah kali ini.
Bagaimana Jodha tidak akan merasa jengkel, Jalal tidak sarapan kan bukan kesalahannya dan anak itu sudah seenaknya saja membuatnya sport jantung dan menguras uang sakunya. Padahal bulan ini uang sakunya sudah mulai menipis.
Kalau saja tadi Jalal tidak memaksakan diri menjemput tepat waktu sampai nggak sarapan, dia kan bisa berangkat sendiri dengan angkutan umum.  
“Dil, jangan marah gitu dong, Dil… Gue kan tadi cuma becanda.” Jalal berteriak dari mejanya. Tapi hati Jodha yang keburu diselimuti kemarahan luar biasa, tidak mengabaikan panggilan Jalal.
Bukannya mengejar, Jalal malah mengangkat bahu tak perduli, lalu dia meneruskan kembali makannya.
                                                                        ***
“Berantem lagi sama Jalal?” Moti berbisik sambil melirik ke arah meja Jalal yang berada dua baris di belakang mereka.
Dari jam istirahat tadi sampai satu jam lagi kelas hampir bubar, Jalal dan Jodha memang belum baikan. Di jam terakhir ini, guru biologi mereka nggak masuk dan guru piket menyuruh siswa-siswi belajar sendiri di kelas. Biasanya disaat seperti ini aksi Jalal mengerjai Jodha pasti akan muncul lagi tapi sedari tadi cowok ganteng – kata anak perempuan lain kecuali Jodha – itu masih duduk anteng di kursinya.
“Nggak usah nanya.” Jodha menyahut pendek.
“Ada apa lagi sih?”
“Gue males bahasnya.”
Moti hanya mengangkat bahu. Yah, begitulah Jalal dan Jodha. Tak pernah berhenti-berhentinya bertengkar. Jalal memang selalu jahil spesialisasi untuk Jodha, dia masih bersikap wajar pada teman perempuan lainnya malah cenderung romantis dan agak gombal. Teman-temannya menganggap kejahilan Jalal bukanlah karena dia iseng tapi karena sebenarnya dia menyukai Jodha, tapi tak bisa mengungkapkannya.
Persahabatan perempuan dan laki-laki jarang ada yang abadi. Pasti ujung-ujungnya diakhiri dengan kisah cinta. Karena pepatah jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino memang tidak salah. Tapi mungkin untuk Jodha dan Jalal semua itu belum berlaku.
“Emang elu nggak bisa maafin Jalal?”
“Maafin dia?” suara Jodha meninggi membuat Jalal mau tidak mau menoleh ke mejanya. “Tunggu sampai satu dollar harganya seribu rupiah!”
Astaga! memangnya kapan satu dollar bisa seharga seribu rupiah? Waktu zaman orde baru aja satu dolar harganya dua ribuan, apalagi sekarang yang harganya mencapai tiga belas ribu.  
“Dosa loh, nggak maafin temen sendiri.”
“Moti, udah deh…, elu tuh sebenernya ada di pihak siapa sih? Elu kan temen gue, kok malah berpihak sama dakocan itu?”
“Gue ngerasa sayang aja kalau elu sama dia sampai berantem.”
“Sayang?” dahi Jodha berkerut heran. “Apa yang perlu disayangin?”
“Semua cewek tuh pengen bisa deket sama Jalal, elu yang udah segitu deketnya malah berantem terus, sayang kan? Mereka tuh sirik sama elu, Nin.”
Mata Jodha membelalak.
Cewek-cewek ingin deket dengan Jalal? Apa nggak salah denger dia. Emang apa sih hebatnya Jalal? Dia nggak ganteng-ganteng amat, pinter juga nggak, cuma lantaran jago basket, terus mereka pengen deket sama Jalal? Jodha aja merasa bosan terus bersama dengan sahabatnya itu.
“Wah, gue mesti ngomong nih sama anak-anak cewek di sekolah ini, kalau perlu bakal gue umumin lewat speaker masjid, gue bakalan bilang sama mereka kalau Jalal itu bukan cowok nyenengin buat dideketin, gue aja bosen sampe pengen muntah rasanya, hoek!” Jodha berpura-pura mual sambil menekan perutnya dengan sebelah tangan.
“Itu kan menurut lu, yang udah dari SMP bareng dia terus.”
Kalau dipikir-pikir, jika Jodha berada di posisi mereka, pasti Jodha juga akan merasakan hal yang sama. Meski wajahnya nggak ganteng-ganteng amat, yah, satu tingkat lebih ganteng dari Afgan lah, tapi Jalal memang pujaan banyak cewek. Maklum, dia kan bintang basket. Sekalipun otaknya nggak sepintar otak Jodha, tapi sewaktu men-dribble bola lalu menembakkannya ke keranjang, Jalal memang memesona. Aksinya selalu membuat cewek-cewek histeris, untung nggak sampe pingsan juga.  
Jodha lalu menatap Jalal, diperhatikannya lebih seksama wajah Jalal. Entah apa yang menarik dari seorang Jalal, selain saat Jalal bermain basket Jodha tak melihat ada yang istimewa. Apa mungkin karena dia sudah terlalu lama bersama dengan Jalal jadi baginya Jalal biasa-biasa saja. Sebenarnya apa yang dikagumi cewek-cewek itu dari Jalal?
Jodha tersentak kaget saat dia tersadar telah terlalu lama memperhatikan laki-laki itu. Jalal yang menangkap basah dirinya telah menatapnya dengan sorot penasaran, melemparkan senyum yang terasa begitu berbeda. Menawan. Langsung menusuk hatinya membuat Jodha tiba-tiba merasa berdebar.
Teeet….teeet….teeett
Bel akhir pelajaran pun berbunyi. Anak-anak yang telah jemu selama dua jam pelajaran berada di kelas, langsung bersorak dan berhamburan keluar. Jalal yang sejak tadi sibuk di kursinya pun ikut beranjak lalu dia melangkah mendekati Jodha.
“Cinta, maafin aku yah,” bisik Jalal lembut membuat Jodha tertegun bengong. “Kamu mau kan maafin aku?” bisiknya sekali lagi sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke tangan Jodha. Kontan kelakuan Jalal membuat kelas jadi geger.
Mata Jodha menyipit. Dia curiga.
Tumben sekali Jalal bicara dengan tutur kata yang halus. Pakai ngasih kado segala. Jadi ini yang membuatnya dari tadi sibuk di kursinya. Tapi Jodha tidak langsung percaya dengan kata-kata manisnya meski diterimanya juga kado itu.
“Yo, nggak perlu pake minta maaf gini lah, gue tahu, gue yang berlebihan sama elu, So, gue udah maafin elu kok.” Jodha menyinggungkan senyum. “Gue terima itikad baik elu, tapi kayaknya mending gue minta tolong Kiki aja yah buat bukain kado ini?” diserahkannya kado itu pada cowok agak keayuan disebelah Jodha.
Jalal ingin mencegah Jodha memberikannya pada Kiki, tapi dia tidak bisa membuka mulutnya. Dibiarkannya juga Kiki membuka kado itu yang kemudian….
“Aaaaahhhh!” Kiki cowok yang paling takut ama kodok, lalu kocar-kacir menggebah seekor kodok yang berhasil hinggap di dadanya. Terjadilah kehebohan karena kodok itu melompat kesana-kemari.
“Lu pikir, Gue baru kenal Elu kemarin sore! Gue tahu yang ada di kepala Elu selain ketombe isinya cuma niat busuk buat ngerjain gue!” Semprot Jodha kesal. Jalal hanya garuk-garuk kepala merasa telah gagal mengerjai Jodha.
“Jo. Jodha. Iya, gue minta maaf.” Segera Jalal mengejar Jodha yang melangkah dengan cepat. Ditariknya tangan Jodha saat gadis itu tidak memerdulikannya, Jodha pun terpaksa berhenti karena Jalal menariknya dengan kencang.
Jodha lupa, kodok yang dihadiahi Jalal untuknya masih berlompatan kesana-kemari. Sampi kodok itu pun hinggap di bahunya, sontak Jodha teriak lalu sibuk menggebah kodok yang sedang bertengger di bahunya. 
“Jalal…..” Dipeluknya Jalal dengan perasaan takut. “Usir kodoknya! Usir kodoknya, cepat! Gue benci sama kodok!”
“Kodoknya udah pergi, Jodha.” Tapi meski Jalal mengatakan kodoknya sudah pergi, Jodha masih belum melepaskan pelukannya.
Entah mengapa kali ini, dalam pelukan Jalal Jodha merasa aman.
“Cieee…., yang katanya lagi marahan, tauknya masih butuh juga.” Suara Mirza menyadarkan Jodha.
Dengan wajah memerah seperti kepiting rebus, Jodha langsung kabur dari kelas. Sementara Jalal tersenyum penuh kemenangan lalu mengacungkan jempol pada Mirza karena dia tahu Mirzalah yang melempar kodok itu ke bahu Jodha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar