Welcome

Welcome

Minggu, 26 Juli 2015

Lembar Pertama : Birunya Langit Cinta (Senangnya menjadi calon mahasiswi)

Ilustration of Annisa
“Kamu nggak ingin masuk IAIN atau STIA, mengambil jurusan tarbiyah begitu?” tanya Ayahnya pada si bungsu untuk yang kesekian kalinya, dengan harapan kali ini si bungsu mau meraih gelar S.Ag seperti yang diharapkannya pada salah satu anaknya, kemudian ia mengajar di salah satu madrasah dan mengabdikan dirinya menjadi seorang Ustadzah.
Putra sulungnya Ahmad malah memilih menjadi sarjana ekonomi sementara Salma mengambil jurusan Perbankan dan sekarang Annisa ingin kuliah ditempat yang sama seperti kedua Kakaknya dan mengambil jurusan komputer.
“Annisa ingin kuliah ditempatnya Kak Salma, Bi. Boleh yah?” Annisa pun mulai mengeluarkan jurus merajuknya. 
Biasanya Annisa memang selalu menuruti keinginan Ayahnya, apapun itu tanpa pernah membantah.
Tetapi kali ini entah mengapa dia ingin sekali kuliah di kampus yang sama dengan Kakaknya. Kampus itu telah menjadi impian Annisa sejak Kakak sulungnya berkuliah disana. Kampusnya sangat besar dan banyak orang-orang hebat seperti menteri dan pejabat tinggi lainnya berasal dari kampus Kakaknya. Sekarang setelah Kakak perempuannya juga terdaftar sebagai mahasiswa disana, keinginan Annisa untuk masuk kampus hijau itu semakin besar.
“Ya sudah, kamu daftarlah kesana, biar nanti Kak Ahmad yang mengantarkanmu.” Akhirnya Ayahnya kali ini mau mengalah.
Walaupun harapannya agar salah satu dari anaknya bersedia mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar agama telah pupus, tapi beliau tetap percaya anak-anaknya suatu hari akan menjadi orang yang berguna. Mereka tentu memiliki masa depan masing-masing yang telah ditakdirkan bagi mereka dan sebagai seorang Ayah, Pak Usman tidak bisa memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya.
“Hore! Terima kasih ya, Bi.” Dengan perasaan gembira, Annisa lalu memeluk dan mengecup pipi Ayahnya.
Usai perdebatan yang lumayan panjang itu, Annisa kembali ke kamarnya yang berada dilantai atas. Dia menari-nari gembira setelah mengantongi izin dari Ayahnya untuk bisa berkuliah ditempat yang sama dengan kedua Kakaknya. Akhirnya impiannya untuk kuliah disana terwujudkan juga, sebentar lagi dia akan menyandang status mahasiswa. Apalagi dua sahabatnya, Saskia dan Sarah, juga masuk universitas yang sama, tentu saja Annisa merasa gembira.
“Annisa.” Suara Salma terdengar dari kamar yang dilewati Annisa.
“Apa, Kak?” Annisa menyahut.
“Sini masuk,” perintah Salma. Annisa menurut saja. Dia lalu masuk ke kamar yang pintunya tidak tertutup itu.
Ilustration of Salma
Kamar Salma yang bernuansa hijau terasa sejuk dimata saat Annisa memasukinya. Buku-buku tentang ekonomi dan perbankan tampak tersusun rapi di rak. Sudah lama juga dia tidak memasuki kamar ini, karena Salma akan marah jika kamarnya dimasuki tanpa seizinnya. Annisa tentu menghargai hal itu, karena dia pun akan merasa marah jika kamarnya dimasuki orang lain tanpa seizinnya.
Salma sedang duduk didepan meja belajarnya dan membelakangi Annisa, si bungsu lalu duduk diatas tempat tidur samping meja belajar Kakaknya.
“Kamu serius mau masuk kampus itu?”
“Serius dong!" seru Annisa bersemagat. "Annisa sudah mohon-mohon sama Abi.”
“Hati-hati loh, dikampus Kakak ada penjahat wanita, nanti kamu jangan sampai tergoda rayuannya ya.”
Dahi Annisa menaik. “Penjahat wanita? Apa itu?” tanya Annisa polos. Salma hanya menepuk dahi. Bagaimana dia harus menjelaskan pada adiknya yang polos ini tanpa harus membuat adiknya berpikir yang tidak-tidak.
“Penjahat wanita itu, laki-laki yang suka menggoda, merayu dan mempermainkan perempuan, pokoknya orang yang jahat sekali sama perempuan.”
“Oh, tenang saja… Annisa nggak akan tergoda sama laki-laki seperti itu,” lagipula aku memang tidak tertarik mendekati laki-laki. Untuk apa? Tidak penting. Pacaran itukan tidak boleh dalam agama Islam, dan juga hanya buang-buang waktu saja. Tujuannya kuliah adalah untuk menuntut ilmu dijenjang yang lebih tinggi, bukan untuk pacaran.
Salma memang seharusnya tidak usah khawatir pada adiknya yang dikenal kaku pada laki-laki ini, tapi sebagai Kakak dia tetap harus mengingatkan adiknya. Annisa memang persis seperti Kakak sulungnya yang dingin pada perempuan. Makanya sampai sekarang Kak Ahmad masih belum menikah juga, boro-boro menikah, calon istri saja dia tidak punya padahal umurnya sudah tiga puluh tahun.
Kedua orang tuanya sampai merasa khawatir padanya dan mulai sibuk mencarikan jodoh untuknya. Banyak perempuan yang dikenalkan padanya tapi dasar laki-laki kaku, belum ada satupun perempuan yang bisa menarik hati Kakaknya. Padahal banyak perempuan yang tergila-gila padanya. Salma sampai bertanya-tanya perempuan seperti apa kiranya yang dapat meluluhkan hati Kakaknya.
“Yah, pokoknya kamu harus hati-hati saja, Ok.”
“Sip!” Annisa mengacungkan ibu jarinya.
                                                                        ***
Saat masa pendaftaran, Ahmad mengantarkan adiknya sesuai dengan instruksi Ayahnya. Karena dia merupakan alumnus kampus ini, dia telah hapal seluk-beluk kampusnya. Sambil berjalan dari gerbang utama menuju sekretariat penerimaan mahasiswa baru, Ahmad mengenalkan sedikit tentang kampusnya.
“Silahkan duduk,” tawar perempuan muda yang menjadi panitia PMB.
“Aisyah,” sapa Ahmad yang mengenali gadis muda itu. “Kamu jadi panitia PMB?”
“Eh, Kak Ahmad.” Tersipu malu Aisyah saat disapa oleh alumni yang dikenalnya. “Begitulah, Kak. Kakak mau daftarkan siapa?”
“Nih, Annisa. Katanya dia mau kuliah disini.”
“Oh, Annisa sudah mau kuliah yah, lama tidak bertemu? Terakhir ketemu kamu kan baru kelas satu SMA.”
“Iya dong, aku kan sudah besar sekarang,” ujar Annisa bangga. 
Usianya kan sudah hampir delapan belas tahun. Sebentar lagi menjadi mahasiswa bahkan dia berencana akan membuat KTP, lalu dia bisa ikut pemilu. Rasanya menyenangkan sekali menjadi gadis remaja. Kata orang masa remaja adalah masa yang paling indah dan Annisa sangat menantikan masa-masa itu. 
“Kak Aisyah kemana saja, kok nggak pernah main lagi ke rumah?”
Aisyah hanya mengulas senyum tipis. Dia kan hanya pelanggan toko Abi Annisa, tapi karena kebetulan pernah sekelas dengan Salma saat SMA, dia jadi sering mampir ke rumah Annisa untuk belajar bersama. Hanya saja sejak dia kuliah di kampus yang sama dengan Ahmad, dia jadi jarang main ke rumah Annisa lagi.
“Insya Allah, kapan-kapan deh Kak Ai mampir, Annisa mau masuk fakultas apa? Ekonomi seperti Kak Ahmad?” Aisyah lalu memberikan formulirnya pada Annisa.
“Nggak deh, Annisa mau masuk fakultas informatika saja, ekonom itu biasanya pelit.” Aisyah hanya tersenyum mendengar komentar Annisa. “Mengeluarkan modal sekecilnya untuk mendapatkan untung sebesarnya, apa namanya kalau bukan pelit coba?”
“Terserah kamu saja deh, cepat isi formulirnya,” tukas Ahmad sambil menarik pelan telinga adiknya. Annisa hanya menyeringai lalu dia mulai mengisi formulir pendaftarannya.
Ilustration of Ahmad
Karena Ahmad sudah memberitahukan berkas apa saja yang diperlukan oleh Annisa saat mendaftar, dia pun telah menyiapkan semuanya. Satu persatu data diisinya untuk memenuhi syarat pendaftaran masuk kampus impiannya.
Aisyah pun tidak perlu menunjukkan brosur kampus karena Annisa sudah hapal betul dengan kampus ini. Beberapa kali dia pernah mendatangi kampus saat dia masih duduk dibangku SMA dan tentu sempat bertanya-tanya pada Kakak-kakaknya mengenai kampus impiannya sebelum dia mendaftarkan diri. Usai mengisi formulir dia lalu memberikan formulir beserta berkas yang diperlukan dan uang pendaftaran.
“Terima kasih, Annisa.” Aisyah lalu menginput data Annisa ke dalam komputer dan hasil outputnya merupakan kartu kepesertaan test dan tak lupa Aisyah juga memberikan souvenir berupa stiker dan juga mug dengan logo kampus mereka sebagai kenangan. “Untuk test masuknya kamu tahu kapan kan?”
“Iya, tanggal dua delapan kan? Masih lama, masih ada waktu buat aku belajar.”
“Sukses ya, Annisa. Kamu harus lulus test, menyenangkan loh kuliah disini.”
“Terima kasih, Kak.”
Annisa tersenyum senang saat menerima kartu peserta test masuk. Kebahagiaannya mendapatkan kartu ini seperti dia baru saja mendapatkan lotre dengan hadiah miliyaran rupiah saja, sampai-sampai Annisa tidak mau berpaling dari kartu pesertanya. Dipandanginya terus kartu ujian itu dengan saksama sambil mengikuti langkah kakanya. Karena terlalu serius memerhatikan kartu pesertanya dia sampai tidak melihat sekitarnya.
“Aduh!” pekik Annisa kesakitan saat dia menabrak tubuh seseorang, dia pun jatuh terduduk dilantai.
“Maaf, kamu nggak apa-apa?” Rupanya seorang laki-laki yang menabrak Annisa. Tapi saat laki-laki itu hendak membantunya bangun, dia menolak.
“Terima kasih, saya bisa bangun sendiri.” Seperti daun putri malu yang langsung mengerut saat disentuh tangan manusia, Annisa jadi serba salah sendiri saat bertemu dengan laki-laki.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya sekali lagi.
“Saya baik-baik saja.” Tanpa permisi dia pun bergegas lari menghampiri Kakaknya yang tidak menyadari dia terjatuh dan terus berjalan di depan.
“Faisal, sedang apa kamu disitu? Sini temani aku.” panggil Aisyah saat dia melihat temannya sedang berdiri mematung ditengah-tengah jalan. Faisal pun segera menghampiri.
“Ai, siapa tadi?”
“Itu adiknya Salma.”
“Masa? Kok nggak mirip.”
“Dia mirip Abangnya.”
Adiknya Salma berarti adiknya Ahmad juga. Tapi adiknya yang satu ini lebih cantik dan kelihatannya sangat pemalu. Faisal malah jadi tersenyum-senyum sendiri sambil mengingat kembali wajah cantik Annisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar